Inisiatif Khadijah
Para ahli sejarah sepakat bahwa pernikahan Khadijah radhiyallahuanha dengan Nabi SAW diawali atas inisiatif Khadijah sendiri.
Namun satu hal perlu dicatat bahwa inisiatif Khadijah itu sama sekali tidak menurunkan muru’ah-nya sebagai wanita mulia.
Sebab permintaan atau ajakan itu tidak disampaikannya secara langsung. Istilah anak muda sekarang, Khadijah tidak langsung ‘menembak’ tapi melalui perantaraan orang lain.
Sehingga permintaannya jauh dari kesan sebagai wanita murahan, tidak ada kesan mengobral diri. Pengajuannya tetap merupakan sebuah tawaran yang keren, berwibawa dan berkelas.
Adapun di pihak Nabi SAW sendiri bukan berarti sama sekali tidak tertarik. Namun secara logika, untuk berinisiatif duluan menikahi seorang wanita kaya raya yang selama ini menjadi rekan bisnis, tentu bukan masalah yang sederhana.
Karena bisa jadi urusan asmara malah bisa memprak-porandakan urusan bisnis. Jadi setidaknya harus yakin bahwa mereka akan tetap bisa profesional, bisa membedakan mana urusan bisnis dan mana urusan pribadi.
Namun di sisi lain juga ada pertimbangan yang tidak kalah pentingnya, yaitu berbisnis dengan lawan jenis, tentu kurang sehat.
Apalagi rekan bisnis itu seorang janda, sedangkan Nabi Muhammad SAW sendiri seorang perjaka.
Meski kita yakin keduanya pasti bisa menjaga profesionalitas dan etika, namun biar bagaimana pun pandangan orang bisa saja menjadi liar tidak terkendali.
Sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, maka dari sekian banyak alternatif, pilihan untuk diresmikan saja sebagai suami-istri adalah satu di antara sekian banyak pilihan-pilihan logis dan masuk akal.
Namun tetap saja semua akan kembali lagi kepada pihak Khadijah. Beliau lah yang paling berhak dan paling berkompeten untuk mengukir jalan hidupnya sendiri. Oleh karena itu kalau Khadijah yang dikatakan sebagai yang punya inisifatif lebih dulu, hal itu karena memang bola ada di tangannya.
Posisi Nabi Muhammad SAW sendiri lebih netral. Kalau pun diajak menikah dan membentuk rumah tangga, tidak ada alasan juga untuk menolaknya. Khadijah pun tahu hal itu dengan sangat yakin.
Makanya Khadijah lah yang lebih berpeluang untuk berinisiatif ketimbang menunggu-nunggu Nabi Muhammad SAW untuk melakukannya duluan. Kuncinya ada di tangannya bukan di tangan Muhammad SAW.
Tentu sebagai wanita yang punya etika dan kesantunan, Khadijah tidak secara gegabah lantas main tembak begitu saja. Beliau tetap menjaga adab dan etika, sehingga Beliau menggunakan perantara dan tidak langsung menembak sendiri.
Salah satu tokoh yang sering disebut-sebut para ahli tarikh sebagai penghubung adalah seorang wanita sahabat baik Khadijah yang bernama Nafisah bintin Munabbih.
Wanita yang baik hati ini diutus oleh Khadijah untuk mengajaknya bicara menyampaikan isi hati Khadijah secara baik-baik dengan Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan Khadijah.
Dan seperti yang sudah kita duga sebelumnya, sulit bagi seorang Muhammad untuk menolak permintaan mulia ini, kecuali Beliau pun menyetujuinya saat itu juga. Dan kabar baik inipun segera sampai ke pihak Khadijah.
Namun biar bagaimana pun, Nabi Muhammad SAW tetap menghormati orang-orang tua yang selama ini telah mengasuh dan membesarkanya, khususnya Abu Thalib. Persetujuan dan restu dari mereka tetap harus didapat sebelum memutuskan masalah yang penting yaitu urusan menikah.
Tentu saja para paman itu sangat bergembira mendengar kabar baik itu. Siapa yang tidak kenal Khadijah, sosok wanita yang nyaris jadi incaran para lelaki di Mekkah, karena kebaikannya, akhlaknya, termasuk juga kekayaannya serta kedudukannya yang mulia di jajaran para pembesar Mekkah.
Dalam beberapa riwayat, para paman ini kemudian ikutan membantu Muhammad SAW untuk meringankan bebannya dalam urusan mahar. Sebab kalau maharnya tidak yang ukuran sepantasnya, tentu yang malu para paman itu sendiri. Dan ini sudah merupakan ‘urf yang lazim dikenal di masa itu.
(Ustadz Ahmad Sarwat)