Anies dan Politik Tengah Islam

Anies dan Politik Tengah Islam

Oleh: Khairil Azhar*

PENCAPRESAN Anies Baswedan oleh Partai NasDem telah menjadi awal dari sebuah bola es. Metafor yang tidak terlalu tepat tentu saja. Ia terus menggelinding, yang kalau dilihat kasatmata, semakin membesar. Kabar paling baru, secara institusional, Partai Demokrat menerima Anies dengan senyum dan tangan terbuka.

Saya tidak akan diskusi soal hitung-hitungan survei. Biarlah kawan-kawan lembaga riset yang mengurusnya. Namun, tak kalah fundamental dari itu adalah soal pluralisme dan bagaimana masa depan toleransi. Sebab ketika Anies disimulasikan sebagai representasi Islam, ada sepak-terjang politiknya yang diposisikan sebagai tidak toleran.

Seorang kawan membahasakan bahwa Anies antipluralis di satu sisi, tetapi sekaligus pluralis di sisi lain. Dalam proses pemenangan menjadi gubernur DKI Jakarta, sebagai contoh, terdapat indikasi, atau bahkan 'fakta' bahwa dia intoleran terhadap kelompok minoritas. Namun, di sepanjang masa pemerintahannya, Anies justru pluralis dan berusaha memastikan hak-hak minoritas. Itu dilakukan tanpa melahirkan ribut dan amuk.

Feeling threatened

Perasaan terancam (feeling threatened) dapat dilihat berhadapan dengan perasaan aman (feeling safe atau secure). Bagi kawan-kawan minoritas, selain karena posisi minoritas mereka, perasaan terancam bisa menjadi lebih kuat ketika terjadi praktik-praktik intoleransi. Apalagi ketika negara diam atau bahkan dipersepsikan terlibat. Untuk mengatasi perasaan terancam ini, pilihan politik bisa beragam, mulai bersikap denial, permisif sampai pada perilaku yang reaktif.

Secara analitis, pilihan politik dan reaksi kawan-kawan minoritas berkemungkinan besar akan berbeda--menjadi merasa aman--ketika mengetahui atau bahkan mengalami bahwa perasaan terancam mereka tak terbukti. Ketika Anies terbukti memperjuangkan hak-hak minoritas, misalnya, defisit afektif menjadi teratasi. Ini saya kira yang terjadi pada kawan-kawan minoritas yang pada akhirnya mendukung atau paling kurang menjatuhkan pilihan pada Anies.

Namun, persoalan tentu tidak sampai di situ. Rekam jejak politik, terutama pada mereka yang mengalami intoleransi, pejuang hak-hak minoritas, dan juga kalangan cendekiawan bisa bertahan lebih lama atau bahkan selamanya. Perlu pembuktian demi pembuktian yang bisa jadi satu saat akan mengubah persepsi mereka.

Dari sisi pendidikan politik, meskipun bisa saja dikalahkan oleh arus kuat mayoritas, pendapat dan suara berbeda ini tak kalah penting. Misalnya, jika kelompok-kelompok yang anti-Anies ini juga berjuang menegakkan pendapat sendiri, mereka akan menjadi masa pengontrol atau kelompok sosial pengingat dalam menjalankan pemerintahan di kemudian hari jika Anies terpilih.

Tengah Islam

Dalam cakupan yang lebih luas dan jauh, intoleransi yang dilekatkan pada Anies sementara ini salah satunya bisa dilihat menggunakan perspektif oposisional Islam kanan versus kiri. Anies dalam perspektif ini dilihat sebagai berada di kanan, yakni merangkul kalangan radikal tertentu dalam sepak-terjang politiknya, dan diandaikan akan terus berposisi seperti itu, termasuk ketika sudah dicapreskan.

Dalam pandangan yang pesimistis, sulit bagi Anies untuk bergerak ke tengah, yakni untuk menghadirkan diri sebagai seorang politisi muslim yang moderat lahir-batin. Sebabnya, Anies ditengarai sudah berada dalam zona nyaman di kanan dengan gerbong-gerbong yang sudah terisi. Bahkan ada yang bilang kalau Anies sulit untuk bergeser ke tengah karena posisi itu sudah diisi tokoh lain.

Tetapi ada kemungkinan lain. Pemenangan politik dalam sistem demokrasi berbasis pada suara terbanyak. Jika gerbong kanan tak mencukupi, Anies harus bergerak atau 'dipaksa' bergerak ke tengah. Dia bukan tanpa modal untuk itu. Bahkan, hemat saya, lebih dari cukup, tergantung pada political will dan kepercayaan diri saja.

Modal pertama yang saya maksud adalah kepercayaan dari gerbong kanan yang sudah dalam genggaman. Dalam hal ini, Anies sudah dipercaya tidak akan main-main, misalnya dengan eksperimen-eksperimen politik yang memiliki preseden historis seperti kebijakan-kebijakan yang anti-Islam atau prokomunisme. Kepercayaan tersebut bahkan telah memungkinkan Anies untuk bergerak leluasa memastikan hak-hak minoritas seperti disampaikan di atas. Sebab Anies dilihat melakukan itu sebagai tokoh atau pemimpin muslim yang mempraktikkan perspektif Islam tengah— yang Anies sendiri menyebutnya sebagai tafsir atas konsep Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatallil-‘alamiin).

Modal kedua adalah apa yang saya sebut sebagai modal kecendekiawanan. Bukan saja telah mencapai tingkat pendidikan formal tertinggi, rekam jejak intelektual Anies jelas sekali menunjukkan kalau dia adalah muslim moderat. Demikian pula rekam jejak organisasi, kegiatan sosial dan karir profesionalnya sebagai akademisi.

Kedua modal ini, selanjutnya jika digunakan secara bijak, akan bisa memastikan bahwa hak kawan-kawan minoritas di Indonesia tak akan direnggut atau membuat mereka terluka di satu sisi. Serta tidak akan menyebabkan amuk di kalangan gerbong kanan di sisi lain. Secara elektoral, oleh karena itu, ini akan memungkinkan untuk menarik dukungan suara dari tengah yang mana bukan hanya mayoritas muslim tetapi juga kelompok-kelompok sosial lain berada.

Nila setitik

Dalam proses politik pemenangan pemilu, Anies atau sebagian pendukungnya bisa saja jatuh kedua kali pada lubang yang sama. Misalnya, secara psikologis, antusiasme yang berlebihan menyebabkan melemahnya kendali diri. Bisa juga, karena provokasi yang hebat dari pihak pesaing, pilihan langkah menjadi tidak tepat. Sebab, dalam pesta pemilu yang demikian besar dan mencakup wilayah tarung yang luas tidak bisa dijamin bahwa fair-play berjalan sepenuhnya. Kendali diri akan sangat menentukan.

Peribahasa dalam interaksi sosial karena nila setitik rusak susu sebelanga juga bisa menjelaskan kemungkinan ini. Meskipun mungkin dalam bentuk yang berbeda, Anies bisa belajar pada kekalahan Ahok. Tren positif yang berusaha dibangun di sisi elektabilitas bisa jadi akan ambyar jika gagal untuk berdayung di antara dua karang; demokratisasi yang salah satunya diwujudkan dengan pemenuhan hak-hak minoritas dan kanan muslim yang sensitif dengan isu-isu historis.

*Penulis adalah Pengajar Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem, kandidat doktor Pengembangan Kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.

[Sumber: MediaIndonesia]
Baca juga :