F A T A H I L L A H
Oleh: Taufik Ismail
Ketika masih berumur belasan tahun, pertama kali aku masuk kota Jakarta adalah melalui pelayaran dengan kapal lautan, ketika itu Indonesia baru enam tahun merdeka.
Citra Jakarta yang direkam oleh ingatanku hingga kini pertama-tama adalah lautan, tiupan angin berbau garam, dan dermaga pelabuhan yang dirapati oleh kapal-kapal mesin dengan cerobong tinggi.
Aku rindu pada bunyi kleneng trem, bolak-balik dari Jatinegara ke Kota, pada mobil Austin yang dirubah interiornya jadi angkutan banyak penumpang dan pada armada becak yang karet-anginnya mendengung sore dan malam hari.
Tapi aku lebih rindu pada adegan pelabuhan dan Pasar Ikan, di tempat merapat perahu pinisi yang tiangnya bergoyang-goyang, serta pasar yang beraroma lautan, tak habis sibuk dengan penjualan ikan yang baru ditangkap nelayan.
Waktu itu aku mana paham bahwa di lautan dan di pantai ini, telah beratus tahun berlangsung peristiwa penting, diisi ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu pelaku, dengan makna yang dalam, semua itu sejarah, dinamakan.
Kini tabir panggung telah dibuka. Lihatlah seuntai rangkai gugusan, 17.000 pulaunya, 400 gunungnya, 300.000 sungainya, subur setiap hasta buminya, orang menanam, orang memetik buah beragam, menakik berbagai getah, mengumpul rempah-rempah, menyuling ekstrak cairan, dengarkan musik daunan bernyanyi gemerisik di atas flora tropika, sampai berita kemana-mana.
Kau dengar lagi kebar-kebar layar kapal yang berdatangan, suara derap pasukan jalan kaki, gemuruh kuda kavaleri, dentuman meriam di lautan serta azan yang dikumandangkan.
Kau lihat Demak, Cirebon, Pajajaran, Banten, Malaka, Pasai, semuanya tersusun dalam adegan abad 16, empat ratus lebih tahun yang silam.
Kau lihat orang-orang datang berlayar dari Semenanjung Iberia, Portugal nama negerinya, Portugis nama bangsanya, mereka tiba dengan kapal-kapal layar besar, dengan senjata api berbagai ukuran.
Inilah orang-orang pewaris peradaban Gerika-Roma, yang dari Yunani mewarisi penyembahan jasad dalam bentuk keindahan sensori, dari Romawi penyembahan nafsu sensual inderawi, dan bergabung sempurna jadi pembangun peradaban materi.
Di dalam buku-buku tarikh mereka disebut dengan istilah imperialis dan kolonialis, padahal aku lebih suka menyebut mereka materialis yang menyebarkan secara fanatik paham serba-benda.
Ciri mereka adalah memperagakan sifat serakah pada harta, berdagang dengan cara curang, merampas dan menipu, membinasakan negeri yang didatangi bila perlu, dan nyata membawa dendam lama yang bersilang di dada mereka.
Para Wali di Pulau Jawa jadi sangat khawatir, mendengar pendatang Portugis akan membuat benteng di Sunda Kelapa, dan membuat perjanjian dengan Ratu Sang Hiyang raja Pajajaran, sehingga taktik ekspansi mendapat kemudahan.
Kau lihat para Wali menyusun strategi, dan dipilihnya seorang pejuang sejati, ternyata dia miliki kualifikasi panglima pertempuran, pengayom dalam soal kemasyarakatan, guru dalam masalah keilmuan dan syaikh dalam kaitan kerohanian.
Dia lah Fatahillah. Para wali tidak memilih seorang senopati guna operasi ini karena tugasnya memimpin jihad fi sabil-il-Lah, jihad di jalan Tuhan, yang perhitungannya bukan semata kemiliteran pertempuran.
Rakyat memerlukan pimpinan dengan sikap taqarrub yang mendalam, karena situasi di lapangan bagaikan Perang Badar ketika pasukan kecil berhadapan pasukan besar.
Dia lah Fatahillah. Berhadapan dengan berbagai kesukaran dan ancaman, dari luar dan juga dari dalam, di abad 16 itu dia meninggalkan jejak mengesan dengan memahatkan iman, kecerdasan dan keteguhan hati sebagai teladan, yang mengantarkan kepada kemenangan.
Nama Sunda Kelapa telah digantikan nama Jayakarta, bermakna ‘telah membuat kemenangan’, yang kelak lekat menjadi nama ibukota.
Kemenangan, yang diilhami kemenangan Rasul Muhammad merebut Makkah dari kaum Quraisy, tercantum dalam ayat awal surat Al Fath, Inna fatahna laka fathan mubina, sesungguhnya Kami telah memberi kemenangan padamu kemenangan yang nyata,
Dia lah Fatahillah. Dalam perjuangan gigihnya, niat awal, landasan dan tujuannya bukan persoalan kawasan tanah, perdagangan rempah-rempah, suku, ras, bangsa, apalagi dendam.
Dia mengangkat perjuangan ke dataran lebih tinggi dan semesta dari semua, yaitu tegaknya penghambaan manusia hanya kepada Allah sahaja, dan terbebasnya manusia dari penghambaan sesama manusia.
Dia lah Fatahillah.
"MABRUK JAKARTA YANG KE 495"
*Sumber foto: Arsip Ikrafa (Ikatan Keturunan Raden Fattah)