EDHY DI TENGAH PUSARAN KONFLIK PRABOWO VS LINGKARAN JOKOWI

EDHY DI TENGAH PUSARAN KONFLIK PRABOWO vs LINGKARAN JOKOWI

Oleh: Radhar Tribaskoro

SAYA mengenal Edhy Prabowo saat saya menjadi caleg partai Gerindra. Ia ikut menyeleksi dan kemudian memimpin pelatihan caleg selama 2 minggu.

Selama pelatihan itu saya menyadari kedekatannya dengan Prabowo. Ia layaknya bayangan Prabowo, menyiapkan segalanya sebelum Prabowo tiba dan menindaklanjuti setiap keputusan-keputusannya. Harus diakui, dalam eksekusi kebijakan Edhy sangat baik.

Edhy Prabowo, suatu ketika, pernah dikira adik Prabowo Subianto. Itu salah satu alasan ia memenangkan kursi DPR di Sumatera Selatan, tahun 2009. Namun kenyataan itu tidak seharusnya menutupi kapasitasnya sebagai seorang eksekutor.

Setelah Edhy terpilih sebagai menteri saya menyukai gayanya "menghabisi legacy Susi Pudjiastuti". 

Susi seorang environmentalis fanatik. Ia melihat nelayan dan laut sebagai musuh abadi. Ia ingin memulihkan kekayaan laut, untuk itu ia harus menghentikan nelayan. 

Sepanjang masa jabatannya entah berapa banyak nelayan dan pembudidaya yang berunjukrasa, namun diabaikannya. Satu industri pembudidaya ikan praktis gulung tikar. 

Namun, Edhy secara bertahap menghidupkan kembali para pembudidaya itu.

Edhy punya peluang besar berhasil memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan, andai saja ia tidak terkena OTT KPK.

Memahami kasus korupsi Edhy, kita perlu melihatnya dari dua konteks: korupsi sebagai implikasi politik feodal dan oligarki dan OTT Edhy sebagai implikasi Prabowo yang pro-Amerika vs Jokowi pro-China.

Konteks pertama sudah sering sekali saya bahas, jadi nanti saya hanya akan soroti secara singkat. 

Konteks kedua jauh lebih penting, karena menyangkut hubungan strategis Indonesia-China-Amerika yang besar sekali pengaruhnya terhadap kebijakan rezim penguasa di Indonesia.

Politik dan Korupsi

Mengapa Edhy harus korupsi? Hidupnya jauh berlebih. Apakah ia seorang yang serakah? Hanya Tuhan Mahatahu. 

Perihal korupsi, saya telah beberapa kali menulis. Argumentasi saya terdiri dari 3 bagian. 

Pertama, korupsi adalah perbuatan pemimpin yang diangkat maupun ditunjuk. Adapun pengangkatan dan penunjukkan pemimpin dilakukan melalui proses politik. Karena itu akar korupsi adalah politik. 

Kedua, dalam politik demokrasi, pemimpin diangkat melalui pemilihan umum. Tetapi orang tidak boleh lupa bahwa pemimpin yang mengikuti pemilu harus dicalonkan. 

Celakanya, proses pencalonan itu didominasi oleh oligarki politik. Oligarki itu mengumpulkan uang dari para calon sebelum maupun sesudah terpilih.

Oligarki memperkuat diri dengan dua cara: feodalisme dan uang. Feodalisme meletakkan sentimen darah lebih penting dari lainnya, oleh karena itu politik dinasti meruyak hampir di semua partai.

Sementara uang adalah cara paling cepat dan efektif membeli dukungan. Di era Jokowi ini kekuatan oligarki feodal bergabung dengan oligarki finansial menjadi kekuatan yang sangat dahsyat.

Dalam 6 tahun terakhir ini oligarki feodal-finansial telah membangun jejaring kekuasaan yang mendominasi seluruh aparat negara. Dengan kata lain, aparat negara telah kehilangan "kenegaraannya", mereka telah berubah menjadi "aparat kekuasaan".

Di dalam konteks partai politik yang feodal, sangat haus uang dan mendominasi aparat negara itulah seharusnya kita memahami Edhy dan OTT KPK-nya. 

Konteks Politik Kawasan

KONTEKS kedua korupsi Edhy terkait ambisi Prabowo 2024. Ambisi tersebut telah menyebarkan purbasangka di lingkungan para pendukung Jokowi. 

Mereka melihat Prabowo belum tulus dan sungguh-sungguh mendukung Jokowi. Mereka menyoroti beberapa hal pada diri Prabowo yang mereka anggap weird (aneh). 

Pertama, mereka melihat perilaku Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Gerindra, yang selalu berseberangan dengan pemerintah. Fadli dianggap mencerminkan ambiguitas Prabowo. 

Kedua, mereka juga bertanya-tanya tentang keperluan Menhan mengunjungi lebih dari 20 negara dalam setahun pertama jabatannya. 

Dan ketiga, yang paling penting, adalah kebijakan Kemenhan berkaitan dengan kerjasama militer dengan Amerika Serikat.

Berkaitan dengan ambisi, Prabowo adalah pribadi istimewa dari keluarga istimewa. Ia punya karir militer luar biasa. Ia turut membangun pasukan khusus yang sangat disegani dunia. 

Tekadnya menjadi presiden sudah tertanam jauh lebih dalam daripada siapapun. Konon, ketika ia baru menyelesaikan SMA, Prabowo datang ke Bandung untuk menemui tokoh mahasiswa yang sangat terkenal waktu itu. Prabowo ingin diperkenalkan dengan panglima Kodam Siliwangi.

Sang tokoh heran, sepintasan bertanya, "Kenapa kamu ingin ketemu Panglima." Prabowo waktu itu menjawab dengan tegas, "Menurut ayah saya, kalau saya ingin menjadi presiden saya harus menjadi tentara!".

Tokoh itu kagum kepada cita-cita anak muda itu. Atas bakat, tekad dan (mungkin) bantuan berbagai pihak Prabowo akhirnya diterima menjadi kadet Akademi Militer di Magelang.

Jadi, Prabowo telah mengimpikan kedudukan presiden itu sejak ia SMA. Sepanjang usianya ia konsisten kepada mimpinya itu. Ia tidak akan berhenti mewujudkan mimpinya itu sampai maut menjemput. 

Dalam kaitan dengan mimpinya itu, Prabowo sangat menjaga perilakunya agar rakyat melihatnya pantas menjadi pemimpin, baik semasa ia masih berkarir di militer, maupun sesudahnya. Ia belajar sejarah, ekonomi, politik, filsafat, dsb. Ia adalah pemimpin yang sangat siap lahir dan batin. 

Maka menurut saya, bergabungnya Prabowo ke dalam kabinet Jokowi Jilid 2 hanya memiliki satu tujuan, yaitu melempangkan jalannya menuju Presiden 2024.

Handicap (halangan) terbesar Prabowo yang selalu menghantui dirinya selama masa-masa pencapresan adalah kasus penculikan aktivis. 

Ia telah membela diri dengan pantas, bahwa ia berada di bawah perintah atasan, bahwa bukan cuma dirinya yang mendapat perintah itu, bahwa semua aktivis yang ditangkap kesatuannya telah dibebaskan, bahwa banyak dari aktivis-aktivis tersebut kemudian malah bergabung dengan Partai Gerindra yang didirikannya.

Namun semua pembelaannya itu sia-sia. Terbukti dari adanya satu ganjalan: Amerika Serikat tidak mengeluarkan visa untuk Prabowo.

Mungkin itu sebabnya dalam perlindungan jabatan Menhan Prabowo senang berkeliling dunia, ia ingin menunjukkan bahwa dunia tidak memiliki masalah dengan dirinya. Dan akhirnya ganjalan itu berhasil dihilangkan ketika pada 15 Oktober 2020 Menhan AS, Mark Esper, mengundang Prabowo berkunjung ke Negeri Paman Sam. Mereka merundingkan kesepakatan militer di antara kedua negara.

Amerika Serikat diketahui memiliki kepentingan besar atas kawasan Laut China Selatan. AS ingin wilayah itu tetap menjadi perairan internasional bebas. Ketika China membangun klaim atas wilayah itu AS terusik. 

Klaim China itu bertabrakan langsung dengan sekutu-sekutu AS seperti Taiwan, Filipina, Malaysia, Indonesia, Jepang, dan Vietnam. Dengan sendirinya klaim itu bertabrakan dengan kepentingan AS. Sebuah konflik militer China vs AS perlahan-lahan muncul di cakrawala.

Masalahnya, di mana posisi Indonesia? Pemerintahan Jokowi membangun hubungan sangat erat dengan Beijing. Seakan-akan poros Jakarta-Beijing yang dulu dibikin Soekarno hidup kembali.

Sementara AS ingin Indonesia kembali ke dalam orbitnya, seperti era Orde Baru dulu. Para diplomat AS sekarang sangat ramah, mereka bilang "America has to engage Indonesia." Oleh sebab itu, AS kembali turun dengan bantuan-bantuan semisal ventilator, vaksin, dlsb.

Walaupun Jokowi sangat dekat dengan China, ia tetap menjaga hubungan baik dengan AS. Namun hanya ketika Prabowo menjadi Menhan, AS melihat pintu sedikit terbuka untuk mereorientasi orbit Indonesia ke arah dirinya. Bukankah Prabowo membutuhkan visa darinya?

Lebih dari itu, sikap Prabowo kepada AS pada dasarnya tidak jauh dari sikap tradisional TNI yang sejak kemerdekaan antikomunis dan pro-Amerika. Sikap itu ditegaskan oleh adiknya, Hashim Djojohadikusumo, dalam sebuah pertemuan dengan sejumlah tokoh bisnis dan politik Amerika Serikat di Washington DC.

Maka tidak heran bila kesepakatan yang ditandatangani kedua Menhan dalam pertemuan 15-19 Oktober 2020 itu mencerminkan hubungan yang "sangat bersahabat". 

Tentu saja ada pihak yang tersengat oleh kesepakatan itu, siapa lagi kalau bukan China! Responsnya seketika, hanya berselang sehari setelah perjanjian diumumkan, Menlu Retno menyangkal. 

Menlu mengatakan bahwa Indonesia tidak mengizinkan "pesawat mata-mata P8 Amerika Serikat berpangkalan di Halim dan Juanda”. Menurut Retno, Indonesia tidak ingin terjebak dalam pertikaian China vs Amerika. 

Tentu saja, Menlu Retno pura-pura tidak tahu a simple truth: China punya klaim wilayah dengan Indonesia, bukan dengan AS. Yang memiliki kemungkinan berperang dengan China adalah Indonesia. Bukan Amerika Serikat. 

AS hanya akan turut berperang di Laut China Selatan ketika salah satu negara di sana (termasuk Indonesia) meneriakkan jeritan perang.

Dalam pada itu, pihak Kemenhan bersikukuh bahwa perihal yang disampaikan Menlu Retno merupakan domain (wilayah wewenang) Menhan. Menlu PDIP itu tidak menyerah, ia melambung ke presiden. Jokowi mendukung Menlu Retno. 

Pada 20 Oktober 2020 Jokowi mengoreksi kebijakan Menhan, ia melarang Halim dan Juanda disinggahi oleh pesawat intai maritim P8-Poseidon.

Banyak lagi hal dalam perjanjian militer itu yang membuat China meradang. Poin-poin perjanjian yang dipersoalkan China, antara lain:
1. Bantuan AS dalam pengembangan Pusat Latihan Tempur di lahan 300.000 hektar di Kalimantan Utara.
2. Bantuan konsultan AS untuk pengembangan pulau Morotai di Maluku Utara yang sangat strategis.
3. Latihan marinir 3 negara di Darwin.
4. Merapatnya kapal induk AS di perairan Indonesia.

Last but not least, China juga meradang atas pembelian persenjataan Amerika oleh Indonesia. Di dalam paket pembelian itu terdapat pesawat F16 Bloc 72 Viper yang tercanggih di kelasnya, F35 dengan kemampuan anti-radar (stealth), helikopter berkapasitas besar untuk mobilisasi udara, dan rudal laut Harpoon yang sangat canggih.

China berprasangka bahwa paket pembelian persenjataan itu diproyeksikan untuk perang laut. Di belakang prasangka itu China mencurigai Prabowo telah membuat prakonsepsi China adalah musuh. Prakonsepsi ini bertentangan dengan sejumlah pernyataan lisan Prabowo sendiri.

Sudah pasti kegusaran China sampai juga ke meja presiden. Apa reaksi Jokowi kemudian? Apakah Jokowi akan mendukung Menhan yang dua kali menjadi lawan di ajang Pilpres? Atau dia akan mendukung concerns Menlu Retno dan PDIP yang ingin menjaga manisnya hubungan Indonesia-China?

Pilihan sikap itu bisa berdampak terhadap keberadaan Edhy Prabowo di kabinet. Karena secara teoritis, sesuai dengan revisi UU KPK, sebuah Operasi Tangkap Tangan harus memperoleh dua tingkatan izin.

Pertama, izin dari Komisioner. Dan kedua, izin dari Dewan Pengawas. Dengan perizinan lebih ruwet ini suatu OTT profil tinggi setingkat menteri, sangat kecil kemungkinan tidak diketahui oleh presiden.

Dengan kata lain, lepas dari kasus korupsi itu sendiri, OTT KPK atas Edhy Prabowo dapat dilihat sebagai bentuk peringatan atau hukuman kepada Prabowo.

Lantas bagaimana masa depan Prabowo di kabinet Jokowi Jilid2?

___
*Radhar Tribaskoro, penulis adalah Pemerhati politik, demokrasi, dan isu kebangsaan.

Baca juga :