Upaya Belanda Menjinakkan Islam di Jawa dengan Mengembalikan Jawa ke Peradaban Pra-Islam


Menyurutkan Makna Jawa

Mataram, di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645), melakukan Islamisasi besar-besaran melalui pendidikan Islam massal kepada masyarakat. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca Al Qur’an, tata cara beribadah dan tentang ajaran dasar Islam seperti rukun iman dan rukun Islam. Saat itu, apabila ada anak berusia 7 tahun belum bisa membaca al Qur’an, ia akan malu bergaul dengan teman-temannya. Selain itu,juga dilakukan penerjemahan kitab-kitab besar berbahasa Arab dalam kajian yang bersistem bandongan (halaqah). Kitab-kitab itu meliputi kitab Fiqih, Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam dan Tasawuf. Juga Nahwu, Sharaf dan Falaq. Sistem kalender juga disesuaikan dengan sistem Islam (Yunus, 1996 : 223-225).

Sayangnya, rintisan yang dilakukan oleh Sultan Agung ini tidak dilanjutkan oleh pewarisnya, yakni Amangkurat I yang lebih memilih dekat dengan VOC dan berhadapan dengan kaum santri di bawah pimpinan Trunojoyo. Ketergantungan militer pada VOC menyebabkan, penerusnya, yakni Amangkurat II tidak mempunyai pilihan kecuali memberikan sebagian pesisir kepada VOC. Hal ini membuat komunikasi dengan pusat-pusat Studi Islam di Asia Selatan dan Timur Tengah menjadi sulit (Woodward, 2008 : hal. 16-17).

Meski mengalami stagnasi, Islam di bumi Mataram tetap merupakan energi perlawanan utama terhadap kolonialis Belanda. Oleh karena itu, pasca Perang Diponegoro, pemerintah kolonial Belanda melakukan eksperimen “Nativisasi Kebudayaan” untuk menjinakkan Islam. Nativisasi ini adalah upaya untuk mengembalikan kembali Jawa kepada peradaban pra Islamnya.

Pada tahun 1830 Pemerintah kolonial Belanda mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) di Surakarta, yang merupakan tempat berkumpul para ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda. Para javanolog Belanda ini lebih jauh menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa. Para Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta. Javanolog Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna” terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda (Shiraishi, 1997 : 7). Lembaga ini akhirnya berhasil menciptakan sebuah kultur menjadikan Islam sebagai unsur asing dalam budaya Jawa.

(Arif Wibowo)

Baca juga :