Dakwah Pemberdayaan
Kristenisasi itu soal teologi (karena terpengaruh ajarannya) atau sosiologi (karena masalah sosial)? Ini dulu yang harus dijawab sebelum merumuskan sebuah tindakan dakwah. Pesan saya kepada seorang pegiat dakwah muda yang lahir di sebuah kampung yang penduduknya fiifty-fifty, separuh Islam dan separuh Kristen pasca 1965.
Da'i muda itu sebelummya bercerita baru saja mengikuti dauroh Kristologi selama tiga hari penuh.
"Lalu, bagaimana njenengan mau menerapkan ilmu Kristologi itu di kampung anda?" tanya saya.
"Nah itu tadz, belum tahu bagaimana mengimplementasikannya," jawab anak muda itu.
Dan dialog seperti ini sudah saya temui berulang kali bukan hanya sekali dua.
Yang jelas mas, lanjut saya, kebetulan saya punya banyak rekan-rekan pegiat dakwah di daerah-daerah rawan pemurtadan, skill mereka yang terpakai rata-rata adalah skill sosial kemasyarakatan.
Apalagi kan njenengan punya skill pemberdayaan melalui peternakan. Nah, skill itu jauh lebih bermanfaat untuk bahasa dakwah.
Kristologi itu dipakai pas kalau untuk menghadapi pendakwah dari gereja-gereja Injili yang memang hobinya jualan teologi.
Itupun, dalam prakteknya, ketika mereka bisa memurtadkan orang Islam bukan lewat teologinya, tapi lewat bantuan sosial atau pernikahan.
Jadi, kalau problem kristenisasi itu lebih ke masalah sosial ekonomi bukan teologi, maka jawaban utamanya bukan kristologi, tapi dakwah pemberdayaan.
Kristologi itu menjadi penting, kalau njenengan mau dakwah langsung ke kalangan umat Kristen, lewat medsos misalnya.
(Arif Wibowo)