Antara Tukang Las China dan Uang JHT Buruh Negeri Sendiri

Ada dua problem seputar dunia perburuhan tanah air yang mencuat pekan ini:

Yang pertama adalah temuan Bappenas soal penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) tukang las dari China dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Yang kedua dan sedang sangat heboh adalah perubahan aturan pencairan uang Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan. Pekerja baru bisa mencairkan dana JHT nya ketika mencapai usia 56 tahun. Padahal banyak sekali pekerja swasta di tanah air yang tidak bisa mencapai usia itu, karena alasan PHK, habis kontrak atau mengundurkan diri.

SOAL TUKANG LAS ASING

Soal tukang las asing, PKS bersuara melalui anggota Komisi IX DPR RI  Kurniasih Mufidayati. Ia  meminta agar proyek nasional yang melibatkan kontraktor asing tetap mengutamakan tenaga kerja Indonesia.

Mufida yakin dengan kemampuan tenaga kerja Indonesia sangat mampu untuk mengerjakan berbagai proyek infrastruktur berskala dunia. Terlebih, papar dia, saat ini tenaga kerja Indonesia masih terpukul karena dampak pandemi.

“Yang kita harapkan optimasi tenaga kerja Indonesia karena memiliki potensi yang sangat besar apalagi di tengah pandemi banyak yang terdampak, kena PHK atau pengurangan pendapatan,” sebut Mufida dalam keterangannya, Jumat (11/2/2022).

Ia menyebut semangat mendahulukan tenaga kerja Indonesia seharusnya dilakukan karena Presiden Joko Widodo sendiri ingin menjadikan Indonesia Emas dengan SDM Indonesia yang unggul.

SOAL JHT
 
Soal JHT yang pencairannya dipersulit, disuarakan oleh Anggota Fraksi PKS di Komisi XI lainnya yaitu Netty Prasetiyani. Ia meminta pemerintah agar mengkaji ulang, bahkan mencabut peraturan tersebut.  

"Muatan permenaker tersebut mencederai rasa kemanusiaan dan mengabaikan kondisi pekerja yang tertekan dalam situasi pandemi," katanya dalam rilis media, Sabtu (12/02/22).

Menurut Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini, ada beberapa pasal dalam permenaker yang muatannya menunjukkan ketidakpekaan pemerintah pada situasi pandemi yang membuat  pekerja  ter-PHK.

"Misalnya, aturan mengenai penerimaan manfaat Jaminan Hari Tua yang baru diberikan kepada peserta setelah berusia 56 tahun. Bayangkan, seorang peserta harus menunggu 15 tahun untuk mencairkan  JHT-nya jika ia berhenti di usia 41 tahun. Ini tidak masuk akal," ujar Netty.

Menurut Netty, aturan tersebut berlaku pada peserta yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri, terkena PHK atau meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Dan berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan per Desember 2021, total klaim  peserta yang berhenti bekerja karena pensiun  hanya 3 persen, sedangkan pengunduran diri 55 persen dan alasan terkena PHK mencapai 35 persen.

“Berhenti bekerja karena PHK tentu bukan keinginan pekerja. Berhenti karena pengunduran diri pun bisa karena situasi di tempat kerja yang sudah tidak nyaman. Jadi, mengapa JHT yang sebagiannya merupakan tabungan peserta ditahan pencairannya? Bukankah dana yang tidak seberapa tersebut justru dibutuhkan mereka untuk bertahan hidup di masa sulit ini. Jika harus menunggu sampai usia 56 tahun, bagaimana keberlangsungan pendapatan pekerja?" ungkap Netty.

Bagaimana pemerintah, kapan mau mendengarkan aspirasi buruh?


Baca juga :