ISLAM NUSANTARA DAN ARABISASI

ISLAM NUSANTARA DAN ARABISASI

Oleh: Dr Moeflich

Ahmad dan Budi, dua sahabat ngopdud (ngopi ngudud), ngobrol santai tapi jadi pembicaraan panjang. Berdiskusi dan dialog tentang Islam Nusantara dan Islam Arab. Keduanya alumni pesantren tapi dengan alam pikiran yang berbeda. 

Ahmad: "Orang Islam kok mempersoalkan Arabisasi ya, tapi tidak mempersoalkan Baratisasi. Aneh.”

Budi: "Ooh … itu karena di belakang Arabisasi ada jubahisasi, sorbanisasi, jilbabisasi, cadarisasi. Itukan bukan pakaian Indonesia."

Ahmad: "Dan di belakang Baratisasi ada seksisasi, rokminisasi, bikinisasi, pornoisasi. Itu juga bukan pakaian Indonesia. Arabisasi mengajarkan pakaian tertutup, Baratisasi mengajarkan terbuka. Lebih bermartabat mana?”
 
Budi: “Dalam Arabisasi itu ada Salafi-Wahabisme. Itu berbahaya buat umat Islam.”

Ahmad: “Dalam Baratisasi ada sekularisme dan hedonisme. Lebih bahaya mana buat umat Islam?"

Budi: “Kita ini Islam Nusantara alias Islam Indonesia bukan Islam Arab. Yang kita ambil Islamnya bukan Arabnya. Gus Dur pernah mengatakan Islamisasi itu bukan "saya" jadi "ana," "kamu" jadi "antum," "sahabat" jadi "akhi," "kemeja" jadi "jubah," "kopiah jadi sorban," "kebaya jadi jilbab," dan seterusnya. Bukan!!”

Ahmad:  “Aneh juga. Kalau ana, antum dan akhi adalah persoalan, mengapa I, you, we, friend, love, sexy, dates dan lain-lain tidak jadi persoalan? Sejak kapan bahasa Arab yang sudah dipelajari berabad-abad di pesantren dan sudah menjadi bagian dari tradisi kesantrian, jadi negatif begitu? Dinegatifkannya oleh orang pesantren lagi. Sangat aneh. Orang Kristen disini tidak mempersoalkan istilah-istilah Inggris mereka bahkan orang Islam turut memakai dan membanggakannya ber-Inggris ria. Orang Islam Indonesia merasa “malu dan asing” ber ‘ana-antum’ karena sebagai ke-arab-araban tapi tidak merasa malu dan asing ber-I, you, we, friend, party, love, sex dan dates sebagai ber-kebarat-baratan, malah dianggap kemajuan dan kemodernan.”
 
Budi: “Itu karena bahasa Inggris adalah bahasa internasional.”

Ahmad: “Bahasa Arab bukan?”

Budi: “Karena Barat sekarang peradabannya lebih maju dan modern.”

Ahmad: “Baru sekarang? Dunia Arab dari dulu saat Nusantara masih Hindu. Bahkan dunia mengakui fondasi modernitas Barat berdiri di atas warisan supremasi peradaban dunia Islam.”

Budi: “Kayaknya, Arabisasi dipandang buruk karena dikaitkan dengan dua hal: dulu jahiliyah, sekarang pemerkosaan TKI, kawin kontrak di Puncak Bogor, poligami dan kelompok Wahabi tukang membid'ahkan dan mengkafirkan orang.”

Ahmad: “Jahiliyah? Di Barat dulu ada The Dark Ages (zaman kegelapan). Perkosaan TKI yang kasuistis dan individual? Kamu gak baca perkosaan tentara Amerika pada para perempuan Irak saat penyerbuan ke Baghdad? Di Barat modern ada mass-rape (perkosaan massal) tentara Serbia pada ribuan Muslim Bosnia. Kawin kontrak? Poligami? Di Barat ada kebebasan, free-sex yang sekarang pun sudah melanda Indonesia, hidup serumah tak perlu kawin, bahkan sudah marak LGBT. Wahabi? Di Barat juga banyak aliran Kristen radikal, ada rasialisme, ada Ku Klux Klan yang ekstrim. Osama bin Laden mengebom WTC dan korban ratusan mati. George Bush menggulingkan pemerintahan Irak, menghancurkan kota Baghdad dan membunuh sekitar 150.000 warga sipil, perempuan dan anak-anak oleh peluru dan rudal canggih yang dimuntahkan dari pesawat-pesawat terbang pasukan tentara Amerika. Bila Osama adalah teroris individual-ilegal, maka Bush adalah teroris negara-legal.”
 
Budi: "Ente kok anti Barat sih?”

Ahmad: “Ente kok anti Arab sih?”

Budi: “Ooh … jadi membela Arab niih..?”

Ahmad: “Ooh … jadi membela Barat nih ..?”

Budi: “Nggak, bicara Arabisasi kok jadi ke Barat?”

Ahmad: “Lha, kan mesti ada perbandingan biar adil. Di kita ini banyak pengaruh asing. Bila pengaruh Arab dipersoalkan, mengapa pengaruh Barat, Jepang, Cina, Korea, India tidak? Yang super anehnya, pengaruh Arab dipersoalkan justru oleh orang Islam. Dimana-mana, agama itu melekat dengan budayanya. Kristen masuk ya dengan Baratnya, Islam juga sama, dengan Arabnya. Itu kan biasa.”
 
Budi: “Kita ini Islam Nusantara, harus punya identitas. Islam itu bukan Arab.”

Ahmad: “Bagi yang berpikiran Islam itu Islam, pikiran itu gak laku. Bagi mereka, Islam ya Islam bukan Nusantara. Lagian, Islam Nusantara itu dari mana datangnya?”

Budi: “Ya dari Arab, tapi kan gak mesti seperti orang Arab. Sebagai orang Nusantara aja. Kita ambil agamanya bukan tradisi Arabnya karena Islam itu nilai bukan wilayah dan daerah.”

Ahmad: “Naah … kalau Islam itu nilai, mengapa kita harus meng-“Islam Nusantara.” Itu kan wilayah? Harusnya adil, kalau Islam itu nilai dan kita tak perlu Arabnya, kita juga tak perlu Nusantaranya. Islam saja. Titik.”

Budi: “Ini kan daerah kita, tempat hidup kita, alam kita, tradisi kita.”

Ahmad: “Naah … itu semua bukan nilai, bukan ajaran. Itu wilayah, sama dengan Arab.”

Budi: “Ada yang lain. Orang Arab itu ngaku Islam, dekat dengan Nabi, asal lahirnya Islam, tapi kelakuannya parah. Banyak yang jauh dari Islam yang diajarkan Nabi.”

Ahmad: “Oh kesitu toh. Apa Islam kita sudah bener?”

Budi: “Kita kan jauh bukan dari asal atau pusat Islam. Wajar.”

Ahmad: “Katanya Islam itu nilai bukan wilayah. Kalau nilai, dan nilai itu universal, ya tak perlu kita bicara pusat dan daerah. Jauh-dekat dan wajar-tak wajar.”

Budi: “Iya juga ya. Jadi?”
 
Ahmad: “Anti Arab-mu itu bukan bicara agama dan kebenaran tapi bicara wilayah, bicara budaya. Kalau budaya ya jangan fanatik. Jangan dijadikan keharusan dan ideologi. Kalau orang tak harus Arab, tak perlu fanatik Arab, ya tak perlu juga harus Nusantara, fanatik Nusantara. Logikanya kan begitu. Biarkan saja orang memilih sesuai selera dan keinginannya masing-masing, mau Arab atau Nusantara, sama saja. Kita kan menganut demokrasi. Itu semua khazanah umat Islam se-dunia. Muslim Nusantara belum tentu lebih baik dari Muslim Arab, sebagaimana Muslim Arab belum tentu lebih baik dari Muslim Nusantara. Masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya.”
 
Budi: “Bener. Tapi kita kan harus memelihara identitas Nusantara sebagaimana Arab memelihara identitas Arab dan Barat memelihara identitas Barat.”

Ahmad: “Setuju, tapi ya itu tadi, harus adil. Budaya itu urusan dunia dan pilihan selera. Kalau Barat diterima dan sudah biasa, mengapa Arab dipersoalkan? Oleh orang Islam lagi? Kalau kita harus me-Nusantara, bukankah dalam banyak hal, selama ini, kita sudah mem-Barat? Pakaian, penampilan, sistem pendidikan, sistem ekonomi, demokrasi? Kamu ngaku pluralis tapi tak terbukti dalam sikap dan pikiran. Pluralis itu tidak anti kelompok lain, tapi mengakuinya sebagai pluralitas. Selama ada perasaan tidak suka dan anti, kamu bukan seorang pluralis, tapi otoriter bahkan diktator yang kalau jadi pemimpin akan berbahaya.” 
 
Budi: "Kamu sendiri, budayamu, Islam mana?"

Ahmad: "Kalau budaya, gak perlu ditanya, ya Islam Nusantaralah ... tapi tidak fanatik, tidak anti Barat, tidak juga anti Arab seperti pikiranmu yang picik itu. Di rumah sehari-hari saya senang pake sarung dan kopiah, senang juga baju koko dan sorban, sekali-sekali shalat pake gamis Arab atau Pakistan seperti para kyai di pesantren itu. Acara resmi ya batik, ngantor ya kemeja, maen pake kaos oblong The Beatles, topi laken Cardinal, Eiger atau Polo atau dan celana jeans. Semua saya nikmati tanpa fanatik dan kebencian. Semua budaya sah berkompetisi mengisi dan memperkaya nutrisi Islam Nusantara atau Islam Indonesia sekarang. Sudah sejak abad ke-16 alias lima abad Islam Nusantara merupakan ramuan Arab, Persia, India, Cina dan Barat sehingga Islam Nusantara berwatak moderat karena sudah terbiasa dengan perbedaan. Tapi orang macam kamu merusaknya akibat kesempitan berpikirmu!!"

(*)
Baca juga :