HAYYA 'ALAL FALAH


HAYYA 'ALAL FALAH

Keadaan menggenting. Putusan final segera dibacakan. Hidup dan matinya perjuangan tergantung palu hakim. Kecemasan ini ada di kubu manapun, bukan hanya kita. Merekapun sama. Hanya bedanya, mereka dipandang lebih halal untuk cemas dan panas dibanding kita. Aparat adalah temannya. Bahkan bisa jadi komandonya juga sejalan. Kita?

Menunggu dan menunggu. Sudah lama, bahkan sejak kompetisi belum dimulai. Sampai sehari menjelang ketok palu belum juga ada aba-aba. Harus bagaimana, mesti seperti apa. Sementara untuk menjaga letupan yang dipersangkakan, tank-tank dan pagar berduri dipersilakan untuk dicicipi tanpa suara ke hadapan kita.

Kita butuh lisan ulama. Kita masih menunggu arahan sang jenderal. Diam dulu dibawah pohon sambil berdzikir dan memandangi aparat yang juga memandangi kita. Dalam pada itu, mengalir teks dalam hati.

"Sampeyan itu muslim mas, mestinya mendukung kami. Tapi kami paham bahwa kalian hanya menjalankan tugas".

"Maak, abaaang, kalau boleh jujur dan bersuara kami tak ingin ada disini. Kami iri dengan keringat kalian untuk negeri ini. Kami tahu bagaimana rusaknya didalam. Maafkan kami, yang terpaksa hanya mampu berdiri mengamati perjuangan saudara kami. Percayalah, batas kita hanya pagar ini. Kami lompati pagar ini, kami adalah kalian! Kami menjelma menjadi kalian wahai saudaraku!"

Aspal panas menyaksikan mereka.
Diinjak tanpa menjerit.
Menantikan darah dan keringat keduanya.
Ikut mencium asap senjata yang diperdebatkan, berkaret atau berlogam.

Kembali, bahwa..

Kita butuh api.
Pembakar semangat jiwa kebangsaan untuk negeri. Penyulut atma yang hampir mati. Menetesi tiap hati agar tak berjalan sendiri.

Terlalu lama menunggu dan hanya menerima perlakuan tidak adil. Lelah mengingatkan dengan lembut juga keras. Letih mencari keadilan tertinggi yang menyisip dalam berjilid-jilid aksi. Tapi nyatanya sampai meja hakim perubahan itu masih sebatas kesemogaan.

Dan kita belum tahu jika apa harus apa, jika begini harus begitu. Jangan buat ini dan hindari itu serta ingat soal anu. Ayo kita begini, mari kita begitu, atau selalulah lakukan itu sampai ada arahan terbaru.

Apaa?
Bagaimanaa?

Mungkin nanti, sudah diujung bibir
Perlu ketegangan yang berubah petir
Butuh titik nadir yang maha akhir
Seperti proklamasi, yang lahir di detik-detik akhir

Teks dan lirik ini meluruh hingga mata kalian setelah sholat berjamaah di subuh nan gelap menggulita. Bukan maksud apa, hanya memetik hikmah dari sang imam yang kadang ditunggu kehadirannya untuk memulai sholat. Persis penantian hari ini. Menanti dipimpin untuk memulai gerakan berjamaah.

Kita butuh imam
Kita butuh komando
Hayya 'alal falah

Untuk segera bertakbir meraih kemenangan!

Salam Kemenangan
Salam Indonesia Baru

26 Juni 2019

(By Yanto Hendrawan)

Baca juga :