[PORTAL-ISLAM.ID] Sejumlah wilayah di Jakarta terendam banjir sejak Senin, 3 Maret 2025. Banjir itu terjadi akibat curah hujan yang tinggi dan luapan sejumlah sungai yang melintasi Jakarta. Bahkan hingga Rabu siang, 5 Maret pukul 12.00, sebanyak 36 rukun tetangga (RT) di tiga wilayah Jakarta masih terendam banjir.
Melansir dari laporan TEMPO bertajuk “Pejabat di Puncak, Banjir di Jakarta,” tim investigasi majalah mencatat ada sekitar 400-an vila liar di sekitar Bukit Citamiang, Tugu Utara, Puncak, Bogor. Ratusan vila itu menutupi tanah di sebuah wilayah di Puncak yang berperan penting untuk penyerapan aliran Kali Ciliwung dan penangan banjir di Jakarta, Bogor, Depok, dan sekitarnya.
Selain itu, vila yang dimiliki oleh para mantan pejabat, pengusaha, dan terbanyak para jenderal, tersebut juga berdiri di atas tanah negara dan didirikan tanpa surat izin mendirikan bangunan (IMB).
Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Cipta Karya, Kabupaten Bogor, Anwar Anggana, mengatakan, tanah di wilayah tersebut seharusnya dibiarkan terbuka karena berfungsi sebagai spons penyerap air hujan. Area tersebut dirancang untuk menampung air sebanyak mungkin ke dalam tanah agar mengurangi aliran air ke Sungai Ciliwung. Oleh karena itu, pembangunan di kawasan tersebut seharusnya tidak diperbolehkan.
Akibat tanah yang semakin kedap air karena keberadaan vila dan fasilitasnya, wilayah Citamiang, Cisuren, Baru Jeruk, Baru Kiara, dan Pasir Ipis di Tugu Utara mengalami peningkatan aliran air hujan yang tidak terserap dengan baik. Hal ini menyebabkan banjir besar pada Februari 2007, di mana air dari kawasan tersebut, ditambah dengan aliran dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, membawa sekitar 32 juta meter kubik air yang menerjang Jakarta dan sekitarnya.
Banjir itu memaksa setengah juta warga mengungsi dan mengakibatkan kerugian hampir Rp 10 triliun. Wilayah Jakarta yang tergenang pun jauh lebih luas ketimbang banjir-banjir sebelumnya.
Kisah pembangunan vila ilegal di Citamiang bukanlah hal baru. Pada tahun 2002, vila milik mantan Gubernur Jakarta, Sutiyoso, yang berdiri di kawasan ini pernah diratakan dengan buldoser setelah banjir melanda Jakarta. Saat itu, tuduhan kepemilikan vila liar juga diarahkan kepada mantan Panglima TNI, Wiranto, serta Djaja Suparman. Namun, Wiranto membantah tuduhan tersebut dan menantang, "Kalau memang saya punya vila liar, silakan bongkar saja," ujarnya kepada Tempo.
Setelah kejadian itu, aktivitas pembangunan di Citamiang sempat terhenti. Namun, pada tahun 2005, vila Ragananda mulai dibangun, menandakan kembalinya geliat pembangunan di kawasan tersebut. ”Jalan dan sejumlah vila mulai dibangun lagi di atas,” kata Ujang, warga Bukit Cisuren.
Citamiang menjadi referensi vila liar di seantero kawasan Puncak. “Dalam catatan saya, kini ada 12 vila di Citamiang,” kata Jajat Sudrajat, Kepala Desa Tugu Utara. Vila-vila tersebut dimiliki oleh tokoh-tokoh berpengaruh, sebagian besar dari kalangan militer. Hal ini sejalan dengan dokumen vila ilegal yang diperoleh Tempo, yang mencantumkan beberapa nama pejabat tinggi.
Dokumen dari Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor itu menyebut sejumlah petinggi negara, termasuk mantan Wakasad Letjen TNI (Purn.) Suryadi, mantan Pangkostrad Letjen TNI (Purn.) Djaja Suparman, serta mantan Pangdam Udayana Letjen TNI (Purn.) H.B.L. Mantiri. Selain tokoh militer, terdapat juga nama mantan Menteri Kehakiman Oetojo Usman dari kalangan birokrat, serta King Yuwono, pemilik King Plaza, dari kelompok pengusaha.
(Sumber: TEMPO)