Ikan busuk berawal dari kepala!

Ikan busuk berawal dari kepala!

Di mana lagi cari hidup seenak pejabat di Indonesia. Kapan lagi menikmati indahnya dikelilingi masyarakat supermaklum dan pemaaf seperti di Indonesia. Tak mudah menemukan tempat di mana peraturan dan penegaknya mendukung tujuan para pejabat memperkaya diri, keluarga, dan kroninya.

Pejabat dibayar pakai APBN yang sebagian besarnya bersumber dari pajak yang dipungut dari masyarakat (pribadi maupun badan). Jabatan publik memberikan kewenangan yang akhirnya dijadikan komoditas untuk ‘berbisnis’ dengan memanfaatkan jabatannya itu. Korupsi dan ‘bisnis-bisnis’ semacam itu menghasilkan kekayaan menjulang tinggi—persetan kekayaan itu mau dipamerkan atau disembunyikan oleh pejabat itu sendiri, keluarga, atau tim horenya, bukan itu poin pentingnya.

Pada akhirnya, kehidupan semacam pejabat itu menjadi ideal yang diidam-idamkan oleh tak sedikit orang. Di lingkungan, ia dihormati dan didengarkan pidato dan tips bisnis yang katanya dari nol itu; didoakan agar ‘rezeki’ terus mengalir deras; dijadikan contoh sukses anak muda kekinian, hingga rumah mewahnya diberkati oleh romo dan misa pemberkatannya dikagumi umat yang hadir (Rafael Alun adalah Katolik, yang seharusnya menjadi tamparan telak buat Gereja Katolik supaya lebih keras lagi menegakkan prinsip membela keadilan dan antikorupsi, jangan cuma diam, main aman!).

Sementara menteri dan para eselon dewa berapologi. Safari ke redaksi media massa sambil koar-koar reformasi birokrasi. 

Buat apa? 

Di mana lagi ada negara seenak di sini ketika kata dan perbuatan tak perlu jadi satu kesatuan? Di mana lagi ada negara yang masih cukup banyak yang kagum dan percaya bahwa moge, yang kata dia sendiri adalah simbol kemewahan dan tidak pantas dibeli oleh PNS dan keluarganya bahkan dengan penghasilan resmi sekalipun, dibeli oleh suami si menteri seharga Rp150 juta tetapi TIDAK UNTUK DINAIKI—mungkin mau dipakai sebagai properti penunjang lomba melamun seperti yang diadakan baru-baru ini di Solo itu?

*

Reformasi birokrasi sudah jadi bangkai. Jargon mati. Tak usah diulang-ulang. Dari 2006, itu-itu saja. Rasanya, ia lebih banyak terlihat indah di laporan ke lembaga-lembaga donor. Ia mungkin justru lebih banyak berguna mengantarkan sejumlah aktivisnya meraih beasiswa luar negeri, jabatan basah di birokrasi pemerintahan atau bank dunia.

Nyatanya, dari 2009 ada dugaan transaksi mencurigakan Rp300 triliun terutama di Pajak dan Bea Cukai, justru katanya pengawas internal tidak tahu. Rafael terendus sejak 2012, aman-aman saja, sampai akhirnya anaknya berkasus. Sekian pegawai pajak kekayaannya tak sesuai profil. Sekian pegawai pajak punya saham di berbagai perusahaan. 

Sebetulnya, di masyarakat yang banyak kata maklumnya seperti Indonesia, selama ini orang juga ogah utak-atik harta pejabat. Rezeki sudah diatur. Wajar saja kaya karena orang pemerintahan banyak proyeknya. Rakyat kecil mah apa. Itu urusan para penggede. Semoga anak kita sesukses mereka. Kaya kan tidak dilarang, bisa saja pejabat itu hartanya dari bisnis, bukan korupsi. Rangkap jabatan tak apa yang penting kan punya kapasitas.

Itu, kan?

Sekarang semua berbalik. Hukum adalah produk manusia yang bisa dilentar-lenturkan sana-sini. Administrasi bisa diatur. Alasan bisa dibuatkan iklannya. Tapi ucapan pemimpin adalah batu uji paling kokoh buat rakyat menilai. 

Bukankah menkeu sendiri yang bilang jangan ingin kaya di Kemenkeu, kementerian itu bukan tempat menumpuk harta. Katanya, moge tidak pantas. Katanya, tunjangan guru itu besar tapi tak berkualitas (apa kabarnya tunjangan kinerja pajak yang selangit itu). Dia sendiri yang bilang jangan rangkap jabatan, jangan berkonflik kepentingan… 

*

Sejauh ini, bagi saya, poin penting kasus Rafael tak didapat. Yang ada cuma drama dan heboh publikasi—terbaru soal rencana reformasi perpajakan jilid II melibatkan sejumlah pegiat antikorupsi yang selama ini beberapa sudah makmur dari jabatan publik juga. 

Harusnya dimengerti, pemeriksaan secara administratif dan hukum terhadap makhluk macam Rafael dkk itu penting, tapi ada yang lebih dari itu yakni masalah nurani dan keadilan umum. Orang gedek, kasarnya, karena merasa hasil keringatnya yang dibayarkan sebagai pajak dipakai buat foya-foya pejabat. Orang muak karena disuruh jangan lelah mencintai negeri ini tapi negerinya sendiri justru seperti tak pernah lelah memperkaya segelintir orang lewat rangkap jabatan eselon dan komisaris BUMN, bahkan pada saat pandemi ketika banyak rakyat kesusahan.

Toh, masyarakat sudah lama tahu ada bau amis di pajak. Itu rahasia umum. Sekira 14 tahun lalu saya sendiri sudah dengar seorang pejabat pajak belagu dengan mengatakan sebentar lagi kekayaannya Rp1 triliun. Cara mainnya pun orang sudah banyak tahu mulai dari handle AR hingga Kakap, berapa jatah tim dan pembagiannya, siapa yang gas, siapa yang nego, konsultan mana yang dipakai; Jumat Ceria juga orang pada tahu. Orang pun bisa menakar Rafael masuk gank mana, angkatan sekolahnya siapa saja, dapat gedenya waktu ngolah barang mana, nyucinya bagaimana, laporan pajaknya bagaimana, nominee-nya siapa; selain mengolah pajak, kita pun tahu, pengadaan barang dan jasa internal pun masih diolah juga pakai bendera perusahaan macam-macam.

*

Saya tak lihat ada keteladanan rasa malu dan tanggung jawab yang besar dari para pimpinan setelah badai besar kasus Rafael. Banyak yang terlihat sekadar cuci muka dan pencitraan. Tak sedikit yang cenderung main aman asal penghasilannya tak diutak-atik. 

Tak ada perubahan sistemik menyangkut regulasi untuk membatasi gerak-gerik pejabat korup. Mana larangan rangkap penghasilan dari jabatan eselon dan komisaris BUMN? Mana pimpinan yang dihukum karena lalai mengawasi anak buahnya yang player itu? Mana pimpinan pengawas yang dicopot karena tidak tahu/mendiamkan transaksi mencurigakan ratusan triliun selama bertahun-tahun itu? 

Bahkan, bagi saya, sekaranglah saatnya meminta pertanggungjawaban para pejabat tak hanya di Kemenkeu tapi di seluruh lembaga publik. Pertanggungjawaban etis, yuridis, profesional mengapa mereka layak duduk di kursi itu dan berpenghasilan miliaran rupiah—terutama dengan merangkap jabatan. 

Apa gunanya buat kepentingan umum dengan adanya makhluk-makhluk semacam itu di situ?

Pada status sebelumnya, saya sudah kasih tahu penghasilan seorang eselon I Pajak yang merangkap Komisaris Bank Mandiri pada saat pandemi (2020-2022) adalah Rp538 juta-Rp680 juta/bulan. Dari tantiemnya saja selama tiga tahun, dia dapat Rp40,6 miliar. Itu belum termasuk tunjangan kinerjanya sebagai eselon I Kemenkeu sebesar Rp90-an juta/bulan.

Selama masa susah pandemi itu, perangkap jabatan di BUMN lain semakmur itu juga: Komisaris Pertamina (2020-2021) penghasilan totalnya Rp54 miliar; di BRI (2020-2021) gaji dan tunjangan komisarisnya Rp525 juta-Rp579 juta/bulan. Tantiemnya Rp24 miliar (2020-2021). Itu sekadar gambaran. Di Telkom, BNI, PLN, Pelindo dan BUMN basah lainnya juga begitu. (Saya lampirkan daftar beberapa pejabat yang rangkap jabatan di BUMN, yang saya dapat dari seseorang)

Selama rangkap jabatan dan rangkap penghasilan semacam itu saja tidak dilarang dan justru didukung dengan berbagai pembenaran, bagaimana orang mau percaya Anda berbusa-busa bicara reformasi birokrasi. 

Ikan busuk berawal dari kepala!

Salam.

(Agustinus Edy Kristianto)

Baca juga :