Ketika Pemeras dan Penyamun Berkuasa


[PORTAL-ISLAM.ID]  Plato berbicara tentang diktator dalam bukunya Republik. Para diktator akan muncul, ia pura-pura bertindak sebagai pelindung. Di awal kariernya, dia selalu tersenyum kepada siapapun yang dijumpainya. Bahkan ada yang masuk gorong-gorong untuk mencari simpati. Pura-pura sederhana untuk memunculkan rasa kasihan.

Tetapi pada tahap selanjutnya ia membuat rakyatnya melarat dengan menarik pajak. Memaksa rakyat mengabdi kepada kemauan dirinya setiap hari. Mencegah rakyat bersekongkol melawan dirinya.

Pada tahap ini kebebasan berbicara dilarang, kritik dibalas caci maki oleh penyembah kekuasaan, para budak kekuasaan bertindak sewenang-wenang dengan perlindungan penegak hukum yang bebal. Proteksi kepada oposisi dilakukan.

Akhirnya banyak orang yang memilih mencari celah yang aman, bahkan ada yang jual kebenaran dengan sogokan jabatan dan uang dari kekuasaan. Di ujungnya semua kejahatan penguasa didiamkan.

Dalam sejarah ada yang namanya Rafael Trujillo dari Republik Dominika. Menjelma sebagai diktator pada usia 31 tahun. Menjadikan negara feodal milik pribadi.

Rakyat dibuatnya sengsara. Memeras rakyat dengan cara kekerasan. Menaikkan harga setinggi langit. Memungut pajak semaunya. Memaksa memotong gaji para karyawan sekedar untuk biaya cuci pakaian miliknya. Mengangkat dirinya sebagai generalissimo.

Dengan julukan sang pemimpin agung, ia membuat dua ribu patung dirinya. Menulis kata Trujillo dan Tuhan di gedung-gedung. Cambuk-cambuk kawat disediakan untuk rakyat yang protes.

Nafsu kekuasaan yang nekat seperti itu tentu tidak akan pernah berhenti dengan kematian para penjahat di masa lalu. Bisa saja terulang kembali di masa yang akan datang. Tentu sejarah adalah pengulangan yang diperbaharui.

Motif para pemeras ini tentu berbeda. Begitu juga di zaman yang sudah maju dalam sistem demokrasi yang masih labil seperti Indonesia. Banyak para "pengolah" dan para pemburu rente, serta pemain proyek yang dilegitimasi atas nama demokrasi untuk menjadi "bajingan" selanjutnya dalam sejarah kekuasaan.

Gejala kebangkitan pemeras ini sudah sangat tampak di Indonesia. Ada berbagai macam kasus yang bisa menjadi bukti bahwa pemerasan itu telah berjalan begitu masif. Entah apa motifnya, yang pastinya pemerasan tengah berlangsung secara sistematik dan brutal.

Para pemburu rente, mafia dan para perampok berdasi mendapatkan kedudukan yang kokoh untuk memeras rakyat dengan sistem yang telah disediakan.

Indonesia tengah merawat seni pemerasan yang dilakonkan oleh para penjahat ini. Munculnya kasus-kasus besar di awal 2020 dan kasus-kasus suap menyuap dan korupsi semenjak beberapa tahun terakhir menandakan bahwa pemerasan itu kian hari kian besar.

Orang-orang dekil dan kotor dapat menjadi direktur BUMN, dapat menjadi pemegang kebijakan dan kuasa anggaran. Persis yang dikatakan Jules Archer dalam bukunya "Diktator". Orang-orang dekil dan gelandangan, para geng-geng perusuh di kota dan para pengemis kantoran dengan proposal dapat kedudukan yang baik.

Mereka adalah para pemeras yang akan membawa petaka bagi rakyat.

Skandal Besar

Akibat para mafia rente ini, muncul berapa kasus korupsi besar awal tahun ini. Ada kasus Jiwasraya skandal besar yang mengerikan. kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya yang dinilai merupakan skandal terbesar kedua setelah kasus BLBI di rezim sebelumnya.

BUMN asuransi jiwa ini mengalami gagal bayar sebesar 13 T dan meminta talangan negara 30 T lebih untuk menyehatkan diri. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengklaim persoalan keuangan yang tengah mendera PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bersifat gigantik atau berskala besar. Bahkan, jika tidak terselesaikan, maka dampaknya akan sistemik.

Terdapat indikasi tindakan korupsi yang mengakibatkan keuangannya terus defisit. Salah satu yang menjadi fokus BPK adalah terkait penempatan investasi Jiwasraya itu sendiri yang menyebabkan keuangan perusahaan tertekan. Kerugian dari investasi saham yang dilakukan Jiwasraya sebesar Rp 4 triliun, sedangkan reksa dana berbasis saham Rp 6,4 triliun.

Pada tahun 1998 Jiwasraya pernah mengalami keterpurukan. Menurut Said Didu, keuangannya membaik tahun 2009 sampai 2014.

Dahlan Iskan yang juga mantan BUMN dalam catatannya menyebut Jiwasraya merdeka tahun 2012. Merdeka keluar dari beban triliunan. Meski Dahlan sebagai Menteri BUMN pada waktu itu menolak menyuntik modal, tetapi ada keseriusan untuk mencari solusi atas masalah yang menimpa perusahaan asuransi itu. Akhirnya keluar dari keterpurukan.

Namun tahun 2018 Jiwasraya sedang kesulitan likuiditas. Perusahaan bahkan menunda pembayaran klaim kepada nasabah atas produk saving plan sebesar Rp 802 miliar pada Oktober 2018. Ekuitas pada 2018 tercatat negatif sebesar Rp 10,24 triliun pada 2018. Selain itu, perusahaan juga membukukan defisit sebesar Rp 15,83 triliun.

Kasus PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) kini dirundung kerugian yang diduga mencapai Rp 10 triliun karena pengelolaan investasi berupa saham yang mengalami penurunan nilai.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menyebutkan ada kesamaan antara kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

"Iya, modus operandinya sama, bahkan ada mungkin beberapa orangnya yang sama. Tapi nantilah. Yang penting itu akan dibongkar karena itu melukai hati kita semua," kata Mahfud.

Dua perusahaan asuransi pelat merah itu mengalami berbagai masalah keuangan akibat korupsi. Dengan motif yang sama. Menurut saya, kalau ditelusuri secara serius, maka akan dapat kita temukan permainan oligarki naga yang menguasai banyak kekayaan dan aset di Indonesia. Ada orang besar yang terlibat dalam kasus ini. Ini skandal, maka tangkapannya besar kalau mau diproses secara jujur dan benar.

BUMN: Lampu Merah

Tidak hanya terpaan korupsi, BUMN pun sedang mengalami masalah serius. Tahun 2016 utang BUMN mencapai Rp 2.263 triliun, lalu pada 2017 melonjak menjadi Rp 4.830 triliun. Sementara pada 2018 meningkat tipis menjadi sebesar Rp 5.271 triliun.

Hal yang mengkhawatirkan pada 2018 rasio utang terhadap aset telah mencapai 68 persen. Maknanya sebagian besar (68 persen) aset yang dimiliki BUMN dibiayai dengan utang. Jika kondisi keuangan ini tidak dikelola dengan baik, maka dikhawatirkan BUMN akan terperangkap dalam kesulitan likuiditas.

Berdasarkan data Kemenkeu per 31 Desember 2018, yang dihimpun Kontan.co.id ada sembilan BUMN aneka industri terancam gulung tikar. PT Dirgantara Indonesia (Persero) memiliki skor negatif 0,84 dan PT Pindad (Persero) ada di level 1,02. PT Industri Kereta Api (Persero) 0,92, dan PT Barata Indonesia (Persero) 0,83, PT Krakatau Steel (Persero) 0,47, PT Dok dan Kodja Bahari (Persero) negatif 1,72, PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero) negatif 1,23.

Sedang skor PT Industri Kapal Indonesia (Persero) 0,89 dan PT PAL Indonesia (Persero) negatif 0,1. Untuk BUMN pertanian yang masuk zona merah alias financial distress adalah PT Sang Hyang Seri (Persero) dengan skor negatif 14,02, PT Perkebunan Nusantara (Persero) sebesar 0,35, dan PT Pertani (Persero) 0,82.

PT Garuda Indonesia (GIIA), berdasarkan hasil temuan/pemeriksaan Kemenkeu, OJK, dan BPK dinyatakan terdapat pelanggaran laporan keuangan pada tahun buku 2018. Buntutnya, GIIA mempublikasikan ulang laporan keuangan (restatement) yang menyajikan hasil revisi laporan laba/rugi. Semula GIIA mencatatkan laba sebesar 5,01 juta dolar AS, kemudian direvisi menjadi rugi sebesar 175,02 juta dolar AS (Rp 2,45 triliun).

Kerugian yang dialami oleh banyak BUMN disebabkan jumlah utang memperlihatkan utang jangka pendek lebih besar dari utang jangka panjangnya. Dalam kaidah keuangan posisi ini memiliki risiko tinggi default. Karena itu potensi kerugian akibat utang dan pengelolaan BUMN yang salah dapat menyebabkan sebagian besar perusahaan milik negara bangkrut.

Menurut saya ini adalah pengelolaan yang salah dan dipercayakan pula kepada orang yang salah. Akibatnya banyak masalah BUMN yang penuh dengan masalah keuangan. Karena yang ditunjuk untuk menjadi bos BUMN bukan ahlinya, melainkan "tenaga-tenaga liar" yang menjadi mantan tim sukses yang tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang baik untuk mengelola badan usaha tersebut.

Apalagi relawan-relawan politik, mantan pengolah dan pemain yang diberikan kepercayaan untuk mengurus kepentingan rakyat. Tidak berlebihan kalau kita menyebut BUMN menjadi sapi perah kepentingan.

Akibatnya Semua Mahal

Akhirnya, dari defisit ke defisit, kebangkrutan demi kebangkrutan ini yang menanggung beban adalah rakyat. Iuran BPJS kesehatan dipastikan naik. Kenaikan ini berlaku untuk seluruh peserta. Kenaikannya mencapai dua kali lipat.

Tentu ini sangat memberatkan bagi rakyat yang tidak mampu. Penyelenggara Jaminan Kesehatan ini juga terancam bangkrut akibat defisit keuangan yang besar. Untuk menyelamatkan itu, pemerintah hanya punya solusi yaitu menaikkan iuran BPJS. Artinya membebani masyarakat untuk membayar setiap bulannya dengan harga yang cukup mahal.

Begitupun dengan harga sejumlah barang dan jasa direncanakan naik di tahun 2020 ini. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%. Rokok ini adalah kemewahan terakhir rakyat yang ingin dirampas oleh pemalak itu. Pemalak ini adalah pemilik modal yang bersongkongkol dengan kekuasaan.

Tak hanya itu, tarif sejumlah ruas tol dipastikan naik pada 2020 ini. Sejumlah ruas jalan tol sudah diputuskan untuk dinaikkan. Kenaikan biaya ini merupakan langkah "pemalakan" terhadap rakyat.

Di tengah kehidupan rakyat yang sedang "melarat" hingga ketidakmampuan mencukupi kebutuhan biaya hidup seperti beras dan kebutuhan pokok lainnya, negara justru membuang ratusan ton beras busuk impor.

Negara begitu tega pada rakyat yang sedang kesusahan, sementara para cukong menikmati hasil itu dengan gelimpangan harta dan kemewahan, bahkan mereka sudah mulai menjadi petinggi dalam institusi negara.

Menanti Keruntuhan

Dalam kesusahan yang begitu luar biasa itu, korupsi, kolusi dan nepotisme kembali mendominasi kehidupan perpolitikan Indonesia. Keluarga besar Istana kini mulai melihat kesempatan "mumpung-mumpungan" untuk mendapatkan kekuasaan.

Korupsi partai politik, lemahnya institusi hukum, serta ketidakadilan hukum dan ekonomi membuat geram banyak pihak. Dalam kondisi yang demikian, negara sedang menghadapi krisis. Ekonomi amburadul, pengelolaan pemerintahan yang buruk serta kehidupan bernegara yang carut marut akibat kekuasaan yang kurang ide dan gagasan.

Situasi ini sangat buruk, bahkan akan membawa satu gejolak besar yang bisa meruntuhkan kekuasaan. Boleh saja mereka bagi-bagi kekuasaan, membentuk Badan atau lembaga yang banyak. Memperluas struktur organisasi kementrian, mengangkat wakil menteri dan lain-lain untuk politik balas budi.

Namun itu tidak akan mampu menghalau segala rintihan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Indonesia. Meski banyak orang yang telah menerima sogokan dan "uang diam" untuk mendiamkan segala kedzaliman penguasa.

Kekuasaan bisa menyenangkan pendukungnya, tetapi rakyat yang resah tidak akan tinggal diam, karena yang mereka butuh keadilan bukan kekuasaan, atau bagi-bagi kekuasaan.

Buah ini menurut saya sudah busuk, buah busuk tidak perlu dilempari, ia akan jatuh sendiri, dan waktunya makin dekat. Sebab krisis ekonomi akan semakin besar, krisis kepercayaan masyarakat semakin tinggi, krisis keadilan akan semakin meluas, dan krisis inilah yang akan menjatuhkan buah busuk kekuasaan itu.

Penulis: Furqan Jurdi

Baca juga :