
Sentilan itu menemukan relevansinya ketika KPK dengan tangkas menangkapi sejumlah anggota DPR yang diduga terlibat kasus korupsi. Terbaru—mudah-mudahan bukan terakhir—KPK menangkap anggota DPR dari Fraksi Bintang Reformasi (FBR) Bulyan Royan, yang diduga menerima suap dari pemenang tender pengadaan kapal patroli di Ditjen Perhubungan, Dedi Suwarsono. Kini, Bulyan dan Dedi telah resmi ditetapkan sebagai tersangka.
Adakah pihak lain di balik Royan dan Dedi? Hal inilah yang menjadi pertanyaan umum saat ini. Pertanyaan itu relevan diajukan karena beberapa saat setelah Komisi III DPR menggelar rapat tertutup dengan KPK, Ketua KPK Antasari Azhar memberi sinyal yang mengarah tindakan Bulyan lebih bersifat perorangan. Di kalangan legislatif sendiri muncul dugaan bahwa tidaklah mungkin Bulyan sendirian. Pasti ada orang di balik Bulyan.
Kita menilai pernyataan Antasari masih terlalu dini untuk tidak mengaitkan Bulyan dengan pihak lain. Kecurigaan itu menjadi beralasan ketika Komisi III DPR menggelar rapat tertutup dengan KPK. Adakah ini bentuk intervensi politik kepada KPK? Indonesia Corruption Watch (ICW) pun bersuara lantang soal itu. Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW Ibrahim Fahmi Badoh menganggap rapat tertutup itu justru mengindikasikan adanya intervensi. Bahkan ada arah untuk ‘menyelamatkan’ anggota DPR selain Bulyan.
Hemat kita, rapat tertutup yang digelar Komisi III-KPK memang mengundang spekulasi. Sebab, hal itu dilakukan di saat KPK sedang membidik anggota DPR yang diduga terlibat kasus korupsi. Publik seharusnya berhak tahu sejauh mana keseriusan KPK menelusuri keterlibatan anggota DPR. Sayangnya, hingga saat ini, publik tak pernah tahu isi rapat tersebut. Bahkan, kabarnya, semua anggota Komisi III telah disumpah untuk tidak membocorkan hasil rapat.
Mungkin saja dalam tata tertib DPR diatur perihal dimungkinkannya rapat yang bersifat tertutup. Tapi, kiranya tak bisa disalahkan bila muncul kecurigaan lantaran ‘timing’-nya tak tepat.
Meskipun soal intervensi politik itu dibantah pimpinan KPK, agaknya penjelasan yang menyatakan bahwa KPK tetap profesional belumlah cukup. Melainkan harus dibuktikan dengan tindakan.
Kalau kita hendak bandingkan antara kasus suap alih fungsi hutan di Bintan Kepulauan Riau, kasus alih fungsi hutan di Banyuasin Sumatera Selatan, kasus aliran dana BI, dan kasus pengadaan kapal patroli di Ditjen Perhubungan, sebenarnya ada kemiripan. Kasus tersebut memunculkan seorang tersangka anggota DPR. Kasus alih fungsi hutan di Bintan tersangkanya Al Amin Nur Nasution, kasus alih fungsi hutan di Banyuasin tersangkanya Sarjan Taher, kasus BI Hamka Yandhu (sedang Antony Zeidra Abidin mantan anggota DPR), dan kasus pengadaan kapal patroli tersangkanya Bulyan Royan. Bukankah korupsi selalu dilakukan secara ‘berjamaah’?
Inilah ‘PR’ berat yang harus dikerjakan KPK. KPK harus berani mengungkap keterlibatan orang lain di balik Al Amin Nur Nasution, Sarjan Taher, Hamka Yandhu dan Bulyan Royan. Bila tidak, justru akan menimbulkan kecurigaan bahwa memang harus ada seseorang yang menjadi ‘tumbal’ guna menyelamatkan lainnya. [kr/q - s]
Hemat kita, rapat tertutup yang digelar Komisi III-KPK memang mengundang spekulasi. Sebab, hal itu dilakukan di saat KPK sedang membidik anggota DPR yang diduga terlibat kasus korupsi. Publik seharusnya berhak tahu sejauh mana keseriusan KPK menelusuri keterlibatan anggota DPR. Sayangnya, hingga saat ini, publik tak pernah tahu isi rapat tersebut. Bahkan, kabarnya, semua anggota Komisi III telah disumpah untuk tidak membocorkan hasil rapat.
Mungkin saja dalam tata tertib DPR diatur perihal dimungkinkannya rapat yang bersifat tertutup. Tapi, kiranya tak bisa disalahkan bila muncul kecurigaan lantaran ‘timing’-nya tak tepat.
Meskipun soal intervensi politik itu dibantah pimpinan KPK, agaknya penjelasan yang menyatakan bahwa KPK tetap profesional belumlah cukup. Melainkan harus dibuktikan dengan tindakan.
Kalau kita hendak bandingkan antara kasus suap alih fungsi hutan di Bintan Kepulauan Riau, kasus alih fungsi hutan di Banyuasin Sumatera Selatan, kasus aliran dana BI, dan kasus pengadaan kapal patroli di Ditjen Perhubungan, sebenarnya ada kemiripan. Kasus tersebut memunculkan seorang tersangka anggota DPR. Kasus alih fungsi hutan di Bintan tersangkanya Al Amin Nur Nasution, kasus alih fungsi hutan di Banyuasin tersangkanya Sarjan Taher, kasus BI Hamka Yandhu (sedang Antony Zeidra Abidin mantan anggota DPR), dan kasus pengadaan kapal patroli tersangkanya Bulyan Royan. Bukankah korupsi selalu dilakukan secara ‘berjamaah’?
Inilah ‘PR’ berat yang harus dikerjakan KPK. KPK harus berani mengungkap keterlibatan orang lain di balik Al Amin Nur Nasution, Sarjan Taher, Hamka Yandhu dan Bulyan Royan. Bila tidak, justru akan menimbulkan kecurigaan bahwa memang harus ada seseorang yang menjadi ‘tumbal’ guna menyelamatkan lainnya. [kr/q - s]