Di Turen, Habibie Minta Ditembak

𝗗𝗜 𝗧𝗨𝗥𝗘𝗡, 𝗛𝗔𝗕𝗜𝗕𝗜𝗘 𝗠𝗜𝗡𝗧𝗔 𝗗𝗜𝗧𝗘𝗠𝗕𝗔𝗞

Dalam Buku Biografi Dipo Alam ini, ada satu fragmen cerita pendirian ICMI yang segera membetot perhatian saya. 

Dipo Alam adalah salah satu peserta Simposium Nasional Cendekiawan Muslim di Universitas Brawijaya, Malang, Desember 1990, yang kemudian melahirkan ICMI. 

Apa yang diceritakannya terkait momen bersejarah itu cukup memberi gambaran betapa kebangkitan kelas menengah Muslim yang secara kultur dan politik sebenarnya tergolong moderat, saat itu begitu ditakuti oleh kalangan (atau tokoh?) tertentu.

Apa yang menarik dari peristiwa di Malang tiga dekade silam itu?

Meskipun pendirian ICMI telah mendapat restu langsung Presiden Soeharto, dan yang akan menjadi ketua umumnya (Habibie) adalah menteri kepercayaan Presiden sendiri, ternyata upaya untuk menjegal pendirian ICMI pantang surut. Dengan menggunakan sudut pandang hari ini, upaya untuk menjegal pendirian ICMI itu secara tidak langsung sebenarnya bisa dianggap sebagai bentuk perlawanan terbuka, bukan hanya kepada kebangkitan kelas menengah Islam yang saat itu menjadi motor penggerak ICMI, tapi juga kepada Presiden Soeharto itu sendiri.

Kenapa upaya penjegalan terbentuknya ICMI itu bisa dianggap sebagai upaya merongrong kekuasaan Pak Harto? Karena meskipun jelas-jelas acara itu akan dihadiri dan dibuka oleh Presiden, dan penutupannya akan dilakukan oleh Wakil Presiden Soedharmono. Tetapi, hingga H-2, izin acara di Malang itu belum juga turun.

Sejak jauh hari, Pak Harto memang sudah dijadwalkan akan hadir dan membuka acara Simposium Nasional Cendekiawan Muslim tanggal 6 Desember 1990 itu. Itu sebabnya, sejak H-2 Habibie telah terbang ke Malang menggunakan pesawat Casa. Rombongan Habibie ketika itu tidak langsung ke Kota Malang, tapi singgah terlebih dahulu ke Kecamatan Turen, untuk meninjau PT Pindad yang ada di sana.

Saat di Turen itulah Habibie mendapat informasi dari pihak rektorat Universitas Brawijaya jika izin acara tanggal 6 Desember belum juga turun dari kepolisian. Mendapat informasi itu, Habibie tentu saja kaget. Bagaimana bisa acara yang sudah positif akan dihadiri oleh Presiden, izinnya jadi bertele-tele seperti itu?

Habibie kemudian memerintahkan stafnya untuk menelepon ajudan Kapolda Jawa Timur. Ternyata memang benar, Kapolda belum menurunkan izin untuk acara itu. Sesudah ditunggu-tunggu, karena hingga menjelang Maghrib informasi mengenai perizinan itu belum juga jelas, Habibie mulai jengkel. Dia kemudian menelpon langsung Kapolda Jawa Timur. Dalam pembicaraan itu, Kapolda mengaku kalau dirinya belum mendapat instruksi dari “pusat”, sehingga tidak berani memberikan izin.

Mendapat jawaban seperti itu, Habibie marah bukan main. Sebagai pejabat tinggi negara, ia merasa jika dirinya telah dilecehkan oleh kepolisian.

“Kalau you tidak mau izinkan acara besok, sebaiknya you ke sini dan tembak saya. Cari saya di Turen dan tembak saya!” teriak Habibie.

Kemarahan Habibie memang sangat bisa dipahami. Apa dasarnya pihak kepolisian menunda-nunda, atau bersikap hati-hati, terhadap acara yang jelas-jelas akan dihadiri seorang menteri negara bersama dengan presiden?! Memang sangat tidak beralasan.

Tetapi, fakta bahwa kejadian itu benar-benar terjadi, bahkan dialami oleh seorang Habibie, menunjukkan jika memang ada orang lain yang sangat kuat yang berada di balik semua itu. Orang itu pastilah jauh lebih kuat dari Kapolda. Bahkan, orang itu bisa jadi lebih kuat dan lebih berpengaruh daripada Habibie, karena Habibie saja tidak cukup dihiraukan posisinya ketika itu.

Masalahnya, ujar Dipo, siapa yang jauh lebih kuat dari Habibie, dan berani “menantang” Presiden Soeharto dengan melakukan show of force mengulur-ulur perizinan acara di Malang tersebut?!

Menariknya, tulis Dipo Alam, sikap penolakan semacam itu bukan hanya datang dari pihak kepolisian saja, tapi juga dari tentara. Untungnya, berbeda dengan pernyataan sejumlah petinggi militer lainnya, yang cenderung tak bersimpati kepada acara Simposium Nasional Cendekiawan Muslim di Malang, Pangdam V Brawijaya saat itu, yaitu Mayjen TNI R. Hartono, berani mengambil sikap mendukung pelaksanaan acara deklarasi ICMI tersebut. Sikap Hartono ini memang menarik, karena dengan begitu ia telah menunjukkan sikap yang cukup berseberangan dengan KSAD dan juga Panglima ABRI saat itu.

Meskipun pada akhirnya izin turun juga, dan Pak Harto mendarat dengan selamat di Bandar Udara Abdulrahman Saleh, Malang, namun hal-hal ganjil dan menegangkan, menurut Dipo Alam, masih terus terjadi. Acara pembukaan Simposium Nasional Cendekiawan Muslim memang berlangsung lancar, namun ada kejadian janggal ketika rombongan iring-iringan mobil Presiden bertolak ke Bandara Abdulrachman Saleh untuk kembali ke Jakarta. Saat itu salah satu mobil rangkaian presiden ditabrak oleh seorang anak muda. Untungnya saat itu Presiden sudah boarding dan tidak mengetahui kejadian tersebut. Cerita itu diperoleh Dipo Alam dari salah satu orang terdekat Habibie.

Jadi, siapakah orang kuat yang sangat alergi terhadap kelahiran ICMI dan berani melawan Presiden Soeharto ketika itu?

(By Tarli Nugroho)

*fb penulis
Baca juga :