Generasi Penanam Pohon

Oleh: Cahyadi Takariawan
“Kita adalah generasi yang ditakdirkan menanam pohon. Generasi penerus kita nanti yang akan memetik hasilnya”, demikian salah satu ungkapan Prof. Dr. Boediono saat kami beraudiensi di Istana Wakil Presiden RI, Senin 22 Nopember 2010 kemarin. Saya cukup tersentak dengan pernyataan ini. Bukan apa-apa. Saya kemudian menjadi menerawang jauh ke depan.

Duduk di sebelah saya Dr. Fachmi Idris, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang dengan tekun mencatat pokok-pokok pikiran Wakil Presiden RI tentang reformasi birokrasi dan kepemimpinan nasional. Saya mencolek Bang Fachmi sembari berbisik pelan, “Pernyataan seperti ini pernah diucapkan generasi Soekarno pada waktu itu. Pernah pula diucapkan oleh generasi pejuang setelahnya. Ternyata di zaman kita sekarang, kalimatnya masih sama, dan bisa jadi kelak duapuluh tahun lagi kita akan berpesan hal serupa kepada anak cucu kita”. Bang Fachmi hanya tersenyum.

Saya segera teringat cerita Sanich Iyonni tentang Naruto dan Tenten si Penanam Pohon di kota Konoha. Setelah lama berpisah, Tenten kembali ke Konoha dan menjumpai Naruto masih menjadi penanam pohon setia di Konoha, pada saat orang-orang telah meninggalkan kota itu karena banyak kekacauan yang terjadi di dalamnya. “Lalu apa yang membuatmu bertahan menanam pohon di Konoha ?” tanya Tenten.

“Ada sebuah nasihat legendaris dari seorang penanam pohon senior kita : daripada menjauh dari kota yang penuh polusi tanpa berbuat apa-apa, lebih baik menanam satu pohon untuk menghijaukan kota”, jawab Naruto.

Menanam pohon jelas merupakan pekerjaan yang memiliki visi kuat. Pohon tidak akan segera membesar dalam waktu singkat. Memerlukan waktu lama, bertahun-tahun, bahkan kadang puluhan tahun, sampai pohon tersebut tampak besar, dewasa, dan memberikan kemanfaatan. Mungkin manfaat keindahan, kesejukan, atau karena ada buah yang bisa dimakan, atau karena kayu yang bisa dijadikan bangunan dan peralatan.
Kita telah terlanjur menjadi generasi instan, yang menikmati sari buah-buahan yang telah diawetkan, jus buah awetan, menikmati buah kupas yang telah disajikan di supermarket, tanpa perlu menanamnya. Tanpa perlu menunggu proses tumbuh kembang dan berbuahnya. Bahkan tanpa perlu mengupasnya. Langsung makan, seperti ungkapan iklan sebuah produk makanan, “Tinggal lheb…”.

Menanam pohonh memerlukan kesabaran, tidak bisa langsung ingin menikmati hasilnya. Bisa jadi pohon jati yang gunakan sebagai pintu rumah kita adalah hasil tanaman kakek kita, yang tidak dinikmati ayah kita apalagi oleh kakek si penanam jati. Dan kalau kita menanam pohon jati sekarang, juga tidak akan kita nikmati pada usia kita, namun dinikmati oleh anak atau bahkan cucu dan cicit kita. Lalu mengapa harus menanam pohon jati jika tidak akan kita nikmati hasilnya ? Hanya satu jawaban: karena adanya harapan.

Kita berharap generasi penerus bisa menikmati hasil jerih payah kita. Berharap generasi mendatang lebih baik dari generasi sekarang. Berharap kota yang kita tinggali lebih hijau dan asri di masa yang akan datang. Berharap wilayah kita semakin teduh dan sejuk pada waktu duapuluh tahun ke depan. Berharap hutan bisa menahan banjir. Berharap hutan bisa mengatasi pemanasan global. Dan sejuta harapan lain, di masa depan.

Saya menerawang ke depan. Akankah kalimat yang sama saya ucapkan di hadapan generasi cucu saya kelak ? Dengan tubuh yang telah lemah akibat usia, dan hidup tinggal sisa hitungan waktu, saya berdiri sekuat tenaga agar tidak jatuh. Semangat saya berapi-api melihat anak-anak muda generasi cucu saya datang “sowan” ke rumah saya.

Saya berpidato penuh hikmah dan petuah. Anak-anak muda ini riuh bertepuk tangan mendengar apa yang saya sampaikan, dan mengapresiasi semangat seorang kakek yang mewariskan garis perjuangan kepada generasi muda. Apakah yang saya sampaikan pada waktu itu ?

“Saudara-saudara generasi muda, teruslah berjuang menegakkan kebenaran, menebarkan kebajikan. Generasi saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Generasi saya hanyalah generasi penanam pohon. Saya berharap kalian semua yang akan memetik dan menikmati hasilnya. Syaratnya satu. Teruskan langkah perjuangan yang telah kami rintis dari dulu. Jangan berhenti, jangan menepi !!”

Mungkin, salah satu dari generasi cucu saya itu menyeringai mendengar wejangan saya tersebut. Lalu ia berbisik kepada temannya, “Ah, itu kan kata-kata sejak zaman Soekarno…. Dulu pak Boediono juga pernah mengucapkan saat menjadi wakil Presiden. Jangan-jangan kelak kalau kita tua juga masih bicara seperti itu….” Dan temannya terkekeh-kekeh tertawa mendengar bisikan itu.

Ternyata, kita semua adalah generasi penanam pohon.

Pancoran Barat, 24 Nopember 2010

*sumber: cahyadi-takariawan.web.id
*posted by: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :