LIA EDEN & JALAN HIDAYAH

LIA EDEN & JALAN HIDAYAH

Oleh: Arsyad Syahrial

Saya dapat cerita tentang si Edan yang mati beberapa hari lalu. Ternyata si Edan ini punya keluarga Muslim yang baik, tidak ada aneh-anehnya. Mendiang ibu dari si Edan itu sampai akhir sakit-sakitan meminta anaknya untuk kembali dan bertaubat, adik kandungnya si Edan juga begitu. Tak hanya itu, anak kandung si Edan itu pun sampai lari dari rumah karena kelakuannya. Jadi bagi keluarganya sendiri pun, si Edan itu sesat.

Mungkin pada bertanya, kenapa orang bisa sampai "percaya & berīmān" kepada si Edan itu? Well, salah satunya karena di rumahnya (rumahnya itu ada di kompleks perumahan biasa) tetiba ada mata air yang airnya segar sekali kalau diminum. Ajaib lah pokoknya kalau dipikir… Walau sebenarnya hal itu kalau dipikir, ya biasa saja, bahkan kok ya "cemen" betul sampai itu bisa membuat orang "percaya & berīmān" kepadanya, sementara omongannya si Edan itu banyak yang tidak terbukti dan meleset. 

But it was what it was, yang "percaya & berīmān" kepada si Edan itu juga bukan orang-orang kelas rendahan dan bodoh, tidak. Banyak di antara mereka yang kelasnya profesional, highly educated dan high income. Buktinya barang-barang di rumah si Edan itu mahal-mahal, gold plated, semua itu pemberian dari pengikutnya.

Apakah aneh kok ya orang pendidikan tinggi bisa begitu? Tidak juga sebenarnya, karena beberapa tahun lalu ada penipu pengganda uang terkenal bernama Taat Pribadi dibela mati-matian oleh seseoknum "Professor Doktor" lulusan Amrik yang anggota organisasi kecendikiawanan Muslim.

Dari sini sebenarnya kita bisa mengambil pelajaran bahwa yang namanya hidayah itu bukan karena kita punya pendidikan tinggi dan berstatus sosial tinggi, tidak. Karena orang-orang yang tak berpendidikan dan miskin justru adalah mayoritas dari pengikutnya para Nabiyullōh.

Mungkin bertanya, "Kok melihat keajaiban kecil begitu bisa langsung percaya sih?"

Well, jangankan melihat yang kecil itu membuat orang langsung percaya, karena melihat bukti nyata (mu‘jizat) yang besar pun bukanlah jaminan akan jadi berīmān. Sebab orang Kāfir Quraisy mereka melihat Bulan terbelah dengan mata kepala mereka sendiri, tapi mereka tak berīmān. Atau Fir‘aun melihat tongkat Mūsā عليه الصلاة والسلام berubah menjadi ular berkaki yang sangat besar yang memakani ular-ular kecil buatan tukang sihirnya, toh tidak berīmān? Bahkan Fir‘aun melihat langsung lautan terbelah dengan 12 belahan setinggi belasan meter, ia tetap tidak berīmān bahkan tetap nekad mengejar Nabī Mūsā dan Banī Isrō-īl? Atau Namrud yang melihat langsung api unggun raksasa dengan tinggi belasan meter yang ia buat untuk membakar Ibrōhīm عليه الصلاة والسلام ternyata tak mampu walau sedikit pun menyakiti Ibrōhīm.

Mereka semua, Abū Jahal, Abū Lahab, Fir‘aun, Namrud, mereka melihat langsung keajaiban besar sebagai "bukti nyata" (البينت) itu. Namun mereka tak berīmān.

Di sini bukti bahwa hidayah īmān itu betul-betul "Hak Prerogative" dari Allōh ﷻ‎, adalah urusan Allōh ﷻ‎ kepada siapa itu diberikan-Nya. Mau kepada orang yang seumur-umur hidupnya kāfir, tetiba menjelang kematian, kembali dan bertaubat. Sebaliknya bisa saja seumur-umur baik dan shōlih, tetiba menjelang kematian tergelincir. Banyak kan kejadian begitu kita dengar terjadi?

Lantas kita harus bagaimana?

Kembali lagi bahwa kita tidak tahu taqdir akhir kehidupan kita bagaimana. Namun kita punya kewajiban ber‘ibādah kepada Allōh ﷻ‎. Itu saja terus kita camkan di kepala kita agar kita terus berusaha dan berjuang menjadi "orang baik" menurut standard Allōh ﷻ‎ dan Rosūl-Nya ﷺ‎.

Semoga Allōh ﷻ‎ menetapkan kita di atas agama-Nya yang lurus selama hayat dikandung badan.

Aamiin.
Baca juga :