[PORTAL-ISLAM.ID] Keberlangsungan kerajaan pasti tidak terlepas dari penuh intrik dan konspirasi. Dibalik peradaban Majapahit dan kebesaran sumpah Palapa yang di poles secara megah dan menawan. Tersimpan cacatan hitam yang cukup menyakitkan. Ambisi Gajah Mada untuk menguasai seluruh Nusantara, dinilai melanggar norma-norma kemanusiaan.
Selamat datang di Perang Bubat !
Jadi semasa Pemerintahan Hayam Wuruk (1388-1350 M) Majapahit mengalami puncak kejayaan sekaligus puncak kemunduran dengan ditandai timbulnya Perang Bubat atau Peristiwa Pabubat. Pada waktu itu, ambisi Gajah Mada untuk menaklukan wjlayah-wilayah di Nusantara dari Tanjung Pura, Bali, Dompo tercapai. Meskipun begitu, ada wilayah di Jawa bernama Sunda Galuh belum tunduk dibawah kaki Majapahit. Pada waktu itu Kerajaan Sunda Galuh dipimpin oleh Maharja Linggabuana.
Singkat kata, Raja Majapahit mengirimkan surat kepada Raja Sunda, untuk meminang anaknya, Dyah Pitaloka. Namun syaratnya, resepsi pernikahannya harus dilaksanakan di Ibu Kota Majapahit. Padahal menurut adat yang berlaku bahwa nggak lazim kalau pihak pengantin wanita mendatangi pria, seharusnya pengantin prialah yang datang kewanitanya. Maka dari itu dewan Kerajaan Sunda, seperti Patih Hamangkubumi, Hyang Bunisora Suradipati memperingatkan Raja untuk nggak datang kesana. Tapi Raja Sunda teteplah mengabaikan saran itu dan memutuskan tetap berangkat ke Majapahit. Yah senenglah raja, siapa sih yang nggak seneng anaknya dilamar sama kerajaan yang lebih adidaya.
Tapi ternyata nggak seindah yang diharapkan. Ketika sampai di wilayah bernama Bubat, datanglah utusan Gajah Mada untuk meminta Kerajaan Sunda takluk, dan memaksa untuk menyerahkan Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai upeti tanda takluk Sunda atas Kebesaran Majapahit.
Raja Linggabuana harga dirinya terasa terinjak-injak, bagaimana tidak, la wong mereka datang itu untuk memenuhi undangan kalau anaknya itu dijanjikan akan dinikahi raja, justru malah diminta diserahkan layaknya hewan dan budak. Marahlah pembesar-pembesar kerajaan Sunda. Perang tak dapat dihindari.
Rombongan pengantin Sunda yang saat itu memang tidak siap berperang, terpaksa harus menghunuskan pedang. Terjadi perang yang sangat-sangat tidak seimbang. Karena memang Gajah Mada sudah mempersiapkan dari awal. Dalam Kitab Pararaton menggambarkan peristiwa pilu itu
“Sing tekareping sunda mati, kadi sagara getih gunung wangke, bhrasta wong sunda tan hana kari, i saka sangga turangga-paksa-wani.”
Orang-orang Sunda berguguran, lapangan bubat seperti lautan darah dan mayat. Orang-orang Sunda tumpas tiada sisa, terjadi tahun 1357 Masehi (Serat Pararaton, Terjemahan Heri Purwanto)
Alih-alih peperangan justru terkesan pembantaian, kisah ini diakhiri, dengan melihat seluruh pasukan tak tersisa dan raja Sunda itu terkapar tewas ditanah. Dyah Pytaloka meraung histeris, untuk menjaga harga diri dan kesuciannya. Ratu Sunda itu akhirnya bunuh diri dengan gaun pernikahannya yang bersimpah darah.
Hingga sekarang, peristiwa ini menjadi momok bagi orang Sunda, tidak ada jalan Hayam Wuruk atau Gajah Mada diwilayah Sunda.
(Ngopidiyyah)