Gideon Levy: Pada Akhirnya, Hanya Hamas yang Akan Bertahan

Gideon Levy: Pada Akhirnya, Hanya Hamas yang Akan Bertahan

(Alih Bahasa: Reza Ervani bin Asmanu)

Penulis kiri Israel, Gideon Levy, mengatakan bahwa apa yang gagal dicapai Israel dengan kekuatan paling “biadab” dalam sejarahnya tidak akan bisa dicapai dengan kekuatan yang lebih brutal lagi.

Dalam artikelnya di surat kabar Israel Haaretz, ia menulis bahwa Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) pada akhirnya akan tetap bertahan setelah perang yang menumpahkan banyak darah, menewaskan ratusan tentara Israel dan puluhan ribu warga Jalur Gaza, serta menyebabkan kehancuran besar sebanding dengan yang terjadi di kota Dresden, ibu kota negara bagian Sachsen di Jerman, selama Perang Dunia II.

Ia menambahkan bahwa Israel harus mengakui bahwa tidak ada yang akan tersisa di Jalur Gaza selain Hamas, dan dari kenyataan ini Israel harus mengambil pelajaran dan hikmah.

Yang menarik, Gideon Levy menyebut nama Hamas sebanyak 24 kali dalam artikelnya, untuk menegaskan pendapatnya bahwa meskipun Gerakan Perlawanan Islam Palestina mengalami kerusakan besar dari sisi militer, namun ia akan pulih kembali.

Dari sisi politik dan ideologi, ia mengakui bahwa Hamas justru semakin kuat selama perang, karena berhasil membangkitkan kembali semangat dalam isu Palestina yang sebelumnya dianggap telah dilupakan oleh Israel dan dunia.
Inti dari persoalan ini, menurut penulis, adalah bahwa Israel tidak dapat mengubah kenyataan bahwa Hamas tetap ada. Israel tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan entitas pemerintahan lain di Gaza. Bukan hanya karena keberadaan entitas semacam itu masih diragukan, tetapi yang paling utama adalah karena kekuasaan negara penjajah itu sendiri memiliki batas.

Oleh karena itu, Levy meyakini bahwa pembicaraan tentang “hari setelah Hamas” (hari setelah lenyapnya Hamas -red) adalah hal yang menyesatkan; “Tidak ada hari setelah Hamas, dan kemungkinan besar tidak akan ada dalam waktu dekat.”

Ia mengaitkan hal itu dengan kenyataan bahwa Hamas adalah satu-satunya pihak yang memerintah di Jalur Gaza, setidaknya dalam kondisi saat ini yang hampir tidak bisa diubah. Maka, “hari setelahnya” akan tetap mencakup Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), dan orang-orang Israel harus membiasakan diri dengan hal itu.

Kesimpulan pertama yang disampaikan dalam artikel tersebut adalah bahwa melanjutkan perang merupakan langkah yang sia-sia, karena hanya akan membunuh para tawanan Israel yang tersisa dan puluhan ribu warga Gaza, sementara pada akhirnya Hamas akan tetap ada.

Alih-alih melancarkan perang lain “untuk mencabut Hamas dari kekuasaan dan semua omong kosong lainnya”, kita harus membiasakan diri dengan keberadaannya, ungkap Levy. Ia menambahkan bahwa hal itu menuntut Israel untuk mulai berbicara dengan gerakan tersebut.

Ia juga mengatakan: “Seandainya Israel menepati janjinya seperti yang dilakukan oleh Hamas, niscaya kita sekarang sudah berada pada tahap kedua atau ketiga dari kesepakatan gencatan senjata.”

Ia melanjutkan bahwa jika saja Israel memiliki seorang negarawan yang memiliki visi dan keberanian – meskipun menurutnya itu adalah gagasan yang mungkin sudah tidak ada harapan – niscaya orang itu akan mencoba berbicara dengan Hamas secara langsung, terbuka, dan di hadapan publik, baik di Gaza maupun di Yerusalem.

Meskipun penulis berpendapat bahwa akan lebih baik jika ada pemerintahan yang berbeda di Gaza, namun ia mengakui bahwa pilihan itu tidak tersedia dalam waktu dekat.

Menurutnya, mustahil untuk mengangkat seorang pemimpin di Jalur Gaza – bahkan Muhammad Dahlan (tokoh boneka yang didukung Israel -red) sekalipun – tanpa persetujuan dari Hamas. Dan dalam pandangan Levy, Otoritas Palestina yang menurutnya sedang sekarat perlahan di Tepi Barat, tidak akan tiba-tiba bangkit kembali di Gaza.

(Sumber: link)
Baca juga :