MESKI tak lagi menjabat wakil presiden, Muhammad Jusuf Kalla tetap sibuk dengan berbagai kegiatan. Ia belum lama ini melawat ke Vatikan untuk bertemu dengan pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus.
Sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia dan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Kalla juga sering berkeliling Indonesia untuk mengunjungi markas dan pengurus wilayah kedua organisasi itu.
Walaupun agendanya padat, Kalla tak melepaskan perhatiannya dari perkembangan peristiwa terhangat di Tanah Air.
Kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam, Muhammad Rizieq Syihab, menjadi salah satu isu yang menyedot atensinya.
Selain menyoroti kerumunan massa pendukung yang menyulut reaksi pro-kontra di tengah pandemi, Kalla menilai kembalinya Rizieq yang disambut gegap-gempita menggambarkan adanya kekosongan kepemimpinan Islam saat ini. Rizieq, kata dia, tidak hanya membuat pemerintah gamang bersikap.
Kalla juga mengkritik partai-partai politik dan organisasi massa berhaluan Islam moderat yang gagal melahirkan figur pemimpin alternatif.
Wawancara Khusus JK
PURNATUGAS sebagai wakil presiden tak membuat kesibukan Muhammad Jusuf Kalla berkurang. Menjabat Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) dan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), ia menghadiri banyak kegiatan di dalam dan luar negeri. Ia bersama anggota Dewan Juri Zayed Award for Human Fraternity melawat ke Vatikan untuk menemui Paus Fransiskus pada 23 Oktober lalu. Ia juga berkunjung ke Arab Saudi untuk membahas kelanjutan pembangunan Museum Internasional Sejarah Rasulullah SAW di Ancol, Jakarta Utara. “Saya sekalian umrah dengan sangat terbatas,” kata Kalla, 78 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo di kediamannya di Jakarta Selatan, Rabu, 18 November lalu.
Kalla hanya rehat beberapa hari setelah tiba di Tanah Air sebelum kemudian terbang ke Manokwari, Papua Barat; dan Jayapura, Papua, pada 13-14 November lalu. Di kedua kota itu, ia mengunjungi markas PMI dan melantik pimpinan wilayah DMI. Kalla juga bertemu dengan para tokoh agama untuk membicarakan cara memajukan Papua dan menyelesaikan konflik. Politikus kawakan yang menjadi wakil presiden di era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) dan Joko Widodo (2014-2019) itu mengatakan masalah Papua dapat diselesaikan lewat jalan dialog. Dengan pengalaman mendamaikan Aceh, Kalla yakin konflik di Papua bisa diakhiri.
Meski tidak lagi aktif tampil di panggung politik, Kalla tetap mengikuti sederet peristiwa hangat yang sedang diperbincangkan publik. Ia, misalnya, menanggapi kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam, Muhammad Rizieq Syihab, dari Arab Saudi. Menurut dia, kembalinya Rizieq yang disambut ingar-bingar ribuan pendukungnya di tengah pandemi patut mendapat perhatian. Ia mengatakan Rizieq telah mengisi kekosongan pemimpin Islam akibat absennya figur yang menyuarakan amar ma’ruf nahi munkar. “Di situ Habib Rizieq masuk dengan jumlah pengikut yang luar biasa besar,” ujarnya.
Kepada wartawan Tempo, Anton Septian, Mahardika Satria Hadi, Raymundus Rikang, Khairul Anam, dan Aisha Shaidra, Kalla, yang didampingi juru bicaranya, Husain Abdullah, menjelaskan pertemuannya dengan Paus Fransiskus, tanggapannya atas kepulangan Rizieq Syihab, juga persoalan Papua. Kalla pun mengemukakan alasan pemerintah memilih Patimban di Subang, Jawa Barat, sebagai lokasi pembangunan pelabuhan terbesar setelah Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Bagaimana Anda melihat dinamika yang terjadi setelah Rizieq Syihab kembali ke Indonesia?
Ada kekosongan kepemimpinan di umat Islam apabila berbicara tentang ideologi atau amar ma’ruf nahi munkar. Partai-partai Islam yang wasathiyah, moderat, diharapkan mengusung itu, tapi semuanya pragmatis saja. Nahdlatul Ulama tentu sangat sibuk dengan dakwah dan upaya sosial. Begitu pun Muhammadiyah. Tapi upaya mengisi kepemimpinan boleh dibilang berkurang. Di situ Habib Rizieq masuk. Jumlah pengikutnya menjadi luar biasa. Kita sendiri juga terkejut kenapa ini tiba-tiba terjadi. Kita tentunya harus mengkonsolidasi organisasi-organisasi lain supaya bisa ada (figur) alternatif.
Dulu peran itu ada di tangan Anda, yang bisa merangkul kelompok keagamaan tapi juga cair secara politik. Apakah kekosongan yang Anda maksud seperti itu?
FPI kan sudah lama ada. Tiba-tiba puncaknya sekarang ini, kalau kita lihat dari segi massa. Kita tidak mengatakan massa telah berubah. Ini perlu ada satu pemikiran baru. Kita jangan hanya asyik berdakwah, tapi juga menyuarakan amar ma’ruf nahi munkar. Ini karena kita asyik berpolitik, akhirnya ada kekosongan yang diisi oleh Habib Rizieq.
Siapa yang patut disalahkan atas keadaan ini?
Tidak ada yang salah. Saya tidak mengatakan salah. Tapi organisasi-organisasi Islam perlu juga tetap bergerak dalam bidang amar ma’ruf nahi munkar.
Anda menganggap kepulangan Rizieq yang disambut ribuan orang itu fenomena mengkhawatirkan?
Selama dia bergerak dalam damai, saya kira kita tidak perlu khawatir. Hanya, salahnya karena itu terjadi saat pandemi. Dulu aksi 411 dan 212 (Aksi Bela Islam II dan III) tidak ada yang salah. Itu kan massa yang sama. Jauh lebih besar massa aksi 212 dibanding kemarin. Tapi, masalahnya, yang dilanggar adalah protokol kesehatan dan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, pembatasan sosial berskala besar, sehingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sampai dipanggil (Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya) untuk dimintai klarifikasi.
Anda dikenal cukup dekat dengan Anies Baswedan. Anda sempat menjalin komunikasi dengan Anies tentang peristiwa itu?
Saya bicara tapi cuma bilang, “Apa yang Anda bikin?”, karena di situ dikatakan ada pengantin. Dia tidak hadir dalam pernikahannya (putri Rizieq). Sebagai orang yang mendukungnya pada waktu pemilihan gubernur, pantas saja dia (Anies) untuk itu (menemui Rizieq). Salahnya kan karena banyak orang, ada kerumunan.
Ketika berkomunikasi dengan Anda, apakah Anies mengatakan ada motif politik di balik pemanggilannya oleh Polda Metro Jaya?
Sebagaimana disampaikan Anies, dia ditanyai tentang aturan apa saja yang dibuat oleh pemerintah daerah dan dilanggar. Bukan berarti dia dianggap bersalah. Sebenarnya bukan hanya aturan pemda, tapi juga Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Menjadi dilematis.
Dilematis seperti apa?
Mereka (massa pendukung Rizieq) berkumpul, tapi tidak berbuat kekerasan. Mereka tidak merusak, membakar, berbuat kriminal, dan rusuh. Hanya satu yang dilanggar, yaitu mereka berkerumun. Konteksnya pelanggaran PSBB.
Apakah pemerintah sejak awal kurang tegas dalam merespons kedatangan Rizieq?
Dia kan warga negara, ulama yang dihormati. Karena semua perkaranya di-SP3 (diberi surat perintah penghentian perkara), berarti dia orang bebas. Jadi tidak ada cara untuk mengatakan “you tidak bisa begini atau begitu” karena dia sudah bebas. Bahwa orang datang begitu banyak, saya kira Habib Rizieq juga tidak menyangka itu.
Bila berpatokan pada protokol kesehatan, bukankah acara yang melibatkan massa pendukung Rizieq semestinya bisa dilarang?
Dalam keadaan biasa saja susah dilarang, apalagi seperti ini. Karena itulah saya kira ada kekosongan kepemimpinan. Sudah seperti pulangnya Ali Khomeini (pemimpin revolusi Islam di Iran) saja. Dielu-elukan. Tapi saya kira semua ini hanya euforia sesaat. Mereka yang datang itu selfie untuk diberitahukan ke orang-orang di kampungnya, “Eh, saya ikut datang menjemput.” Ada kebanggaan. Lihat saja video-videonya.
Apa konsekuensi terburuk jika pemerintah bertindak terlalu keras kepada Rizieq?
Kalau bertindak keras bisa menimbulkan korban. Dengan massa sebanyak kemarin, tidak mempan (dibubarkan) dengan semburan air. Kalau saling dorong dengan polisi bisa kalah, walaupun sebanyak apa pun. Apalagi kalau ada yang kena tembak atau terinjak-injak. Dalam pikiran mereka, kalau ada apa-apa akan syahid. Jadi memang harus ada pendekatan yang baik. Saya kira euforia massal ini ada karena kerinduan pendukungnya yang tidak bertemu selama tiga setengah tahun.
Anda sempat bertemu dengan Rizieq sewaktu di Arab Saudi?
Ndak, lah. Waktu saya cuma sehari di Saudi. Semalam di Riyadh, semalam di Mekah, lalu ke Madinah. Di sana kira-kira enam jam, lalu pulang.
Setelah dia kembali dari Arab Saudi tidak ada komunikasi dengan Anda?
Tidak ada sama sekali.
Sebagian pihak menganggap Rizieq menjadi tokoh besar karena perlakuan pemerintah terhadapnya pada periode pertama pemerintah Presiden Joko Widodo. Saat itu Anda menjabat wakil presiden. Tanggapan Anda?
Yang membesarkan namanya kan kasus Ahok (kasus penistaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama). Timbul sentimen masyarakat yang bersatu dan memunculkan aksi 411 dan 212. Sentimen masyarakat yang membawa dia besar. Sewaktu aksi 411, Presiden tidak ada di Istana. Cuma saya yang jaga Istana. Di situlah kami putuskan. Saya tanya Kepala Polri, “Ini masalah Ahok berapa lama Anda selesaikan?” Kapolri bilang dua minggu. Oke, setujulah dua minggu. Coba tidak ada kasus itu, ndak ada aksi 411 dan 212. Lalu secara politik kesulitannya justru tetap banyak yang mendukung Ahok. Perbedaan menjadi makin keras.
Menurut Anda, apakah Rizieq bisa bergeser menjadi figur yang dapat dipilih secara elektoral dalam pemilihan umum?
Kalau dia mau masuk partai politik, iya. Tapi sebenarnya kita bisa bersikap tegas. Saya pernah suruh tangkap Habib Rizieq.
Kapan kejadiannya?
Waktu periode pertama (Susilo Bambang Yudhoyono). Saya minta Kapolri (Jenderal Sutanto) tangkap itu. Kesalahannya memerintahkan pemukulan terhadap orang yang tidak bersalah di Monas (insiden 1 Juni 2008). Dia sembilan bulan masuk penjara. Setelah dia keluar dari penjara, langsung datang ke saya. Lima orang datang ke saya. Dia bilang, “Dulu Bapak suruh polisi tangkap saya?” Saya jawab, “Iya, kenapa? Karena Habib yang salah.” Jadi tidak berarti dia kebal hukum.
Mengapa saat itu polisi tidak langsung bertindak?
Polisi sempat ragu-ragu. Saya bilang, “Saya yang perintahkan.” Artinya, saya yang tanggung jawab. Waktu itu tidak ada Pak SBY. Kalau ada, bisa jadi surat kuasa, kan, he-he-he….
Bagaimana Anda menggambarkan hubungan Anda dengan Rizieq?
Sewaktu Pemilu 2009, saya mau maju sebagai presiden karena Pak SBY tidak lagi ingin dengan saya. Dia (Rizieq) datang, “Pak JK, kami dukung Bapak tapi dengan syarat nanti dengan perjanjian tertulis bahwa Bapak akan melaksanakan syariat Islam.” Saya bilang, “Habib, saya tersinggung dengan omongan Bapak. Syariat Islam apa yang tidak kita laksanakan?” Syariat Islam itu kan akidah, ibadah, muamalah. Akidah soal rukun iman. Kalau ibadah, kita mendirikan masjid, bayar zakat kalau mampu, naik haji malah orang antre. Syariat Islam apa lagi?
Apa reaksi Rizieq?
Dia terdiam. Saya sejak lahir sampai sekarang melaksanakan syariat Islam. Saya bilang kalau tidak mau dukung tidak apa-apa. Dia bilang kalau begitu kami tidak sejalan. Iya, tidak sejalan dalam pemikiran. Dia ingin syariat Islam masuk peraturan daerah dan undang-undang. Saya jawab, buat apa? Hukum Islam itu Al-Quran dan hadis. Itu hukum tertinggi. Di bawahnya baru undang-undang dasar. Ini untuk orang Islam, ya. Jadi apa yang mau diundangkan dari syariat Islam itu? Apakah orang yang tidak salat dimasukkan penjara? Eh, kalau orang tidak salat akan masuk neraka. Lebih tinggi tingkatnya.
Anda mengatakan fenomena Rizieq menggambarkan kerinduan umat Islam terhadap sosok yang dekat dan dapat menyuarakan kepentingan mereka. Apakah ini bisa menjadi semacam peluang bagi Anies Baswedan pada Pemilu 2024?
Anies itu gubernur paling mudah karena bertepatan dengan masalah Ahok. Ada keterpihakan besar-besaran. Bisa saja Anies mengambil manfaat itu walaupun memang, menurut saya, siapa yang mau jadi presiden itu prestasinya apa. Tidak dilihat hubungan dan kedekatannya dengan siapa. Orang akan melihat prestasi Anies, Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawansa, atau Ridwan Kamil, termasuk prestasi mengatasi Covid-19.
Anda mendorong pencalonan Anies dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Apakah Anda akan menyiapkan Anies untuk pemilihan presiden 2024?
Masih terlalu lama, empat tahun lagi. Semua bisa berubah-ubah.
•••
Sumber: TEMPO