Jika Tak Hati-Hati, Yusril Bisa ‘Menjomblo’


[PORTAL-ISLAM.ID]  Saya ingin buat analogi. Ada seorang gadis di usia nikah. Cantik, menawan dan pantas diajak kondangan. Dilamar seorang lelaki. Tapi laki-laki ini beristri. Mapan, karirnya bagus, matang karena punya pengalaman, dan yang terpenting lelaki ini sangat perhatian. Dengan gadis ini, lelaki itu merasa muda kembali. Bersemangat dan tambah percaya diri.

Menikah dengan lelaki ini, si gadis sejahtera. Rumah diberikan, mobil dibelikan, kebutuhan hidup tak akan kekurangan. Bahkan berkesempatan jalan dan bulan madu ke luar negeri sesuai keinginan. Bukan hanya dia, tapi juga keluarganya. Kebetulan keluarganya butuh untuk itu. Tapi ada satu persoalan. Apa itu? Sosial punishmen. Apa kata tetangga? Dicap pelakor, merebut istri orang, perusak rumah tangga, dan seterusnya. Itu risiko! Risiko sosial mainstream.

Di sisi lain, ada lelaki bujang mendekati. Sebagai gadis normal ia ingin punya jodoh bujang, muda dan sebaya. Umumnya bujang, hidup belum mapan. Malah kadang tak punya usaha atau pekerjaan. Yang jelas, belum bisa memberi jaminan dan janji masa depan. Menikah dengan bujang tentu juga ada risikonya. Apa risikonya? Siap berjuang bersama-sama. Derita dan susah bersama. Bersedia kerja keras, tertatih-tatih, mungkin sangat melelahkan untuk mencukupi kebutuhan baik secara ekonomi, bahkan psikologis. Butuh lebih banyak waktu untuk menyesuaian dan membuat satu irama. Masa depan? Bisa berhasil, tak menutup kemungkinan untuk gagal. Yang pasti, dinamikanya lebih ekstrim. Perceraian pun tetap punya peluang. Apalagi jika si gadis atau pasangannya tak sabar, atau cekcok dengan keluarga. Ini sumber paling dominan dalam perceraian.

Yusril seperti gadis belia itu. Cerdas, populer, dan mampu back up hukum. Ada sedikit spirit dengan bergabungnya Yusril. Saat ini, Yusril dihadapkan pada dua pilihan. Ke Jokowi, atau ke Prabowo. Bimbang? Tidak! Semua bergantung negonya. Dalam politik, tak ada pertimbangan rasa. Yang ada adalah rasionalitas kebutuhan. So, tak ada keraguan! Kalkulasinya pada seberapa besar keuntungan.
Ke Jokowi, Yusril seperti menikah dengan suami orang. Punya kekuasaan lengkap dengan SDM dan anak perusahaan. Tentu, sangat mapan. Kebutuhan logistik terpenuhi, tapi power sharing, kecil kemungkinan ruangnya. Kecuali jika di perjalanan nanti, Yusril betul-betul jadi pasangan yang menawan. Nurut, loyal dan bisa melengkapi kebutuhan tim Jokowi. Jika syarat-syarat itu terpenuhi, Yusril baru akan punya kekuatan positioning. Apakah Yusril bisa loyal? Track record-nya sebagai menteri kabinet Gus Dur dan Megawati jadi catatan. Ini tak mudah membuat partai-partai pendukung Jokowi yang lain memberi ruang yang leluasa buat Yusril. Waspada dan curiga boleh jadi yang paling dominan. Tapi, kenapa Yusril diterima? Pertama, berpotensi merusak kubu lawan. Kedua, vote getter. Apakah setelah pilpres Yusril tetap dipakai? Tak ada jaminan. Boleh jadi, Jokowi ambil orang lain yang dianggap lebih loyal.

Sementara berpasangan dengan Prabowo, minim logistik. Harus berjuang dari awal. Jika sukses, ada ruang untuk power sharing. Karena dari awal sama-sama merasakan beratnya perjuangan. Jaksa Agung atau Menkumham di depan mata. Tidak sukses? Bubar. Itu risiko perjuangan.

Lalu, Yusril milih mana? Pilih Jokowi, logistik banyak. Tapi dapat kecaman sosial dan punya risiko politik. PBB akan babak belur. Karena melawan mainstream keumatan. Milih Prabowo, logistik cekak, dan harus siap berjuang. Namanya berjuang, mesti siap lapar dan tak ada pembiayaan. Semua ada risikonya.

Soal memilih siapa, itu hak Yusril. Yusril bisa berlabuh ke Jokowi, bisa juga ke Prabowo. Proses politik masih terus berjalan. Setidaknya hingga desember nanti, dimana tanggal rakornas PBB sudah ditetapkan. Kenapa bulan desember? Pas waktunya untuk posisioning dan menaikkan harga tawar. Di bulan desember, dua kubu lagi dalam keadaan tegang. Mungkin malah panik. Karena persaingan lagi ketat. Yusril dan PBB hadir seperti malaikat membawa berkat.

Saat ini, komunikasi politik masih intens dijalin antara Yusril dengan kedua kubu. Mana yang paling menguntungkan bagi Yusril dan juga PBB, itu yang akan diambil. Kok gak ada ideologinya? Mana idealismenya? Politisi punya rasionalitasnya sendiri kawan. Jangan pakai ukuran agama jika ingin menilai politisi. Karena bagi mereka, agama itu modal politik. Beda dengan anda.

Persoalannya tidak kepada “siapa” Yusril akan berlabuh. Dia mau pilih siapa, itu haknya. Undang-undang memberi ruang dan jaminan. Masalahnya justru ada pada “bagaimana” cara Yusril memberikan dukungan. Ini soal akhlak politik dan etika sosial.

Jika seorang gadis milih bujang tapi serta merta menjelekkan lelaki beristri yang melamarnya, tentu tak etis. Atau sebaliknya, gadis itu memilih lelaki beristri tapi dengan cara merendahkan lelaki bujang yang jatuh cinta padanya, ini juga tak berakhlak. Dipastikan gadis ini bukan gadis baik-baik. Tak layak dijadikan pasangan hidup. Bukan istri yang ideal. Dan banyak gadis cantik, tapi karena tak humanis dalam bersikap, justru bernasib jauh dari jodohnya. Tak ada lelaki mendekat, karena ego dan akhlaknya. Akhirnya, ia menjomblo sampai tua.

Mirip dengan Yusril, jika ia mendukung salah satu capres-cawapres dengan cara mengecam, menghantam dan menghajar capres-cawapres lainnya, ia bisa bernasib seperti gadis yang menjomblo seumur hidup itu. Waspadalah!

Penulis: Tony Rosyid
Baca juga :