Beberapa hari ini media ramai mendesak Presiden Prabowo Subianto agar menghentikan rencana akuisisi GOTO oleh GRAB. Alasannya? Karena GOTO disebut “aset nasional”, “karya anak bangsa”, “penyelamat UMKM”. Bahkan komunitas ojol ikut ditampilkan, seolah ini soal nasib rakyat kecil.
Padahal kalau kita ikuti aliran uangnya, yang akan tertawa adalah SoftBank dan Alibaba—dua pemegang saham asing besar GOTO yang masuk sejak awal, saat harga saham masih Rp1 per lembar. Dan itu bukan asumsi. Dalam Prospektus GOTO (2022) tertulis jelas: saham investor awal dicatat di harga nominal Rp1, bukan harga pasar.
Jadi, narasi nasionalisme yang sering digaungkan itu faktanya bukan semata untuk kepentingan rakyat kecil—tapi juga alat untuk mendongkrak valuasi dan memuluskan cuan investor asing yang sedang cari jalan keluar melalui merger atau akuisisi.
Sekarang, kabarnya GOTO sedang dinegosiasikan ke GRAB di valuasi US$7 miliar (Rp112 triliun), padahal market cap-nya cuma Rp88 triliun (sumber: Reuters). Artinya, ada markup Rp24 triliun—dan itu bukan buat publik, tapi valuasi premium buat investor awal.
Dan semuanya makin terang-benderang kalau kita lihat manuver keuangannya: GOTO sudah buyback 135 miliar saham treasuri senilai Rp5,5 triliun (Laporan Keuangan Q1 2025), sementara laporan keuangan GRAB tidak menunjukkan ada dana tunai besar disiapkan untuk akuisisi—tidak ada pinjaman baru, tidak ada penerbitan saham, tidak ada kas jumbo. Artinya? Transaksi ini hampir pasti akan dilakukan lewat pertukaran saham (share swap).
Bagi SoftBank dan Alibaba, menahan saham GOTO di tengah tren rugi, harga stagnan, dan masa depan tak pasti adalah kerugian. Maka strategi mereka jelas: lebih baik tukar saham GOTO ke saham GRAB, yang jauh lebih likuid dan diperdagangkan global.
SoftBank (7,6% kepemilikan di GOTO) akan menukar sahamnya jadi setara Rp8,5 triliun, Alibaba (7,4%) dapat sekitar Rp8,3 triliun. Dan jika langsung dijual di pasar saat ini, dengan harga saham GRAB US$4,9 per lembar (9/5/2025), nilainya bisa langsung dicairkan: SoftBank Rp8,51 triliun, Alibaba Rp8,29 triliun. Semua itu berangkat dari saham GOTO yang dulu mereka peroleh di harga Rp1 per lembar. Jadi ini bukan soal sinergi—ini soal exit strategy. Dan saham GRAB adalah pintu keluarnya.
Yang lebih lucu: SoftBank juga pemegang saham besar GRAB (9,98%), lewat entitas berbeda (SB Investment Advisers (UK) Limited). Artinya, dia yang jual, dia juga yang beli. Dia atur harga, dia juga yang bawa untung.
Sementara itu, Telkomsel, anak BUMN Telkom, beli saham GOTO pakai uang negara Rp6,4 triliun di harga Rp270 pada 2021. Kini tinggal Rp81 (9/5/2025). Turun 70%. Rugi Rp4,4 triliun.
Menteri BUMN: Erick Thohir. Salah satu pemilik GOTO: kakaknya, Boy Thohir. Saya duga kuat terdapat konflik kepentingan dalam keputusan investasi BUMN Telkomsel di saham GOTO.
Kalau dilihat lebih jernih, narasi nasionalisme digital yang sekarang digaungkan tampaknya punya tujuan ganda: di satu sisi, untuk menekan GRAB secara politik agar tidak mendikte syarat sebelum transaksi merger; di sisi lain, membuka peluang agar pemerintah—melalui BUMN atau Danantara—ikut “menolong” GOTO lewat skema penyelamatan. Dan yang paling berbahaya: narasi ini juga dipakai untuk mengalihkan perhatian publik dari kerugian Telkomsel sebesar Rp4,4 triliun, dengan membungkusnya dalam isu semu soal “kedaulatan digital”, agar tidak ada satu pun pejabat yang dimintai pertanggungjawaban.
Yang kita butuhkan sekarang bukan narasi nasionalisme untuk menyelamatkan GOTO. Kita butuh nasionalisme yang menuntut pertanggungjawaban atas lenyapnya Rp6,4 triliun dana BUMN itu—dan mengusut dugaan konflik kepentingan kakak-beradik ini.
Kita juga butuh seruan nasionalisme yang sekencang mungkin untuk mendesak negara menciptakan lapangan kerja yang berkualitas—termasuk menciptakan keadilan dalam hubungan kerja mitra dan perusahaan.
Jangan naif. Jangan ikut kampanye “karya anak bangsa” kalau sahamnya dari awal dikuasai asing. Dan jangan diam ketika BUMN rugi triliunan tanpa satu pun pejabat yang dimintai tanggung jawab.
Follow the money. Lihat siapa yang sedang jualan, siapa yang sedang atur harga, dan siapa yang pulang bawa untung—sementara publik dibiarkan menggenggam abu.
Salam,
(Agustinus Edy Kristianto)