Kebangkitan Islam Dan Sisa-Sisa Dari Kemenangan Maroko
Euforia rentetan kemenangan Maroko di piala dunia Qatar perlahan mulai memudar paska kekalahan dari Perancis dan Kroasia tadi malam. Sebagaimana hingar bingar sejarah penaklukan Andalusia yang dikaitkan dengan kemenangan atas Spanyol dan Portugal perlahan mulai meredup sayup lalu menghilang.
Piala dunia Qatar kali ini menyisakan banyak kisah, banyak realitas yang miris dan ironis, dari keangkuhan negara-negara Barat yang munafik dan kebablasan dalam mendakwahkan cinta, kasih sayang dan toleransi, hingga persatuan umat Islam yang dipisahkan oleh garis batas dalam mendukung saudara mereka yang terjajah di Palestina, ditengah kemunafikan dan pertikaian para penguasa Arab dan Islam dengan sesamanya.
Pengibaran bendera Palestina oleh para pemain dan suporter ditengah pertandingan dan paska kemenangan Maroko atas lawan-lawannya berbanding terbalik dengan sikap kerajaan Maroko yang melakukan normalisasi dengan Israel tahun 2020 lalu. Rakyat Maroko, bangsa Arab dan Islam secara umum seolah ingin menyampaikan pesan bahwa seberapapun para penguasa mereka berselingkuh dengan penjajah, mereka tetap satu suara dalam mensupport saudara mereka yang terjajah di Palestina.
Sangat disayangkan memang, normalisasi Maroko dengan Israel justru ditandatangani oleh tokoh partai Islam (meskipun kemudian Salaheddin El-Othmani, mantan PM Maroko itu mengakui bahwa ia ditekan oleh? kerajaan). Banyak pengamat meyakini bahwa normalisasi dengan Israel dilakukan Maroko dengan tujuan utama untuk mendapatkan dukungan AS atas klaim Maroko terhadap Sahara Barat yang bergejolak dan disengketakan dengan Aljazair (yang mendukung Front Polisario melawan Maroko).
Puncaknya, tahun 2021, Aljazair memutuskan hubungan diplomatik dengan Maroko yang dianggap menebarkan sikap permusuhan dan dianggap pengkhianat karena menormalisasi hubungan dengan Israel. Sepekan sebelumnya, Aljazair menuduh separatis MAK yang didukung Maroko berada dibalik kebakaran hutan hebat yang menewaskan 90 warga Aljazair termasuk 30 orang tentara. Dua negara dari satu bangsa itupun harus bermusuhan. Aljazair menutup wilayah udaranya bagi seluruh penerbangan sipil dan militer Maroko.
Sepekan yang lalu, Direktur televisi pemerintah Aljazair dipecat usai menyiarkan kemenangan Maroko atas Portugal di perempat final Piala Dunia 2022. Saking sensitifnya konflik Maroko-Aljazair, Dr. Ahmad Ar-Raisuni pada Agustus 2022 lalu harus mundur dari jabatannya sebagai ketua Persatuan Ulama Muslim Internasional gara-gara statemennya tentang Sahara Barat yang mengundang kritik luas dari partai-partai Islam Aljazair bahkan di IUMS sendiri. Dr. Ar-Raisuni (yang dianggap sebagai penerus ideal Al-Allamah Al-Qaradhawi) akhirnya harus digantikan oleh Dr. Salim Segaf Al-Jufri dari Indonesia.
Yang paling miris adalah nasib mantan PM Maroko Salaheddin El-Othmani dan partainya Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD). Dalam pemilu 2021, dari sebelumnya berstatus sebagai partai pemenang pemilu, PJD ambruk di posisi ke 8 dan hanya mampu meraih 13 kursi. Upaya El-Othmani yang mengundang ketua Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh ke Rabat gagal menyelamatkan integritas partai Islam itu yang dianggap inkonsisten dalam mendukung isu Palestina.
Kemenangan Maroko atas Spanyol dan Portugal memang wajar disikapi dengan euforia dan sukacita khususnya oleh umat Islam yang begitu lama terkukung dalam keterpurukan dan perpecahan. Namun, mengharapkan hal tersebut menjadi titik balik kebangkitan umat Islam sepertinya sedikit riskan. Entah dimana, saya pernah mendengar Ust Asep Sobari mengatakan bahwa kebangkitan Islam dan peradabannya harus memiliki akar yang kuat seperti yang dulu digagas oleh Al-Ghazali kurang lebih 100 tahun sebelum lahirnya generasi Shalahuddin yang kemudian mengembalikan Al-Quds kepangkuan umat Islam. Kita memang tidak boleh larut dalam sekedar perayaan seremonial belaka dan euforia sesaat seperti saat Aya Shophia dikembalikan ke mesjid atau menangnya Maroko atas Spanyol dan Portugal.
Reformasi kurikulum Pendidikan dan orientasinya harus menjadi hal yang paling diprioritaskan oleh umat ini jika ingin kembali menjadi Ustadziatul 'Alam. Adalah hal yang riskan jika kita ingin melakukan perubahan dalam skala peradaban namun pendidikan kita masih berorientasi pada prestasi-prestasi tanpa esensi dan hanya mengikuti keinginan "pasar", sebagaimana umat disibukkan para ritual-ritual yang lebih kepada seremonial-seremonial belaka.
Fondasi pendidikan yang kuat adalah pendidikan yang berorientasi pada amal dan akhirat. Ditanam dengan keikhlasan yang kokoh baik oleh penyelenggara pendidikan, para pendidik serta orangtua, pendidikan yang jauh dari orientasi bisnis, hingga nanti mampu melahirkan pribadi-pribadi yang kuat dan layak mengemban amanah peradaban, generasi yang zuhud sebab zuhud adalah kekuatan. Sebuah generasi yang berorientasi pada akhirat bahkan kematian karena itu adalah kekuatan. Dan zuhud tak harus identik dengan kemiskinan dan kepapaan. Al-Ghazali dan para reformis lainnya tak pernah mendefinisikan zuhud dengan kemiskinan. Dan Al-Ghazali juga tak pernah mengidentikkan orientasi kepada akhirat dengan melupakan ilmu-ilmu non syar'i. Justru beliau mengkritik para fuqoha dan mutakallimin zamannya yang berlebihan dalam menekuni ilmu yang dianggap syar'i tapi melalaikan ilmu-ilmu fardhu kifayah seperti kedokteran dan lain-lainnya.
Sayangnya.. jalan ini adalah jalan yang panjang dan kita sering gagal bertahan.
Dari reformasi pendidikan yang berorientasi pada amal dan akhirat inilah kemudian kita bisa berharap lahirnya para pemimpin-pemimpin kuat yang akan memperjuangkan agama dan mempersatukan umat. Lebih kuat dari seorang Sultan Erdogan yang pada tahun 2020 mengkritik keras normalisasi UEA-Israel, namun pada Februari 2022 ia justru berkunjung ke UEA dan pada Maret 2022 menyambut hangat kedatangan Presiden Israel Isaac Herzog di Ankara.
Wallahu A'lam.
(Taufik M Yusuf Njong)