By Asyari Usman (Wartawan senior)
Banyak pihak yang berusaha untuk menghapuskan ingatan publik, khususnya umat Islam, tentang kekejaman Partai Komunis Indonesia atau PKI. Mereka berkali-kali melakukan tindakan biadab. Mereka membunuha para ulama, kiyai, santri, dan para ustad.
Puncak kekejaman itu adalah pembunuhan tujuh jenderal TNI pada tengah malam 30 September 1965. Pembunuhan ini dilakukan secara sadis. Para jenderal ditembak dan mayat-mayat mereka masih disiksa. Setelah itu mereka lemparkan ke Lubang Buaya.
Monumen kekejaman dan kebiadaban ini tidak boleh hilang dari sejarah bangsa Indonesia. Tetapi, para aktivis dan simpatisan PKI, yang diyakini telah bangkit dalam bentuk PKI Gaya baru, terus-menerus berusaha membelokkan atau bahkan membalikkan fakta sejarah kekejaman 1965. Dan juga dua peristiwa pemberontakan komunis sebelum itu, yaitu pemberontakan Madiun 1948 dan pemberontakan 1927.
Perubahan zaman yang dikatakan ikut mengubah gerakan komunis di seluruh dunia, bukan berarti melenyapkan ideologi komunsme. Kemenangan kapitalisme yang merambah sampai ke RRC sebagai salah satu pusat paham komunis terkuat di dunia, memang mengubah cara mereka berekonomi dan berbisnis. Tetapi, tidak mengubah doktrin anti-agama dan anti-Tuhan yang menjadi pilar utama paham komunis itu.
Elit komunis China sejak era Deng Xiao Ping memang membangunan kemakmuran dengan menggunakan aplikasi kapitalisme untuk urusan ekonomi dan bisnis. Namun, mereka tetap memakai ajaran komunis untuk urusan sosial-kebudayaan dan keagamaan.
Harap diingat, PKI adalah blok komunis yang berkiblat ke China. Para aktivis dan simpatisan mereka di negeri ini yang diyakini masih bercita-cita untuk membangkitkan paham komunis, juga melakukan perubahan yang sama dengan panutan mereka di Beijing.
PKI gaya baru tidak akan mempromosikan sistem perekonomian sosialis-komunis. Mereka mengadopsi kapitalisme . Atau lebih tetapnya “kapitalisme terpimpin”. Yaitu, kapitalisme yang diatur oleh rejim komunis. Negara dan masyarakat kelihatan berubah drastis dari segi kemampuan keuangan. Namun, doktrin memusuhi agama tidak akan pernah tersentuh perubahan.
Belakangan ini, kita mencatat bertubi-tubi serangan terhadap Islam. Banyak penistaan yang dibiarkan oleh penguasa. Banyak narasi anti-Islam yang keluar dari mulut pejabat dan para politisi senior. Kita tidak tahu pasti apakah ini bagian dari kampanye yang disusupi PKI gaya baru. Yang jelas, semakin gencar sikap dan tindakan anti-Islam.
Serangan tidak hanya dalam bentuk penghinaan terhadap Islam, al-Quran dan Nabi Muhammad SAW. Melainkan berulang kali serngan fisik terhadap para imam masjid, jemaah masjid, kiyai, ustad, dan sebagainya. Juga pengrusakan atau vandalism terhadap masjid terjadi di sejumlah tempat.
Anehnya, sering pula penegak hukum menyimpulkan bahwa pelaku serangan adalah orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Kesimpulan penegak hukum itu acapkali melecehkan akal sehat. Mereka mungkin menganggap umat Islam akan menerima saja apa-apa yang mereka katakan.
Ini adalah bentuk kesewenangan yang sangat mencederai perasaan umat. Umat memanglah tidak bisa berbuat banyak ketika berhadapan dengan para penguasa yang kelihatannya telah “diprogram” untuk memfasilitasi gerakan anti-islam dan anti-Tuhan belakangan ini.
Sekali lagi, kita tidak tahu pasti apakah semua ini skenario PKI gaya baru. Tetapi, pola serangan narasi anti-Islam dan serangan fisik terhadap para imam masjid dan para ustad dan kiyai, membawa pikiran kita kembali ke masa-masa menjelang pemberontakan PKI 30 September 1965. Suasana yang ada belakangan ini sangat mirip dengan apa yang terjadi 55 tahun yang silam.
Jadi, umat harus terus waspada. Dan juga terus mengingatkan anak-cucu, keluarga, dan tetangga tentang kekejaman, kesadisan, dan kebiadaban PKI. Kita semua tidak boleh terlena oleh pendapat para petinggi kekuasaan dan politisi bahwa kebangkiatan PKI hanyalah ilusi.
Genarasi mudah umat harus memahami potensi ancaman PKI gaya baru, yang hampir akan menggunakan cara-cara mutakhir yang berbasis digital. Mereka akan menggunakan teknologi informasi untuk menyesatkan umat.
26 September 2021