KPK, PPATK & Satgas Hukum Milik Siapa?

Oleh: Nyoman Brahmandita*
Keberadaan berbagai lembaga negara non struktural kini semakin dipertanyakan efektivitasnya. Pasalnya KPK, PPATK, dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, saat ini lebih mirip sebagai barisan tameng pelindung kekuasaan, sekaligus senjata mematikan lawan-lawan politik kekuasaan.

Makin terlihat gamblang bahwa pembentukan lembaga-lembaga baru di luar kabinet memiliki muatan politik untuk melindungi kekuasaan. Ternyata, tidak semua lembaga-lembaga non struktural maupun lembaga pemerintah non kementerian itu terbukti memperbaiki keadaan.

Hanya di awal pembentukannya saja gembar-gembor semangatnya. Namun seiring perjalanan waktu, semangat itu mulai pudar. Dan yang lebih kental terlihat adalah adanya misi-misi politik untuk tujuan jangka pendek yang tidak ada manfaatnya bagi masyarakat.

Yang tersisa kemudian tinggal lembaga plang nama, dan jadwal rutin tahunan pengajuan anggaran operasional yang hanya menambah beban keuangan negara. Sementara, pada saat yang sama, prestasi dan kinerjanya tidak lebih baik dari lembaga kementerian negara yang ‘digantikan’ fungsinya.

Contoh paling nyata adalah keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi yang dibentuk dengan harapan besar untuk memberantas tuntas korupsi, pelan-pelan mulai terdistorsi. Padahal, sebagai lembaga ad hoc yang bersifat sementara, jatah hidup KPK memiliki batasan waktu.

KPK semula dibentuk untuk mempercepat pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya. Lembaga ini dibentuk karena kejaksaan dan kepolisian dianggap tidak mampu memberantas korupsi.

Bila insitusi kejaksaan dan kepolisian sudah mampu membabat korupsi, KPK pun lantas dibubarkan. Fungsi pencegahan, pemberantasan dan penindakan korupsi pun dikembalikan sepenuhnya kepada dua institusi itu.

Namun, toh KPK tidaklah sehebat yang diharapkan semula. Saat merebak kasus Cicak vs Buaya, dukungan masyarakat terhadap KPK sangat besar. Ketika itu, tampak bahwa KPK benar-benar milik rakyat.
Tetapi ketika harus menyelesaikan dugaan penyimpangan kewenangan dalam kasus Bank Century, KPK tiba-tiba impoten. KPK seperti hendak melindungi suatu kepentingan dengan segala macam dalih dan kilah. Kini KPK seolah bukan lagi milik rakyat, tetapi milik penguasa.

Perlindungan kepentingan itu tampak nyata saat KPK harus memeriksa mantan Gubernur BI Boediono dan mantan Ketua KSSK Sri Mulyani. Untuk melakukan pemeriksaan itu, KPK bahkan harus menggunakan berbagai istilah eufimisme.

Lebih lucu lagi, sebagai pemeriksa, KPK harus sowan ke kantor para terperiksa. Padahal ketika diperiksa sebagai saksi kasus korupsi biaya impor kereta api ex Jepang yang terjadi di Kementerian Perhubungan, Hatta Rajasa yang kini menjabat Menko Perekonomian bersedia datang ke kantor KPK.

Nah, sekarang KPK memberikan perlakuan istimewa kepada Sri Mulyani. Padahal Sri Mulyani dan Hatta Rajasa sama-sama menteri, dan sama-sama warga negara yang memiliki kedudukan sama di depan hukum.

KPK justru melakukan diskriminasi perlakuan hukum, sesuatu yang sesungguhnya sangat tidak pantas dilakukan penegak hukum. Diskriminasi ini justru memperlihatkan bahwa KPK hendak melindungi suatu kepentingan dan kekuatan besar di balik kasus Century.

Hal yang sebangun dan serupa terjadi pula pada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bayangkan, dalam kasus korupsi Gayus Tambunan dan Susno Duadji, PPATK sangat cekatan dan rajin membongkar data-data aliran sesat duit korupsi.

Tetapi ketika didesak DPR dan publik untuk membongkar aliran dana talangan Bank Century, PPATK dengan tegas dan kekeuh menolaknya, sembari berlindung di balik ayat-ayat kerahasian perbankan.

Penolakan PPATK membuka aliran dana talangan Bank Century itu justru semakin menegaskan peran lembaga itu sebagai tameng pelindung kepentingan besar yang bermain di belakang kasus Century.

Satgas Pemberantasan Mafia Hukum pun mengidap sindrom yang sama. Satgas yang salah satu anggotanya adalah Ketua PPATK itu, tampak memainkan strategi tebang pilih. Kasus yang diungkap lebih mirip aksi balas dendam atau mengalihkan perhatian masyarakat dari kelanjutan penangangan kasus Century.

Menilik kinerja lembaga-lembaga non struktural itu yang lebih mirip body guard untuk kepentingan kekuasaan, maka keberadaannya harus segera ditinjau ulang. Sebab pada dasarnya, lembaga-lembaga tersebut bukan alat-alat perlengkapan negara.

Seharusnya, alat perlengkapan negara adalah institusi yang bertindak untuk dan atas nama negara. Sebagai alat perlengkapan negara, lembaga-lembaga itu seharusnya juga menjalankan tugas-tugas negara.

Tetapi kenyataan justru menunjukkan kebalikannya. Lembaga-lembaga tersebut lebih mengakomodasi tugas-tugas untuk menjaga serta melindungi kepentingan dan keamanan pemerintahan berkuasa. Maka yang terjadi justru duplikasi dan distorsi fungsi-fungsi kementerian yang notabene merupakan alat-alat perlengkapan negara yang sebenarnya. [mdr]


*sumber: inilah.com
---
posted by: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :