Air Mata Sang Kakak, Mitzi dan 14 Gerwani
Sumber: Sang Patriot, Biografi Resmi Pierre Tendean
"Usaha saya mengumpulkan semua fakta kematian adik saya berawal dari ketidakpuasan saya pribadi. Saya sangat tidak percaya terhadap segala cerita penganiayaan di lubang buaya 30 September 1965. Saya pikir itu hanya laporan wartawan. Ketika saya bertemu Dr. Roebiono Kertopati, kepala tim pemeriksa mayat pahlawan revolusi, saya mendesak dia menceritakan kondisi mayat adik saya yang sebenarnya. Dokter itu tidak bersedia. Alasannya terikat sumpah. Hanya 2 orang yang berhak mengetahui hasil visum, Presiden Soekarno dan Mayor Jendral Soeharto, kata Roebiono. Roebiono cuma bisa menyimpulkan perlakuan para korban termasuk Pierre 'melebihi binatang'. Mendengar itu saya semakin tergerak untuk mencari tau sendiri."
Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andries Tendean (lahir 21 Februari 1939 – meninggal 1 Oktober 1965 pada umur 26 tahun) adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965. Mengawali karier militer dengan menjadi intelijen dan kemudian ditunjuk sebagai Ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution. Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan bersama enam perwira korban Gerakan 30 September lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.
Berikut penuturan Mitzi Farre Tendean, selaku kakak kandung Pierre Tendean...
Setelah meminta izin kepada direktur Zeni Angkatan Darat Mayjen Dandy Kadarsan untuk melihat kondisi sumur di lubang buaya, Mitzi ditemani dengan Ibu Johana Sunarti Nasution serta Dandy Kadarsan sendiri datang pada 2 Januari 1966 ke lubang buaya. Saat itu situasi belum kondusif, masih mencekam tidak diketahui mana kawan dan mana lawan.
Penelusuran Mitzi kemudian membawanya ke dalam rumah tahanan khusus Salemba dan Bukit Duri. Mitzi mengaku mendapat izin khusus setelah menemui Mayjen Soeharto yang saat itu sudah menjabat sebagai pejabat Presiden. Surat izin khusus ini berlaku mulai 6 April 1967 sampat dengan Juni 1967.
Di penjara wanita Bukit Duri, Mitzi selama 2 hari berturut turut mendatangi satu persatu anggota Gerwani. Total mitzi mewawancarai 14 anggota Gerwani yang disangkut pautkan dengan peristiwa 30 September. Terdapat delapan lembar keterangan para anggota Gerwani yang didapatkan Mitzi dengan para anggota Gerwani di penjara bukit duri.
1. Atikah Djamilah, didalam proses verbal (PV) disebutkan datang ke Lubang Buaya pada tanggal 28 September 1965. Ia anggota pemuda rakyat Tanjung Priok, dengan pelatih Soedjono. Ketika Mitzi menemui Djamilah yang menurut teman-temannya memimpin kelompok kecil Gerwani yang turun langsung menganiaya Pierre, Djamilah tidak mau bicara, dan berkali kali berkata "tidak tahu". Sorot matanya tajam dan hal itu tidak akan dilupakan Mitzi ketika mengingat Djamilah. Sosok perempuan bertubuh tegap, kulit sawo matang, dan berhidung mancung.
2. Eni Binti Madah, adalah seorang wanita tunasusila. Menurut catatan, Eni tiba di lubang buaya pada 30 September 1965 pukul 22.00. Keesokan harinya, Eni disuruh untuk menari nari setengah telanjang mengelilingi ruang piket sambil bernyanyi dan melukai para tawanan. Eni mengaku ikut memasukkan Sutoyo, Suprapto, S. Parman, dan Pierre ke dalam sumur. Dengan mata kepala sendiri ketika Eni menari nari mengelilingi para korban, dia melihat Djamilah memotong alat vital Pierre, bahkan Eni mengaku disuruh untuk mengiris-iris S. Parman, Pierre, dan Suprapto. Menurut pengakuannya kepada Mitzi, semua korban dicungkil matanya oleh Djamilah, dan ditusuk punggungnya oleh anggota Gerwani bernama Tati.
3. Darsijem, mengaku tiba di Lubang Buaya pada tanggal 30 September 1965. Keesokan harinya ia ikut menganiaya jendral Suprapto. Darsijem melihat korban yang berbaju coklat (Pierre) ditembak pasukan Tjakrabirawa dan pemuda rakyat. Setelah tewas, Pierre diseret orang berbaju hijau ke dalam sumur. Menurut Darsijem, Djamilah adalah pemimpin Gerwanib yang melakukan penganiayaan.
4. Henni, mengaku sebagai anak buah Sukitman, anggota pemuda rakyat. Ia mlihat dua tawanan berbaju piyama dan satu lagi hanya memakai sarung. Henni mengaku menusuk perut Suprapto, Henni juga mengaku mencongkel bola mata, lalu membungkus bola mata tawanan dengan daun pisang. Henni melihat tawanan yang mengenakan kimono dipotong tangannya hingga batas pundak, yang memakai sarung dipotong kakinya sampai paha.
5. Endah datang ke Lubang Buaya pada tanggal 30 September 1965. Tanggal 1 Oktober dia melihat Pierre, Siswondo Parman, dan Suprapto dibawa ke lokasi. Semuanya dikawal Tjakrabirawa.
6. Saijah, umur sekitar 16 tahun, mengaku bekerja di dapur umum. Lalu dia dipanggil oleh orang berseragam loreng untuk melihat jenazah-jenazah. Dia mengaku megiris iris Suprapto tetapi kemudian Saijah buru buru megubah keterangannya sehingga terkesan memutar balikkan Fakta.
7. Ani, mengaku melihat truk datang pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, kemudia menurunkan seorang tawanan berpakaian daster yang sedang dalam keadaan terikat pada pukul 06.00 pagi, dia melihat tawanan berdaster itu ditembak dibelakang rumah.
8. Tarju, pada pukul 07.00 tanggal 1 Oktober 1965 melihat tawanan sama dengan yang dilihat Ani.
9. Sariningsih alian Ny. Hardjono, istri seorang guru penghuni rumah di samping sumur lubang buaya, mengatakan bahwa di Lubang Buaya telah dilakukan 7 kali pelatihan. Dia sendiri ikut dalam angkatan ke 5. Menurut Sariningsih, pasukan Tjakrabirawa datang pada tanggal 30 September 1965 pukul 14.00. Pada pagi harinya, dia melihat tawanan berbaju putih dalam keadaan terikat.
10. Soekarni, janda tanpa anak berusia 42 tahun, anggota Gerwani, di Lubang Buaya mendapat tugas di dapur umun. Subuh tanggal 1 Oktober 1965, dia pergi ke sungai, mendengar letusan senjata, dia lalu bersembunyi kembali di dapur.
11. Tjitjih Binti Hadimi, anggota Gerwani yang sama bertugas di dapur umum, mengaku pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi pagi melihat jenazah. Karena bertugas di dapur, dia mengatakan tidak melihat kejadian lainnya.
12. Marsijem, suaminya pensiunan, tanggal 29 September dipanggil oleh sulami ke DPP Gerwani untuk menjalani tugas. Bersama 10 orang lainnya.
13. Wasirah, istri dari Suamadi, seorang Guru SD. Dia memilih untuk tidak berbicara.
14. Dedeh, 26 Tahun, bekerja di PKD Djaja, ditugaskan untuk menjahit bendera di lubang buaya. Mengaku melihat Tjakrabirawa berbaret merah dan pemuda rakyat berbaju loreng. Tidak melihat langsung pembunuhan para jendral.
***