KEMENANGAN

KEMENANGAN

By Supeno Widyo

Sejujurnya, saya nggak begitu pingin sholat di Hagia Sophia. 

Entah mengapa, membaca sejarah masjid megah eks gereja itu, saya masih merasa ada semacam arogansi atas supremasi/kemenangan atasnya. 

Jadi, saya berencana sholat subuh di hotel saja. 

Tapi, ndilallah koq adzan Hagia membangunkan saya. Padahal, sebenarnya badan masih capek dan ngantuk karena baru tiba. 

Ya sudahlah…gimana lagi, ini namanya diperjalankan dengan dipaksa. 

Awalnya, saya merasa biasa saja saat masuk ke dalamnya. Nggak ada kesan dan perasaan yang istimewa. Apalagi melihat jamaahnya koq masih sangat sedikit, jadi saya masih bisa duduk di shaff depan dan foto-foto dengan leluasa. 

Setelah tahiyatul masjid, ternyata jamaah masih harus menunggu lama. 

Sambil menahan kantuk, tiba-tiba dilantunkan surat Al-FathInna fatahna laka fathan mubina.. (Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepadamu kemenangan yang nyata).

Saya mulai merasa ada yang berbeda… 

Entah mengapa, pagi itu rasanya ayat demi ayat surat ini berjalan sangat lambat. 

Satu demi satu dilantunkan, 

merasuk lembut ke pikiran, menggugah kesadaran, dan entah mengapa koq mengaduk-aduk perasaan. 

Tiba-tiba seperti dibukakan pemaknaan baru tentang apa itu kemenangan, pertolongan, ketundukan, ketenangan, termasuk ditunjukkan mengapa Hagia Sophia ini istimewa. 

Perasaan dan pemaknaan yang mungkin baru/hanya datang saat itu saja. 

Sedikit yang teringat dan tercatat:

Hagia Sophia ini bukan simbol supremasi apalagi arogansi seperti yang selama ini saya persepsikan. 

Sebaliknya masjid ini adalah simbol kejayaan yang bersumber dari ketundukan, kepasrahan, dan cinta yang membuncah hingga ribuan darah rela tertumpah demi mewujudkan titah. 

Hagia adalah simbol pertolongan dan kemenangan yang dekat. 

Sedekat seberapa dekat kita tunduk dan sujud bersimpuh. 

Sedekat jarak waktu ekspansi Sayyidina Umar, misi Abul Ayyub Al Anshory, hingga cita-cita hidup Muhammad Al Fatih yang datang ke Konstantinopel semata karena cinta. Cintanya kepada Sayyidina Muhammad SAW. 

Hagia adalah simbol Islam ya’lu wa laa yu’la alaih, yang terwujud karena keyakinan, ketenangan, totalitas, dan pertolonganNya. 

Baru pagi itu, saya diberitau mengapa Hagia ini istimewa. 

Kurang pas rasanya jika kemenangan agung itu hanya dikenang, dimaknai, diselebrasi sebagai bukti sejarah supremasi apalagi arogansi. 

—- 

Meski tak sama, sebagaimana kemenangan Erdogan beberapa hari lalu, rasanya koq sayang jika itu didramatisasi dan diselebrasi secara sentimentil sebagai kemenangan satu umat/ kelompok atas umat lainya. 

Lha itu ternyata, om Putin, Pak Biden dan Mas Macron adalah kepala negara yang pertama-tama mengucapkan selamat kepadanya. 

Erdogan masih dibutuhkan dunia untuk keseimbanganya. 

Kemenanganya di Pemilu Turki kali ini, memang ya kemenangan demokrasi. Kemenangan yang menjadi harapan sebagian besar rakyat Turki. 

Dan yang pasti, kemenanganya adalah buah atas kerja kerasnya, keyakinanya, cita-cita mulianya, ketenanganya, totalitasnya, ketundukanya, kepasrahanya, hingga akhirnya mendapat pertolonganNya. 

Saya dapet cerita, jika beliau (Erdogan) katanya juga kerap datang dan ziarah di makam Sultan Ayub*, untuk suluk dan melalui momen-momen terpentingnya. 

(fb)

____
*Abu Ayyub al-Anshari adalah seoranag sahabat Nabi yang istimewa. Rumahnya dipilih oleh Nabi sebagai tempat tinggal sementara saat hijrah ke Madinah, hingga pembangunan Masjid Nabawi dan bilik Ummul Mukminin Saudah selesai.

Abu Ayyub wafat pada saat ikut dalam Pengepungan Konstantinopel di masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Pada saat itu, pemimpin perang adalah anak dari Mu'Awiyah bin Abu Sufyan yaitu Yazid bin Mu'awiyah. Abu Ayyub al-Anshari wafat dalam peperangan ini. Sebelum ia wafat, ia berwasiat kepada Panglima Yazid bin Mu'awiyah bahwa ia ingin mati bersama dengan kudanya. 

Abu Ayyub al-Anshari meninggal pada tahun 52 H di usia 80 tahun sebagai seorang mujahid. Ketika itu, dia sedang ikut bersama pasukan yang dipimpin oleh Yazid bin Mu'awiyah untuk membebaskan Konstantinopel. Baru beberapa saat sampai di wilayah musuh, dia jatuh sakit. Yazid menjenguknya seraya bertanya, “Apa yang ingin Anda wasiatkan?”

Dia menjawab, “Apabila aku meninggal, bawalah jasadku dengan kuda sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh. Jika tidak memungkinkan, maka kebumikanlah aku terlebih dahulu kemudian kembalilah berperang.”

Setelah Abu Ayyub wafat, jasadnya dinaikkan di atas kuda. Lalu kuda itu dibawa ke wilayah musuh kemudian jasadnya dikuburkan.

Pada zaman pemerintahan Muhammad al-Fatih memerintah Kesultanan Utsmaniyah, Abu Ayyub dijadikan idola sebagai pahlawan yang turut membebaskan kota Konstantinopel.

Baca juga :