DIBALIK KISRUH NADIEM


DIBALIK KISRUH NADIEM

Urusan jabatan menteri memang prerogatif presiden tapi di atas itu ada hukum. Boleh saja mengklaim sebagai orang baik tapi jika sesuatu melanggar undang-undang, sekalipun teman sekasur, kudu ditindak.

Buat apa ada UU 39/2008 tentang Kementerian Negara jika Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio selama 174 hari (28 November 2019-19 Mei 2020) merangkap jabatan sebagai Komisaris PT Tokopedia tanpa ada sanksi secuil pun? Padahal aturannya jelas: diberhentikan!

Negara hukum macam apa yang mau ditunjukkan kalau seorang menteri dilantik 23 Oktober 2019 kemudian pada 28 November 2019 diangkat sebagai komisaris perusahaan swasta asing; ketika tercyduk hanya dilakukan perubahan akta perusahaan pada 19 Mei 2020 (Akta Nomor 47)?

Menteri merangkap jabatan pengurus perseroan (direksi atau komisaris) jelas dilarang. Lain halnya jika ia menjadi pemegang saham semisal Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang setidaknya masih menguasai 10 lembar saham Serie A PT Dompet Karya Anak Bangsa/Gopay (Akta 71/19 Maret 2020)—FYI. Mayoritas saham Gopay dikuasai Gojek/PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (8,2 juta lembar).

Jika Menparekraf yang terang-terangan melanggar undang-undang saja tidak digebuk, bagaimana bisa kita berharap Presiden Jokowi ‘mengevaluasi’ Mendikbud gegara kisruh Program Organisasi Penggerak/POP? Undang-undang saja dijadikan sekelas pajangan.

Kita sepakat tentang upaya peningkatan kualitas hasil belajar siswa yang menurut skor PISA (Programme for International Student Assessment) 2018 turun pada semua kategori. Kalimat indah dalam Power Point semacam “Sekolah Penggerak yang mampu mendemonstrasikan kepemimpinan pembelajaran (instructional leadership)...” juga tak kita debat.

Statistik sasaran POP 2020-2022 yakni 50.000 guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan di 5.000 PAUD, SD, dan SMP yang menjadi cakupan Gajah, Macan, dan Kijang juga sesuatu yang terlihat indah. Apalagi pagu anggaran Rp595 miliar/tahun.

Masalahnya, mengapa ribut? Apa yang tidak beres? Apa karena semata Yayasan Bhakti Tanoto dan Sampoerna Foundation terpilih? Apa karena rentan korupsi—seperti dikhawatirkan Federasi Serikat Guru Indonesia/FSGI? Apa karena ketidakadilan pembagian kue—NU dan Muhammadiyah mendapat Rp20 miliar tapi cakupan 25 provinsi, sementara ada organisasi di Maluku Utara juga dapat segitu tapi hanya menggarap satu kabupaten? Atau karena desain programnya yang tidak tepat dengan alasan lebih baik dialokasikan langsung untuk peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik?

Mayoritas kritik mengarah pada keheranan, “Mengapa yayasan konglomerat dapat kucuran dana POP?”

Dijawab pemerintah dan si yayasan konglomerat, “Itu tidak pakai APBN tapi pakai skema pembiayaan mandiri.”

Betul, itu ada di dalam Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 4/2020 tentang Pedoman Program Organisasi Penggerak untuk Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Pembiayaan program ada dua: 1) anggaran Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud melalui mekanisme bantuan pemerintah; 2) biaya mandiri yang berasal dari ormas dan/atau bantuan dari lembaga donor atau pihak ketiga.

Tapi mengapa Kemendikbud harus membuat wartawan dongkol pada Jumat lalu ketika Taklimat Media? Memakai model webinar, menyaring pertanyaan, menjawab apa yang tidak ditanyakan... Taklimat Media yang misterius rupanya.

Dalam situasi janggal macam itu kita tak perlu Merdeka Belajar. Apalagi Merdeka Belajar pada dasarnya adalah kepunyaan orang yang mampu saja. Kita butuh Belajar Merdeka. Berpikir bebas dan kritis, menembus jantung persoalan, membuka apa yang coba ditutupi oleh kekuasaan...

Kalau soal uang, anggaran Gajah Rp20 miliar bisa jadi tak seberapa buat yayasan konglomerat. Angka itu juga 280 kali lipat lebih sedikit dibandingkan Kartu Prakerja yang malah terang-terangan disalurkan ke perusahaan platform digital melalui tangan peserta. Mengapa Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation harus ada? Mungkinkah murni filantropi?

Tidak ada sinterklas dalam urusan ini. Jangan lihat kulit luar dan kampanye pers bikinan konsultan perusahaan saja.

CSR adalah kewajiban menurut UU Perseroan Terbatas. Yayasan merupakan kendaraan untuk aktivitas sosial (termasuk pendidikan) yang pendanaannya berasal dari kekayaan yang dipisahkan. Tapi ingat, yayasan juga bisa difungsikan sebagai sumbangan yang dihitung sebagai pengurang pajak. Dalam beberapa kasus, yayasan dipakai juga untuk kegiatan cuci uang oleh beberapa oknum.

Simak saja berkas ke belakang, PPATK kerap mengeluhkan kesulitan menembus rezim pencucian uang di sektor kehutanan karena regulasi yang lemah serta kuatnya sistem yang terbangun dalam skema eksploitasi sumber daya alam. Sektor kehutanan adalah salah satu sektor andalan grup usaha Tanoto dan Sampoerna juga.

Tentu saya tidak menuduh Tanoto dan Sampoerna pasti melakukan itu (bahkan harus fair kita akui grup Tanoto telah membayar Rp2,5 triliun kasus pajak dan beres). Cuma masyarakat perlu berpikir dalam matra yang lebih luas dan strategis. Bahwa di balik kegiatan sosial, ada proses bisnis perusahaan yang terjadi.

Saya sudah lihat Akta Yayasan Bhakti Tanoto Nomor 46/22 Januari 2020. Tercantum di situ nama SPA sebagai pendiri. Beliau adalah profesor akuntansi. Tapi juga Presiden Direktur RAPP (APRIL Group).

Kalau menyimak laporan Tempo 14 September 2019, beliau juga yang datang ke kantor Bappenas mewakili perusahaan untuk bicara tentang ibu kota baru.

Mengapa? Sebab kawasan pusat pemerintahan ibu kota baru akan berada di lahan seluas 5.644 hektare yang konsesinya dipegang PT Itci Hutani Manunggal (IHM) yang merupakan kelompok usaha Sukanto Tanoto. Konsesi berakhir pada 2042.

Sampoerna juga masih berurusan dengan negara. Ingat putusan PT National Sago Prima (NSP)—anak usaha PT Sampoerna Agro Tbk—yang diwajibkan membayar ganti rugi lingkungan hidup dan pemulihan lingkungan atas kasus kebakaran hutan di Riau total senilai Rp1,07 triliun oleh Mahkamah Agung. Apa kabarnya?

Pembahasan ini seolah melebar ke mana-mana tapi sejatinya tidak. Sebab kita melihat dari perspektif hubungan kekuasaan di antara para aktor. Kita melihat kegiatan kemanusiaan dari kacamata bagaimana bisnis dijalankan.

Ada reputasi yang hendak dibentuk. Ada lobi yang hendak dijalin. Ada pencatatan dan pembukuan yang sudah ditata. Ada window dressing... (kedok -red).

Ada aktivitas subtil (halus) yang tidak senyata sekadar yayasan terima uang miliaran. Ada banyak hal tersembunyi yang bisa kita pikir dan kaji berdasarkan prinsip Belajar Merdeka. Bukan Merdeka Belajar!

Tak semua seindah yang kita lumat dalam berita media. Selalu ada jejak dan lubang tersembunyi dalam kegiatan aktor-aktor kekuasaan. Membuat aplikasi semacam ojek daring, jutaan developer bisa melakukannya di Indonesia. Tapi memasukkan kelompok usaha Astra sebagai produsen hulu hingga hilir otomotif (produksi barang, asuransi, reasuransi, suku cadang, leasing, aplikasi daring, dsb) yang menyuntik Rp9 triliun untuk perusahaan platform digital, tak semuanya bisa.

Begitulah ketidakadilan berjalan. Begitulah bisnis bertahan.

26 Juli 2020

(By Agustinus Edy Kristianto)
Urusan jabatan menteri memang prerogatif presiden tapi di atas itu ada hukum. Boleh saja mengklaim sebagai orang baik...
Dikirim oleh Agustinus Edy Kristianto pada Minggu, 26 Juli 2020
Baca juga :