Orang GOTO, namanya Ade Mulya (Chief of Public Policy and Government Relations), di Inilah.com (19/5/2025), berkata bahwa tuntutan mitra ojol agar potongan ditekan hingga 10% tidak masuk akal karena potongan 20% digunakan untuk membiayai berbagai upaya guna memastikan keberlangsungan tingkat order dan peluang pendapatan mitra driver.
Saya akan buktikan betapa ucapan “diplomatis nan manis terdengar” itu menyimpan ranjau kekacauan logika yang tak sesuai dengan fakta laporan keuangan dan berpotensi menyesatkan publik. Saya juga akan buktikan bahwa lebih banyak lagi hal yang tidak masuk akal dari bisnis GOTO—yang berpotensi merugikan keuangan BUMN/negara tetapi, di sisi lain, justru menguntungkan segelintir pebisnis asing (SoftBank dan Alibaba) yang menguasai mayoritas saham GOTO.
1. Ojol menuntut agar potongan turun maksimal hingga 10% justru masuk akal dan wajar. Sebab, 72,4% (Rp14,04 triliun dari Rp19,38 triliun, LK 2024 audited) pendapatan GOTO berasal dari segmen On-demand Services (Gojek), yang penopang utamanya adalah pihak ketiga (mitra dan merchant). Segmen lain seperti Teknologi Keuangan (Gopay) dan E-commerce (Tokopedia) tidak ada apa-apanya—apalagi mayoritas saham Tokopedia (75%) kini sudah dikuasai TikTok. Artinya, ojol-ojol itu bukan pelengkap penderita, tapi pemeran utama bisnis GOTO.
2. Diskon, promo, dan insentif pelanggan tidak dibayarkan dari dana investor GOTO atau dari beban perusahaan, tapi dipotong dari pendapatan mitra. Tahun 2024, jumlahnya mencapai Rp3,17 triliun (turun dari tahun 2023 sebesar Rp6,1 triliun). Artinya, program diskon dan semacamnya itu bukan bentuk hadiah atau subsidi dari kantong perusahaan, tapi bagian dari strategi harga (pricing strategy) yang sepenuhnya dibiayai dari pendapatan mitra.
3. Rugi operasional GOTO secara konsolidasi pada 2024 sebesar Rp2,2 triliun, dan sumber utama kerugiannya bukan potongan mitra 20%. Asal tahu saja, pos terbesar berasal dari biaya korporasi yang dibayarkan ke pihak ketiga, yakni sebesar Rp2,2 triliun (tahun 2023: Rp4 triliun). Contohnya: gaji dan bonus eksekutif, konsultan eksternal, biaya kantor pusat, iklan–promosi skala korporat, dan lain-lain. Artinya, secara finansial, masalah GOTO adalah borosnya operasional pusat, bukan potongan mitra.
4. Untuk pertama kalinya sejak berdiri, segmen Gojek (On-demand Services) baru mencetak laba usaha pada 2024, yaitu sebesar Rp69 miliar (tahun 2023 rugi Rp1,52 triliun)—meskipun secara konsolidasi semua segmen masih rugi Rp2,24 triliun. Faktor utamanya adalah besarnya pendapatan dari mitra dan pemangkasan diskon/insentif ke pelanggan. Tapi yang terjadi justru capaian laba usaha itu dibesar-besarkan, sementara di sisi lain tersiar kabar lewat Bloomberg dan Reuters bahwa valuasi GOTO saat ini mencapai US$7 miliar (sekitar Rp112 triliun)—dan itu pun di luar GOTO Financial/Gopay. Artinya simpel, kata saya: ada dugaan kuat bahwa GOTO sedang disiapkan untuk buru-buru dijual ke investor lain dengan harga premium. Apalagi, usia investasi SoftBank, Alibaba, dan sejumlah investor awal lainnya sudah mencapai 10 tahun—waktu ideal untuk exit dalam dunia start-up. Lalu, bagaimana ceritanya perusahaan yang merugi operasional sampai Rp2 triliun lebih, nilai sahamnya anjlok hampir 80% ke Rp70-an (dari harga IPO Rp338), kapitalisasi pasarnya menyusut ke Rp80-an triliun, operasional pusatnya boros, dan sedang didemo ribuan mitranya sendiri... bisa minta harga premium US$7 miliar?
5. Yang juga tidak masuk akal: pada 2021, Telkomsel (anak usaha BUMN Telkom) membeli saham GOTO senilai Rp6,4 triliun di harga Rp270 per lembar. Saat itu, GOTO baru enam tahun berdiri, belum pernah mencetak laba. Kini, sahamnya bernilai jauh di bawah itu (turun hampir 75%), dan Telkomsel hanya memiliki <3% kepemilikan tanpa pengaruh manajerial. Bagaimana ceritanya dana BUMN bisa dipakai untuk menopang ekosistem rugi, hanya demi kata "sinergi", “nasionalisme digital (semu)”, dan keuntungan investor privat—yang salah satunya adalah kakak Menteri BUMN sendiri sebagai pemilik GOTO?
6. Dunia makin tidak masuk akal ketika kita baca klaim Presiden Prabowo Subianto saat memberikan arahan di Kongres IV Tidar, Minggu (18/5/2025), bahwa selama enam bulan berkuasa pemerintahannya sudah menyelamatkan ratusan triliun uang negara. Padahal, di kasus GOTO, kita bisa lihat sendiri bagaimana duit BUMN Rp6,4 triliun justru kecebur ke jurang investasi saham di perusahaan yang salah satu pemiliknya adalah kakak Menteri BUMN, dan Menteri BUMN-nya sendiri malah dipertahankan—bahkan didapuk jadi Ketua Pengawas Danantara oleh Prabowo. Apakah Danantara sedang disiapkan untuk menjadi juru selamat GOTO di masa depan?
Pemerintahan yang aneh!
Salam,
Agustinus Edy Kristianto