Bahaya Cawe-cawe Jokowi
PERNYATAAN Presiden Joko Widodo bahwa dia tidak akan netral dalam Pemilihan Umum 2024 sungguh berbahaya. Klaim tersebut tak hanya menyiratkan ketidakpercayaan Jokowi pada proses pemilihan umum yang demokratis, tapi juga keinginan Jokowi untuk campur tangan agar pemimpin yang terpilih kelak sesuai dengan kehendaknya.
Dalih Jokowi bahwa cawe-cawe tersebut demi kepentingan negara dan kesinambungan pembangunan tak dapat dimaklumi. Pertama, siapa yang bisa memastikan klaim tersebut sungguh-sungguh? Kedua, rencana ikut campur dalam pemilu atas nama “niat baik” sekalipun tetaplah niat yang buruk. Pemilihan umum haruslah bebas dari intervensi kekuasaan mana pun.
Jokowi seharusnya paham bahwa demokrasi memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memutuskan pemimpinnya sendiri. Biarlah rakyat memilih presiden lewat pemilu yang jujur, adil, dan tanpa intervensi. Biarlah pemimpin baru pilihan rakyat tersebut yang memandu republik ini menuju tujuan yang digariskan dalam konstitusi.
Melalui pergantian presiden secara demokratis tersebut, justru jadi ada kesempatan untuk mengoreksi kebijakan pemerintahan sebelumnya yang keliru. Jika Jokowi turut campur dalam pemilu agar terpilih presiden yang sesuai dengan seleranya, segala hal yang keliru dalam produk pemerintahan saat ini akan sulit dikoreksi. Sebaliknya, perubahan kebijakan oleh pemerintahan baru bisa mendorong kemajuan.
Tidak tepat jika Jokowi mencontohkan Korea dan Taiwan sebagai negara yang maju berkat kepemimpinan yang stabil. Di dua negara tersebut, politiknya ingar-bingar. Seorang bekas Presiden Korea bahkan masuk penjara karena dituduh menyalahgunakan wewenang. Di Korea dan Taiwan, pergantian pemimpinlah yang membuahkan koreksi atas kebijakan-kebijakan presiden sebelumnya.
Pernyataan Jokowi yang tidak akan netral dan bermaksud cawe-cawe dalam pemilu tak boleh dianggap remeh—meskipun anak buah presiden sudah menjelaskan maksudnya setelah pernyataan tersebut ramai tersiar. Dampak dari pernyataan tersebut bisa betul-betul mempengaruhi proses dan hasil pemilu. Para bawahan presiden dan aparat bisa menerjemahkannya sebagai perintah untuk memenangkan calon presiden yang didukung Jokowi. Akibatnya, pemilihan umum berjalan tidak adil. Jika terjadi kecurangan, hasil pemilu tak memiliki legitimasi dan bisa memicu perpecahan.
Di pengujung masa jabatannya, Jokowi semestinya tak sibuk menyiapkan siapa penggantinya. Tak perlulah Jokowi berlaku seperti kingmaker, memasang-masangkan calon presiden dan calon wakil presiden hingga mengumpulkan partai pendukungnya guna membahas pemilihan umum. Tugas Jokowi sebagai presiden selesai pada 2024. Seyogianya dia tak lagi turut campur pada Pemilu 2024 ataupun merecoki pemerintahan yang akan datang.
Sebagai presiden, Jokowi semestinya hanya memastikan pemilihan umum berjalan dengan baik, tanpa mempedulikan benefit atau defisit bagi dirinya. Jokowi yang demikian layak disebut negarawan. Sebagaimana kata penulis James Freeman Clarke, “Politikus memikirkan pemilu berikutnya, negarawan memikirkan generasi berikutnya.”
[Editorial Koran TEMPO, Rabu, 31 Mei 2023]