“Jika Allah Maha Mencukupi, lalu mengapa masih ada orang yang kelaparan? Bukankah kasih-Nya meliputi segala?”

“Jika Allah Maha Mencukupi, lalu mengapa masih ada orang yang kelaparan? Bukankah kasih-Nya meliputi segala?”

Pertanyaan itu datang dari seorang anak filsafat, Naufal Ar-Rawi.

Naufal adalah anak pemerhati, usianya 15th yang tengah getol belajar filsafat. Dia hidup berdua bersama ibunya. 

Setiap ucapannya terasa seperti kutipan dari kitab-kitab samawi. Pandangannya penuh tanya, dan jika melihat hujan, ia bertanya:

“Apakah hujan adalah cara langit menangis menyaksikan manusia yg bengis?”

Namun, sore itu pulang dari mengaji, Naufal melihat seorang kakek bersandar di bawah pohon.

Lusuh, lelah, payah.
Matanya memohon tanpa suara.
Seakan memberi makna, "Perutku lapar, berilah aku makanan."

Naufal menghentikan langkah. Tatapannya memerhatikan dari jauh. Hatinya bergumam,

Mengapa kakek itu melihatku?
Apakah dia mengenalku?
Apa yang dia harapkan dariku?

“Assalamu'alaikum, Tuan,” ucap Naufal pelan.
“Apakah engkau mengenalku? Apa yang kau harapkan dariku?”

Hati Naufal kembali bergumam, 
"Mengapa kakek ini duduk di sini? Mengapa wajahnya pucat lusuh dan badannya gemetar? Apakah dia sakit?"

"Wa'alaikumussalam, wahai yg dimuliakan Allah," sambut kakek itu, menjawab salam dari Naufal. 

"Sungguh, aku tidak mengenalmu, Nak.
Badanku gemetar karena lelahnya tiga hari perjalanan. 

Perut menggoyang iman,
Menuntut makanan.
Hatiku menangis,
Menahan diri dari mengemis."

Hati Naufal kini gaduh.

"Ada apa dengan dunia ini? Tidakkah Allah itu Maha Memelihara dan Mencukupi? Lalu, mengapa ada orang-orang yang kelaparan? Apakah Allah tidak memelihara mereka yang lapar?".

Akal pikiran Naufal mulai berkecamuk. Segera, dia berlari meninggalkan kakek itu.

Naufal pulang dengan sorot mata penuh amarah. Hatinya geram, gemetar, karena tak mengerti cara kerja semesta.

Harumnya aroma roti menyambut kedatangan Naufal. Ibunya telah mempersiapkan makan malam.

Begitu masuk rumah, Naufal memandang tajam wajah ibunya, lalu mengamati tumpukan roti hangat yang sedang disiapkan sang ibu untuk dijual esok hari.

"Bu, jika Tuhan itu Maha Memelihara, Maha Mencukupi, lalu mengapa ada manusia yang tidak memiliki makanan dan kelaparan? Bukankah kasih-Nya meliputi segala?" tanya Naufal.

Sang ibu tertegun, terdiam, menolehkan pandangannya kpd wajah Naufal, lalu berkata, 

"Hai, Nak, bagaimana mengajimu sore ini? Adakah pelajaran yg telah kau pahami dari ajaran kyai? 

Pergilah ke belakang, Nak. Cucilah tangan dan kakimu, wudhulah, lalu duduklah bersama ibu."

Naufal mengangguk, berlari menaatinya dan segera kembali duduk di hadapan ibunya.

Sang ibu begitu tenang memerhatikan wajah polos dan sorot mata yang bening pada diri anaknya. 

Sang ibu bergumam, 
"Ada apa dengan anak ini, tiba-tiba saja bertanya tentang Allah dan orang-orang yang lapar? Adakah sesuatu yang telah terjadi dalam dirinya? Ah, tentu saja ini kemuliaan. Kerap pertanyaan seorang anak lebih jujur daripada doa orang dewasa".

Sang ibu berkata, "Wahai anakku, apakah engkau lapar?"

"Tadi aku lapar, namun sekarang tidak lagi, Bu. Aku kehilangan selera makan karena pertanyaan dan kenyataan yang berkecamuk dalam hatiku," jawab Naufal.

"Wahai anakku, lihatlah roti-roti hangat nan harum yang berbaring di meja ini. Lihatlah, wahai Naufal. Tidakkah engkau melihatnya sebagai anugerah dari Allah?"
Naufal mengangguk menyetujui perkataan ibunya.
"Wahai Naufal, apakah semua roti ini kau rasa cukup untuk membuat kita berdua kenyang malam ini dan esok hari?"

"Lebih dari cukup, Bu. Berdua kita tidak akan mampu menghabiskannya," jawab Naufal.

"Wahai Naufal, bagaimana jika kita menjadi manusia tamak dan kikir? Roti-roti ini kita simpan sendiri saja. Tidak perlu kita jual. Toh kita tetap bisa hidup hanya dengan makan roti dan minum air."

Naufal mulai mengernyitkan dahinya.

"Wahai Naufal, lihatlah, roti-roti ini bukan hanya tepung dan air. Roti ini adalah tajalli sifat dzat, penampakan manifestasi kasih Allah dalam bentuk keberadaan wujud yang bisa disentuh. 

Inilah ayat-ayat kauniyah yang hidup bertebaran di semesta.

Wahai Naufal, roti ini adalah anugerah dan akan menjadi berkah jika dimanfaatkan dalam kebaikan. Sebagaimana aliran sungai yang menolak beku, ia harus terus mengalir, berpacu padu untuk menyucikan airnya.

Bukankah air bisa menjadi rusak jika terlalu lama disimpan dalam bejana?

Wahai Naufal, ingatlah.

Setiap makhluk, setiap ciptaan, pasti dipelihara dan dicukupi oleh-Nya dengan kadar rezeki masing-masing yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta.

Bukan Allah yang tidak mencukupi,
Namun manusia yang enggan berbagi.

Allah tidak pernah menahan rezeki untuk setiap ciptaan-Nya. Allah pasti menyediakan cukup "roti" yang dititipkan pada semesta ini.

Akan tetapi, manusia sering kali membangun tembok kekikiran untuk membendung dan menimbun “roti-roti semesta,” demi sekadar menggemukkan ketamakan dan kerakusan dalam dirinya. 

Mereka telah lupa bahwa tangan-tangan yang memberi adalah “cermin” dari Tuhan yang Maha Pengasih.

Wahai Naufal, adanya orang-orang yang lapar bukanlah tanda bahwa Allah berlaku tidak adil. 

Jika engkau mengetahui di sekelilingmu ada yang kelaparan, maka itu adalah undangan-Nya agar kita menjadi perpanjangan tangan dari kasih-Nya.

Wahai Naufal, Allah tidak memberi kenyang pada orang-orang yang kelaparan bukan karena Dia tidak ada atau murka. Tetapi karena Allah rindu melihat hamba-Nya tergerak untuk memanifestasikan sifat-sifat Jamal-Nya dalam perbuatan seorang hamba."

❤️❤️❤️❤️

"Allah telah menciptakan ibu dan kamu, Nak.

Ketika kita memberi, kita tak hanya memberi roti namun kita sedang memperkenalkan Allah kepada orang-orang yg lapar.

Karena pada setiap roti yg dibagi, pasti ada kebaikan Ilahi. Dan pada setiap roti yang sia-sia, tentu ada musibah."

Naufal terdiam.
Dia memandangi roti-roti itu.

Filsuf kecil itu kini memahami, bahwa keburukan tak selalu jatuh dari langit yang muram, tapi justru lahir dari terangnya bumi yang enggan berbagi.

Bukan Allah yang lalai memberi,
Namun manusia yang menahan aliran rezeki.

Bukan semesta yang kejam,
Namun hati yang enggan menjadi tangan Tuhan.

Bukan Allah yang tidak adil,
Namun manusia yang bakhil.

"Bu, bolehkah aku menjadi manifestasi sifat Allah yang Maha Pemberi?" pinta Naufal, dengan mata yg basah oleh cahaya pemahaman.

"Aku ingin menjadi sungai yg terus mengalirkan sifat-sifat Jamal-Nya".

"Aku ingin membagikan sedikit roti ini kepada seorang kakek tua yg kutemui"

Sang ibu mendengar suara Naufal lirih. Gemetar cinta menyelimuti setiap ucapannya.

"Kakek itu kelaparan, Bu. Tubuhnya gemetar menahan derita, putih matanya mulai menguning, seolah cahaya hidup perlahan meredup".

Sang ibu tersenyum lembut, menyerahkan sebuah kantong kain kepada Naufal.

“Bergegaslah, anakku. Penuhi kantongnya dengan roti, bawalah juga sekantong susu ini untuk kakek yang kau temui."

Laksana seorang utusan yg membawa kabar gembira, Naufal segera menjalankan perintah ibunya. Kakinya ringan, hatinya lapang.

Sepanjang perjalanan, mata Naufal menatap senja dengan gagah.

Seakan langit pun ikut bersaksi atas kebangkitan nurani seorang anak yg penuh filosofi.

Baca juga :