Tujuh Tahun Jokowi: New Kleptocracy

Ditulis oleh Ubedilah Badrun
Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta

Tidak mudah menilai sebuah rezim pemerintahan, sebab menilai memerlukan data dan argumen teoritik agar tidak terjebak dalam ruang subyektif. Pergumulan dengan ilmu pengetahuan, kebenaran ilmiah, membuat akademisi seringkali sangat hati-hati dalam menilai, agar tidak terjebak dalam subyektifitas.

Artikel ini ditulis untuk menilai rezim pemerintahan Jokowi yang berkuasa sejak 20 Oktober 2014 dengan menggunakan perspektif ilmu politik dalam ranah kekuasaan dan demokrasi. Tentang bagaimana teori kekuasaan dan demokrasi membaca negeri ini saat ini?

Ada banyak ilmuwan sosial politik yang mencoba menilai Indonesia era pemerintahan Jokowi ini dengan basis indikator demokrasi melalui sejumlah riset. Hasilnya cukup membuat kita malu sebagai bagian dari negara yang memilih jalan republik, jalan dimana seharusnya rakyat berdaulat, dihargai kebebasannya dan dijunjung tinggi kemanusiaanya.

Diantara ilmuwan yang melakukan riset tentang Indonesia era Jokowi dalam perspektif kekuasaan dan demokrasi adalah Profesor Edward Aspinall dan Profesor Marcus Mietzner dari Australia National University (ANU). Kedua ilmuwan ini menyebut bahwa saat ini demokrasi Indonesia sedang berada di titik terendahnya. Kepemimpinan Presiden Jokowi disebut-sebut sebagai salah satu penyebab dari kemunduran terbesar demokrasi di Indonesia saat ini.

Diantara penyebab regresi demokrasi tersebut adalah korupsi yang tinggi dan nasionalisme gaya baru. Demi kepentingan korupsi dan atas nama nasionalisme, kemerdekaan rakyat dibelenggu dengan berbagai cara.

Saya mencermati penilaian Aspinall dan Mietzner memiliki kebenaran akademisnya. Apalagi kemudian data tentang indeks demokrasi Indonesia yang skornya anjlok 6,30 terburuk sepanjang 14 tahun terakhir dengan kebebasan sipil yang skornya hanya 5,59 (The Economist, 2021). Di saat yang sama data indeks persepsi korupsi Indonesia juga anjlok merah, yang hanya mendapat skor 37 (Tranparency International, 2021). Ada semacam persinggungan antara buruknya demokrasi dan koruptifnya kekuasaan.

New Kleptocracy

Jika dicermati secara lebih rinci argumen Aspinall soal korupsi yang tinggi sebagai salah satu penyebab yang menjadi faktor Indonesia saat ini berada pada titik terendah demokrasi, diantaranya ia ungkapkan dalam sebuah diskusi di Yogyakarta yang bertema Democracy in The Contemporary Indonesia: The Dangers of Regression (2019).

Faktanya secara empirik tingginya perilaku korupsi di Indonesia telah dicatat oleh KPK angkanya ditemukan bahwa 60 % pelakunya adalah politisi (2015). Maknanya kritik publik pada isu korupsi arahnya memang banyak tertuju pada politisi. Pada titik itu politisi seringkali merasa terganggu dengan kritik.

Bahwa memang korupsi yang tinggi menjadi faktor mundurnya demokrasi. Logika sederhananya demi menutupi korupsi upaya kritik seringkali dibelenggu dengan berbagai cara. Meminjam perspektif John Keane dalam bukunya New-despotism (2021), ada semacam dominasi dari negara untuk membatasi aktivitas warga negara di tengah tatanan politik yang mengklaim demokrasi. Pembelengguan kebebasan berpendapat oleh elit kekuasaan tentu mengurangi skor indeks demokrasi.

Jika 60 % korupsi dilakukan politisi yang angka korupsinya bisa mencapai ratusan triliun rupiah, bahkan tega mengkorupsi uang bansos yang seharusnya untuk rakyat miskin, dan politisi adalah aktor utama kekuasaan maka ada benarnya jika disimpulkan bahwa rezim ini adalah rezim kleptokrasi (kekuasaan para maling).

Secara etimologis, istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti kekuasaan yang diperintah oleh para pencuri, para maling yang bertopeng penguasa yang dipilih secara elektoral.

Gungun Heryanto (2015) mengemukakan bahwa kleptokrasi adalah praktik korupsi, nepotisme, dan persekongkolan jahat yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mempengaruhi kebijakan. Pada titik mempengaruhi kebijakan tersebut penulis mencermati kleptokrasi pada era Jokowi ini sedang mengalami pola baru atau bentuk baru kleptokrasi (New Kleptocracy).

Bagaimana bentuk baru kleptokrasi itu terjadi ? Istilah kleptokrasi dipopulerkan oleh Stanislav Andreski dalam karya klasiknya, Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968), yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah menumpuk kekayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik. Rizal Ramli pernah menyebut fenomena itu sebagai Pengpeng atau penguasa sekaligus pengusaha (20216).

Pengpeng adalah wajah empirik yang paling berpotensi menjadi kleptokrat, celakanya di Indonesia Pengpeng ini masuk ke eksekutif dan legislatif. Lebih celaka lagi pola kekuasaan saat ini ada semacam persekongkolan antara oligarki politik, Pengpeng, dan oligarki ekonomi yang berwatak predatoris. Bahkan oligarki predator ini bisa membeli semua perhelatan elektoral, juga membiayai pendengung (buzzer) untuk melindungi persekongkolan. New kleptocracy ini gemar memproduksi undang-undang untuk memudahkan para kleptokrat menumpuk kekayaan. Sebut saja misalnya Undang-Undang Minerba (2020) dan Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja (2020). Dengan cara itu pada akhirnya dengan mudah membancak (bancakan) APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), membancak kekayaan alam dan mengeksploitasi buruh. Pola persekongkolan seperti ini adalah ciri utama new kleptocracy atau kleptokrasi baru.

Ketika kekuasaan era Jokowi kini makin empirik melemahkan institusi KPK (2019 - 2021), di mana KPK mestinya berfungsi untuk memberantas para kleptokrat itu, dengan cara itu negeri ini justru semakin terjerumus dalam jurang new kleptocracy. Nah pelemahan institusi pemberantas korupsi adalah ciri paling sempurna dari new kleptocracy itu! [TEMPO]

Beberapa tokoh seperti Roy Suryo dan Rizal Ramli juga ikut serta menanggapi soal ini.


Baca juga :