[PORTAL-ISLAM.ID] Memasuki masa tenang pileg dan pilpres 2019, publik banyak di suguhi dramatikal politik pemilihan di pelbagai kedutaan besar negara indonesia melalui sejumlah media sosial yang banyak di warnai carut marut dan problem seputar dpt (daftar pemilih tetap) dan distribusi logistik dalam tahapan pemilu yang dibingkai dalam demokrasi kardus.
Mungkin sejak era reformasi dan pemilu 1955 bisa dibilang ini adalah pileg dan pilpres yang paling buruk dalam hal penyelenggaraan dan akan menjadi catatan sejarah sebagai pileg dan pilpres pertama yang paling brutal karena masifnya mobilisasi asn, kepolisian dan pegawai bumn yang digiring untuk mengkampanyekan kandidat capres tertentu.
Negara sepertinya telah gagal mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara karena dalam pileg dan pilpres ini yang terjadi justru ada oknum pejabat negara yang memfasilitasi uang suap dalam sejuta amplop dan sembako untuk di sebar kepada masyarakat menjelang pemilihan nanti.
Demokrasi kardus, amplop dan sembako ini sangatlah menjijikan dan sama sekali tidak mendidik rakyat karena suara rakyat yang merupakan suara tuhan mereka coba untuk disuap oleh oknum politisi agar digadaikan kepada para calon legislator ataupun pemimpin politik yang lahir dari demokrasi kardus tersebut yang notabene, sekali lagi saya sebut merupakan demokrasi terburuk sepanjang berdirinya NKRI.
Para penyelenggara pemilu tampaknya tidak siap dan kurang sigap terhadap masifnya sejumlah laporan kecurangan pemilu di sejumlah negara, yang pada akhirnya berdampak pada memburuknya citra demokrasi Indonesia dimata dunia. Penyelenggara pemilu dan pengawas sepertinya sengaja membiarkan money politik yang disawer diatas panggung hiburan saat kampanye politik terjadi.
Demokrasi kardus yang digembok, dengan alasan penghematan anggaran pada akhirnya dijadikan lelucon para kartunis dunia, membuat para penyelenggara pemilu kehilangan simpati publik. Rakyat pemegang mandat tertinggi dalam negara telah menyerukan demokrasi yang jurdil, bukan dengan demokrasi amplop dan sembako seperti yang dilakukan bowo yang di OTT KPK.
Ketidaktegasan kpu dan bawaslu dalam masa kampanye kemarin, harusnya jangan sampai terulang kembali, karena rakyat menantikan pemimpin yang lahir dari pemilu yang jurdil. Rakyat butuh kwalitas pemilu yang baik yang akan melahirkan pemimpin dengan legitimasi mandat dari rakyat bukan lagi dihadirkan pemimpin boneka yang dikangkangi oleh banyak kepentingan politik didalamnya.
Demokrasi kita bukan demokrasi boneka, bukan juga demokrasi yang menghasilkan para badut sebagai wakil rakyat maupun badut pemimpin negeri. Kita ingin demokrasi pancasila ini menjadi demokrasi yang mencerminkan nilai luhur dan jati diri bangsa.
Untuk itu, kepada para penyelenggara pemilu agar berperan aktif dalam pileg dan pilpres pertama ini, dengan membuat statement dihadapan publik jangan memilih pemimpin yang menyuap suara rakyat dengan amplop dan sembako agar yang terpilih nanti adalah wakil rakyat yang berkwalitas serta pemimpin yang bukan boneka partai.
Publik secara serentak dan tegas harus berani menyatakan sikap menolak pemimpin yang lahir dari demokrasi amplop dan sembako ketika mereka terpilih sebagai wakil rakyat, dan pengawas pemilu harus menyeret para politisi amplop dan sembako tersebut ke meja hijau.
Para penyelenggara pemilu harus lebih aktif bersosialisasi agar rakyat tidak hanya di jadikan sebagai pasukan nasi bungkus, pasukan nasi liwet, dan pasukan nasi rames ala para elit politisi boneka yang hanya memobilisasi rakyat di masa kampanye, agar di masa pemilihan nanti rakyat dihadirkan pemimpin yang mampu menyatukan masyarakat, bukan pemimpin yang selalu mengkotak-kotakan rakyat selama kepemimpinannya.
Sebagai pesan penutup, mari seluruh rakyat Indonesia kita kawal logistik surat suara saat pencoblosan pada pemilu 17 April 2019. Bergantian kita menginap agar kotak suara itu tidak ditukar oleh oknum politisi jahat yang menginginkan NKRI dipimpin oleh para politisi kardus, politisi sejuta amplop dan politisi sembako.
Waallahul Muafiq illa Aqwa Mithoriq,
Wassallamuallaikum Wr, Wb.
Jakarta, 15 April 2019
Penulis : Pradipa Yoedhanegara