Fatahillah, Putra Aceh Pendiri Kota Jakarta
Oleh: Nab Bahany As (Budayawan, tinggal di Banda Aceh)
TANGGAL 22 JUNI 2010, kota Jakarta genap berusia 483 tahun atau 322 tahun lebih muda dari kota Banda Aceh (805 tahun). Ibukota Negara Indonesia itu didirikan seorang putra Aceh bernama Fatahillah.
Ternyata, kontribusi Aceh untuk RI bukan hanya menyumbangkan dua pesawat terbang sebagai modal awal Indonesa ketika baru merdeka, atau bahasa pasee yang dijadikan linguafrangka, tapi juga mendirikan ibukota Negara ini. Nama Indonesia “masih ada” pada dunia internasional juga disuarakan lewat suara Radio Rimba Raya. Saat itu Indonesia sudah dikop kembali oleh Belanda dalam agresi ke II. Belum lagi putra Aceh, Markam menyumbang 27 kilogram emas di atas puncak Monas yang kini jadi kebanggaan kota Jakarta. Atau juga Aceh telah menyumbangkan hasil gas alamnya selama puluhan tahun untuk pusat—yang dikembalikan ke Aceh hanya nol persen meskipun sudah ada UU bagi hasil.
Dalam banyak referensi, kota Jakarta didirikan pertama sekali oleh Ahmad Fatahillah, putra Aceh asal kerajaan Pasai (Aceh Utara) yang hijrah ke tanah Jawa pada awal abad ke 15 M. Kedatangannya ke Jawa ketika itu disambut oleh Sultan Demak (Pangeran Trenggono). Atas dukungan Sultan Demak Ahmad Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dan Banten dari kerajaan Pajajaran yang bersekongkol dengan Portugis. Penyerangan Fatahillah ke Pajajaran memperoleh dua kemenangan sekaligus, selaian berhasil merebut Sunda Kelapa dari kerajaan Pajajaran juga berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa daerah taklukannya. Atas kemenangan inilah pada tahun 1527 M. Fatahillah diangkat menjadi Bupati Sunda Kelapa oleh Sultan Demak. Dalam tahun itu pula tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengubah nama Bandar Sunda Kelapa menjadi nama “Jayakarta” yang kemudian disingkat menjadi “Jakarta” mengandung makna “kota kemenangan”.
Itu sejarah awal berdirinya kota Jakarta. Ironinya dalam perjalanannya, peran Fatahillah sepertinya digelapkan. Memang “Fatahillah” ada diabadikan dengan memberi nama pada sebuah Museum di Jakarta (Meseum Fatahillah) atau Museum Sejarah Jakarta (MSJ). Tapi bila kita perhatikan dengan menggunakan nalar sejarah kritis, apa yang dipamerkan pada Museum Fatahillah ini seperti ada periode sejarah yang terpenggal. Artinya sejarah Jakarta yang diinformasikan dan dipamerkan, hanya informasi masa pra sejarah hingga hingga masa kolonial. Tidak kita temukan periode sejarah “Jayakarta” semasa Fatahillah. Periode sejarah Fatahillah dihilangkan. Terlihat dilompatkan dari zaman pra sejarah, zaman Hindu-Buhda, langsung ke zaman Batavia di bawah Kolonial Belanda. Perubahan perubahan nama Jayakarta menjadi Batavia pada 14 Maret 1621 ketika itu Belanda berhasil menguasai Bandar Jayakarta nama yang diberikan oleh Fatahillah 22 Juni 1527.
Penamaan Batavia oleh Belanda untuk mengganti nama Jayakarta adalah untuk mengenang suku Batavir sebuah suku tertua di Belanda yang terdapat di lembah sungai Rhein yang dianggap sebagai leluhur orang Belanda. Di sini jelas, antara penamaan Jayakarta yang diberikan Fatahillah pada Sunda Kelapa 22 Juni 1527 dengan dengan pergantian nama Batavia oleh Belanda untuk Jayakarta 14 Maret1621, berarti selama satu abat sejarah Jakarta dipenggal ceritanya dari sejarah Fatahillah. Hilangnya satu babak periodesasi informasi sejarah Fatahillah di Museum Sejarah Jakarta itu, berarti sekaligus menghilangkan informasi sejarah peranan Fatahillah sebagai pendiri kota Jakarta. Kita tidak tahu, apakah ini sengaja dihilangkan karena yang mendirikan kota Jakarta itu, orang Aceh?
Sejarah negeri ini memang menafikan peran Aceh. Hampir tidak ada peninggalan artifak dan manuskrip lain yang dipamerkan di Museum Fatahillah (Museum Sejarah Jakarta). Maka naïf jika sekarang Jakarta dengan segala kegemerlapannya mengabaikan pendirinya. Tampaknya para penulis sejarah Jawa seperti enggan memunculkan tokoh yang satu ini. Fatahillah, ulama juga panglima perang dari Pasai Aceh tidak begitu mononjol sejarah nasional. Seperti halnya Maulana Malik Ibrahim dan Malik Ishak (dua ulama Aceh) yang paling awal menyebarkan Islam di tanah Jawa juga tidak terangkat ke permukaan. Makam Maulana Malik Ibrahim sampai sakarang masih terdapat digersik Jawa Timur, yang batu nisannya diduga persis dan seusia dengan nisan-nisan yang terdapat di Samudra Pasai Aceh.
Fatahillah begitu ditakuti lawan, sehingga memiliki banyak nama kebesaran. Portugis menyebut nama Fatahillah ini dengan “Falatehan”. Sultan Demak menggelarnya “orang agung dari Pase”. Dalam fersi yang lain orang Portugis juga menamai Fatahillah dengan “Fatahillah Khan”. Masyarakat Jawa pada umumnya semasa hidup Falatehan memanggilnya “Ki Fatahillah”, yang berarti orang terhormat karena kealimannya dan ketokohannya dalam masyarakat jawa. Dalam banyak fersi juga disebutkan sebenarnya yang dimaksud Sunan Gunung Jati dalam Sembilan Wali Songo di Jawa salah satunya adalah Fatahillah. Dan nama Sunan Gunung Jati sendiri identik dengan Syarif Hidayatullah yang diabadikan pada nama Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sekarang ini. Berarti menurut fersi ini secara keulamaan Fatahillah menyandang dua nama lain yang ditabalkan kepadanya, yaitu Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah.
Masih banyak sejarah yang dikubur, termasuk riwayat perkawinan Fatahillah sebagai menantu dari Sunan Gunung Jati, karena Fatahillah dikawinkan oleh Sultan Demak dengan keponakannya anak dari sunan Gunung Jati. Sehingga jika ada pendapat bahwa Fatahillah bukanlah Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, suatu yang lemah. Karena bila dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya seperti dalam Babat Caruban (diubah Babat Cerebon: 1720 M), Saifufuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam Indonesia (1980), dan H.M. Zainuddin dalam Tariehk Aceh dan Nusantara (1961) menyebutkan yang dimaksud Sunan Gunung Jati adalah nama lain dari Fatahillah seorang ulama dari Pasai (Aceh) yang hijrah ke tanah Jawa, yang kemudian berhasil merebut Bandar Sunda Kepala dari Kerajaan Pajajaran dan Portugis, lalu menamainya Sunda Kelapa ini dengan nama Jayakarta sebagai cikal bakal awal berdirinya kota Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia yang kita kenal sekarang ini.[]
*Sumber: Koran SERAMBI INDONESIA, 27 Juni 2010