Wawancara Khusus Anies Soal 21-22 Mei TAMPAR TELAK Pendukung Jokowi


[PORTAL-ISLAM.ID]  Pada hari kejadian kerusuhan 21-22 Mei, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru pulang dari Jepang dan banyak yang bertanya di mana Anies saat kerusuhan terjadi.

Anies menjawab kritik yang datang dari beberapa netizen tentang perannya sebelum dan sepanjang kerusuhan 21-22 Mei terjadi. Anies dituding tidak berempati kepada aparat keamanan dan juga warga yang menjadi korban penjarahan massa perusuh, sebabnya, Anies paling pertama mengumumkan jumlah korban meninggal, bahkan Anies mendatangi rumah beberapa korban, hingga ikut memakamkan.

Menanggapi beragam respon netizen, Gubernur DKI Anies Baswedan punya pandangan sendiri, apa yang jadi alasan Anies bersikap demikian? Simak wawancara kumparan bersama Anies Baswedan.

Anda posisi pada 21 Mei sedang di Jepang, bisa diceritakan pertama kali dengar kerusuhan dan apa yang dilakukan?

Jadi kalau kejadian kerusuhan, benturan dan lain-lain kejadian itu memang tanggal 21 malam. Saya sedang dalam perjalanan. Jadi ketika perjalanan kita mendengar, sekitar jam 4.15 pagi. Di situlah saya mendengar update lengkap. Jadi sudah di Jakarta.

Kemudian saya langsung ke Balai Kota, saya panggil semua para Wali Kota kemudian para kepala yang terkait. Kesbangpol, Kesehatan, Damkar, di ruangan ini. Jadi waktu itu saya minta update, selesai update saya langsung ke jalan Thamrin. Jadi pagi itu saya sudah di jalan Thamrin.

Mungkin kita sekitar pukul 06.30 WIB. Dan mereka menyampaikan informasi terbaru dan waktu itu belum ada kejelasan informasi juga tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Karena wilayahnya tertutup, dilokalisir. Tapi disebutkan ada benturan di Tanah Abang, Ks Tubun, Petamburan, dan di Slipi Raya.

Dari Thamrin langsung ke RS Tarakan dan langsung mengupdate jumlah korban ketika polisi bahkan belum menyebutkan. Apa pertimbangannya?

Jadi begini, begitu laporan kita lihat apa saja yang terjadi mereka melaporkan banyak korban korban yang muncul. Kemudian saya cek kesiapan RS kita, itulah kenapa saya datang ke RS Tarakan. Karena RS Tarakan adalah RS kita dan saya ingin memastikan rumah sakit itu siap.

Dan betul sampai di sana IGD itu penuh dengan orang. Yang berdatangan dengan berbagai masalah kesehatan. Tujuan saya mengecek kesiapan Rumah Sakit saya. Tujuan saya adalah memastikan rumah sakit pemerintah yang paling dekat dengan jalan Thamrin siap. Saya temui pimpinannya, saya lihat kesiapan mereka, saya lihat dari dekat apa yang terjadi. Kemudian kira-kira sejam. Kemudian saya memberikan penjelasan.

Kenapa saya memberikan penjelasan? Ini perintah Undang-undang. Undang-undang no 14 tahun 2008. Ini saya sebutkan.

‘Informasi yang wajib diumumkan secara serta merta’. Secara ‘serta-merta’ itu artinya right away immedietly. Apa itu? Bencana sosial seperti kerusuhan sosial, konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas kemudian teror dan lain-lain. Menurut undang-undang saya diwajibkan menyampaikan informasi secara serta merta.

Jika saya tidak menyampaikan informasi dan menutup-nutupi saya kira topiknya hari ini topiknya itu. Kenapa saya menutup-nutupi informasi? Justru saya bertanya, saya menantang, menantang kepada mereka yang mengatakan harus menutup-nutupi. Yang saya harus menghalangi, apa benar di era seperti ini kita harus menutup-nutupi informasi? Kenapa jadi dibalik? Kenapa yang transparan harus disalahkan? Kenapa yang transparan justru dikritik? Bukannya kita mendorong transparansi? Bukannya kita mendorong keterbukaan? Bukankah ini memberikan kepastian?

Lalu saya ditanya apa motif saya menyampaikan? Satu, perintah undang-undang. Yang kedua, yang ada di benak saya sepanjang proses itu adalah bagaimana peristiwa ini terisolir, tidak meluas. Dan kita punya kenangan di Jakarta. Apakah baru pertama kali ada kerusuhan di Jakarta? Tidak. Benturan? Tidak. Kita ingat peristiwa ‘84 Tanjung Priok. Kita ingat ‘74 Malari. Kita tahun ‘98.

Saya nanya peristiwa Semanggi ada yang tahu nggak korbannya? Semanggi I, Semanggi II. Ada nggak yang tahu korban di Tanjung Priok? Kenapa? Karena negara tidak hadir. Negara tidak memunculkan kepastian informasi.Saya penyelenggara negara dan peristiwa ini terjadi dekat dengan saya, apa yang saya kerjakan? Saya mengisolir sehingga tidak memunculkan mesin produksi hoaks. Kenapa? Karena bakan bakarnya ada. Bahan bakarnya ketidakpastian informasi. Begitu ada kepastian, hari ini ada hoaks tentang jumlah yang meninggal, langsung hilang. Karena penyelenggara negara datang dengan informasi apa adanya.

Coba kalau tidak, hari ini lagi seliweran berapa jumlah yang meninggal. Nanti ada yang bilang 80, ada yang bilang 28, ada yang bilang 18. Karena itu penting bagi penyelenggara negara seperti saya justru mengambil sikap menyampaikan apa adanya. Dan saya memilih hadir dan saya memilih diam dalam ruangan. ‘Inikan problem pemerintah pusat, bukan saya’ inikan bukan pertarungan antar kampung yang berseteru dan kemudian gubernur harus menengahi. Inikan isunya isu nasional, tapi saya tidak mungkin membiarkan ibu kota menyaksikan kekosongan hadirnya negara. Dalam situasi yang tidak stabil dan tegang. Saya berseragam dan saya hadir.

Poin saya adalah dengan cara kita melakukan diseminasi informasi dengan serta merta. Ada kepastian informasi dan saya meninsolir tidak meluas ketempat-tempat lain.

Anda bilang saat itu Jakarta aman, tapi banyak yang tidak setuju?

Betul, tunjukan di mana yang tidak aman. Di mana tidak amannya di luar 200 meter Sudirman. Garis Tanah Abang sampai Slipi. Di luar tempat itu aman, damai, tertib.

Jakarta tenang kok, Jakarta tidak ada masalah. Datang ke Ciputat, ditanya ada masalah nggak? Nggak ada. Datang ke Matraman? Nggak ada masalah. Yang ada masalah adalah di Thamrin-Tanah Abang.

Bagi mereka yang bilang di luar tegang. Tunjukan kepada saya di mana tegangnya. Kalau tidak bisa menunjukan akui saja yang tegang hanya di daerah ini.

Kejadian aksi sudah diprediksi, mengapa tidak memberikan warning warga DKI untuk menghindari aksi 21-22 Mei?

Oh ini prinsip dasar dalam demokrasi, setiap warga negara berhak menyampaikan pandangannya secara lisan, bisa berkumpul. Itu prinsip dasar demokrasi. Dan Jakarta itu ibu kota. Di sini lokasinya Bawaslu, di sini lokasinya KPU. Jadi ketika warga negara mau berpartisipasi silakan itu hak dasar bernegara.

Saya berpandangan negeri ini berdasarkan berdemokrasi kebebasan berserikat dilindungi, dihargai maka negara menantisipasi jika masyarakat memilih mengemukakan pendaparnya. Bukan tugas kita untuk mengatakan ‘tolong jangan sampaikan pendapat anda’. Di mana penghargaan kita soal demokrasi? Itu soal internalisasi nilai dan saya meyakini justru tugas negara melindungi kebebasan itu. Itu yang saya kerjakan.

Kita lakukan antisipasi, antisipasi apa? Kita sediakan satpol PP, Damkar, petugas kesehatan. Ada yang bertanya kenapa itu semua disiapkan? Kita ada rapat Forum Pimpinan Daerah bersama Kapolda dan Pangdam dengan jajaran yang lain. Dan mendapatkan informasi dengan jumlah yang banyak. Kita harus antisipasi, kalau kepolisian saja menyiapkan petugasnya berarti akan datang dengan jumlah banyak. Kita juga menyiapkan pelayanan kesehatan, melakukan antisipasi bukan berarti bagian dari yang menyelenggarakan protes. Kita bersiap-siap.

Kenapa mengunjungi salah satu korban korban rusuh 21 Mei dan ikut menguburkan?

Pagi itu, saya ingin memastikan ini tidak meluas. Saya bertemu dengan orang tuanya di RS Tarakan. Saya tanya tentang anaknya, saya tanya tentang kegiatannya, orang tuanya menjelaskan. Bagi saya sebagai Gubernur status hukum anak itu adalah nanti ditentukan setelah penyidikan polisi. Tapi dia adalah warga Jakarta dan dia tinggal di Tambora, yang jaraknya mungkin hanya 1 km dari Glodok dan anak itu meninggal mendadak dalam sebuah kerusuhan.

Apa yang muncul dalam benak saya? Ratusan orang mungkin ribuan bisa ngangkat jenazahnya. Datang ke situ, ngangkat jenazahnya. Korban berubah jadi martir, begitu jadi martir maka bisa dipakai untuk memperluas gerakan. Melihat itu saya harus diam? Tidak. Saya pilih datang ke rumahnya, saya pilih untuk mengangkat jenazahnya dan saya pilih bilang kepada semuanya "tenang, jangan memperluas. Jaga stabilitas. Tidak ada satupun dari kita yang menginginkan kematian ini."

Dan saya sampaikan masyarakat di sana supaya korban tidak berubah jadi martir. Tapi untuk itu saya harus pasang badan, saya bawa keranda itu. Jadi kira kira I took the bullet. Saya pegang tanggung jawab itu.

Yang terjadi? Alhamdullilah terkendali. Datang ke tempat itu suasana tidak enak mas. Kita semua biasa datang ke takziah, ini datang ke takziah yang suasananya duka dan marah. Saya tidak bisa menghentikan dukanya tapi saya bisa dikit-dikit menghentikan marahnya.

Bagi kita yang tidak mengerti konteks sosiologisnya, mungkin bilang gubernur sedang bersimpati. Bukan, ini gubernur sedang menghentikan eskalasi. Karena itu saya katakan berkali-kali. Saya pilih langkah preventif biarkan sejarawan yang menulis. Karena mereka akan memiliki data yang lengkap, membandingkan kejadian 74, 84, 98, 99 dengan 2019.

Tapi kenapa tidak menjenguk korban dari polisi?

Betul, saya mendatangi korban meninggal dan mendatangi rumah sakit di mana kami harus menyediakan pelayanan. Saya bukan mengunjungi korban. Kalau saya mengunjungi korban saya harus mengunjungi semua rumah sakit. Saya ini mengunjungi rumah sakit kami memastikan rumah sakit kita siap untuk melayani semuanya. Dan saya datangi korban yang meninggal, kalau ada pihak lain yang meninggal saya datangi untuk mencegah adanya eskalasi. Jadi itu yang saya kerjakan.

Ada beberapa korban yang masih di bawah umur, bagaimana Pemprov memandang ini?

Meninggal dalam situasi seperti itu satu nyawa saja sudah tidak boleh terjadi. Satu nyawa saja tidak boleh terjadi. Apalagi lebih dari satu. Karena itu kita percayakan kepada aparat hukum melakukan penyidikan dan penyelidikan atas peristiwa kemarin. Sehingga mereka yang bertanggung jawab untuk mempertanggung jawabkan di mata hukum. Tapi itu wilayah aparat hukum. Saya tidak boleh melakukan penghakiman posisinya sebagai apa. Apa posisinya kebetulan di sana lalu jadi korban, apakah dia pelaku lalu meninggal.

Justru buat kami semua, kemarin bukan peristiwa yang enak. Kemarin itu peristiwa yang berulang.

Meskipun sudah selesai pemilu, ada antisipasi kejadian serupa terjadi di MK?

Sebenarnya Jakarta mengalami beberapa kali aksi unjuk rasa. Jumlahnya besar-besar. Pernah kejadian seperti kemarin. Saya berharap aparat hukum bisa segera mengetahui siapa-siapa pelaku-pelakunya sehingga tidak mengalami pengulangan. Karena baru kemarin saja sampai terjadi benturan. Selebihnya tidak pernah terjadi benturan.

Sumber: Kumparan

Arsitek Marco Kusumawijaya merekomendasikan agar berita ini dibaca oleh para pendukung Jokowi.
Baca juga :