2 Konglomerat di balik anjloknya IHSG?

Agustinus Edy Kristianto:

Saya tidak memegang selembar saham pun, jadi saya tidak punya kepentingan ekonomi pribadi terhadap pergerakan harga saham. Tapi saya gemar mengamati gerakan ikan besar, apalagi yang berbau oligarki.

Logikanya simpel: IHSG jatuh karena ada pemain besar yang jualan—istilahnya distribusi, short sell, atau apapun sebutannya. Bukan sekadar jualan, tapi menjual secara agresif. Artinya, mereka menjual dalam jumlah besar, dalam waktu berdekatan, dan secara masif. Karena penjualan agresif inilah harga anjlok.

Siapa pemain besar itu? Mengutip Kontan, PT DCI Indonesia Tbk (DCII) menjadi penggerus IHSG terbesar. Pada perdagangan Selasa (18/3/2025), harganya turun 20% dan berkontribusi terhadap penurunan IHSG sebesar 38,21 poin. Saham kakap lainnya yang turut menggerus IHSG adalah TPIA (-18,42%), BREN (-11,79%), BBRI (-3,92%), BBCA (-3,49%), dan AMMN (-6,69%).

Orang juga tahu, pengendali DCII diduga kuat adalah Anthony Salim, sedangkan TPIA dan BREN ‘disetir’ oleh Prajogo Pangestu. Keduanya termasuk taipan yang diundang bertemu Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (6/3/2025). 

Keduanya juga punya 'sejarah kelam' semasa Orde Baru berkaitan dengan kasus BLBI, kerusuhan 1998, dsb.

Lalu, apa yang dilakukan jika IHSG jatuh, orang panik, hingga pimpinan DPR harus nongkrong di BEI demi terlihat berkontribusi meredam kepanikan pasar? Padahal, Presiden Prabowo Subianto agaknya tidak begitu peduli IHSG jatuh. Ia pernah berkata, “Rakyat di desa-desa tidak punya saham. Kalau saham jatuh, ya pemain-pemain bursa itu (yang rugi)” (Bisnis.com, 18/3/2025).

Jadi, mari kita fokus ke pemain besar yang jualan itu. Barang apa yang mereka jual, kepada siapa, melalui broker mana, berapa keuntungannya? Apakah ada indikasi manipulasi atau pelanggaran hukum lainnya, baik dalam aturan pasar modal maupun undang-undang lain? Siapa yang harus menindak, dan siapa pelaku yang harus diburu?

Minta OJK proaktif? Basi!

Sekaranglah saatnya menagih tindakan nyata dari Bareskrim Polri. Kasubdit 5 Bareskrim Polri, Kombes M. Irwan Susanto, beberapa waktu lalu menyatakan bahwa pihaknya aktif memantau pergerakan harga saham demi mendukung kebijakan ekonomi presiden. “Apakah saat ini saham ini dalam kondisi baik-baik saja atau perlu mekanisme apa? Apakah investornya kabur? Apa kita (Bareskrim) harus jemput?” (Bisnis.com, 5/3/2025).

Menurut saya, pergerakan harga DCII jelas tidak baik-baik saja. Tapi apakah investornya kabur atau harus ‘dijemput’ Bareskrim, itu kewenangan penyidik. Hanya dalam empat hari (14-18 Maret 2025), DCII turun 47,8%. Waktu pertama kali manggung, harga DCII hanya Rp525/lembar (6/1/2021), per 18/3/2025 sudah Rp115.800. Siapa yang bertransaksi di saham ini? 99% adalah investor domestik.

Barang yang dijual juga patut dipertanyakan. PER (Price to Earnings Ratio) DCII mencapai 432,97 kali, sangat tinggi, jauh di atas rata-rata industri teknologi.

PBV (Price to Book Ratio) 135,39 kali, artinya harga saham jauh melebihi nilai aset.

Kapitalisasi pasar Rp345 triliun, tetapi ekuitasnya hanya Rp2,54 triliun.

Singkatnya, kenaikan harga saham diduga kuat bukan karena fundamental bisnis, melainkan spekulasi oleh ‘tangan-tangan’ tertentu, dan ini bukan sesuatu yang baru terjadi kemarin, melainkan sudah direncanakan sejak 2021.

Pola pergerakan harga yang saya amati: Akumulasi (2021 - awal 2025), Mark-up (Februari - Maret 2025), Distribusi ke ritel (Maret 2025 awal), dan Dumping alias bandar keluar (Maret 2025 akhir).

Dari pola transaksinya, saya melihat ada tiga broker utama (C, X, M) yang sebelumnya berperan besar dalam fase mark-up (mendorong pembelian), lalu menjadi penjual dominan (membuang saham setelah harga naik). Kemudian, pembelian di harga yang sudah dipompa sebelumnya dilakukan melalui broker seperti C, O, B, K.

Jika penyidik serius, mengusut dugaan pelanggaran hukum di balik saham yang harganya ‘tidak baik-baik’ ini sangatlah mudah. Semua transaksi tercatat—termasuk transaksi mencurigakan dari broker C, X, dan M, karena mereka yang membeli saat harga rendah dan menjual saat harga tinggi.

Profit dari permainan ini setidaknya saya taksir Rp250 miliar berdasarkan perhitungan kasar di broker summary.

Saya yakin penegak hukum kita punya kemampuan mumpuni untuk mengusut kasus-kasus seperti ini. Masalahnya satu: politik! Kadang, penegakan hukum terhadap pemain besar hanya dijadikan alat negosiasi celap-celup yang ujungnya bermuara pada penataan ulang papan catur berdasarkan kompromi elite pemerintahan dan taipan.

Benar, IHSG bisa saja jatuh karena kepercayaan terhadap langkah pemerintah membangun ekonomi melemah. Tapi jangan lupakan praktik pump and dump ala para bandar. Jika terus dibiarkan dan penegakan hukumnya tetap asal-asalan, kepercayaan publik akan semakin runtuh, ekonomi ambruk, kepanikan massal terjadi… dan ujungnya krisis. Negara kembali berpotensi dijual murah ke bandar besar lintas benua.

Mau kasus BLBI terulang lagi?

Salam,
AEK.

(fb)
Baca juga :