Pangeran Diponegoro, Menikahi 8 Wanita-Pimpin Perang Jawa
Pangeran Diponegoro adalah salah satu pahlawan nasional dari Jogja. Putra Raden Mas Surojo dan Raden Ayu Mangkorowati ini lahir pada 11 November 1785 dengan nama Raden Mas (RM) Mustahar, kemudian berubah menjadi RM Ontowiryo.
Berikut biografi singkat Pangeran Diponegoro.
Setelah ayahnya naik takhta menjadi raja Keraton Jogja Sri Sultan Hamengku Buwono III, RM Ontowiryo pun mendapat gelar Pangeran dan disebut Pangeran Diponegoro. Hingga kini, Pangeran Diponegoro dikenal karena memimpin Perang Jawa tahun 1825-1830, perang terbesar yang dialami Belanda selama menduduki Nusantara.
Berikut garis waktu (timeline) biografi Pangeran Diponegoro.
1. Menikahi Delapan Wanita
Sejarah mencatat Pangeran Diponegoro menikahi delapan wanita semasa hidupnya. Istri pertamanya, Raden Ayu (RA) Retna Madubrongto, putri Kyai Gedhe Dadapan, dari desa Dadapan, sub distrik Tempel, dinikahi pada tahun 1803.
Pada 1807, Pangeran Diponegoro menikahi istri keduanya yaitu Raden Ajeng Supadmi atau RA Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang. Setahun kemudian, 1808, ia menikah dengan istri ketiganya RA Retnodewati.
Setelah istri pertama dan ketiganya meninggal, dalam perjalanan ke wilayah timur Pangeran Diponegoro menikah dengan istri keempatnya Raden Ayu Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko.
Setelah melahirkan anaknya dalam kerusuhan di Madiun, Raden Ayu Citrowati meninggal. Anak Pangeran Diponegoro tersebut kemudian dibawa Ki Tembi, sahabat Pangeran Diponegoro. Anak itu diberi nama Singlon yang berarti nama samaran.
Pada 1814, Pangeran Diponegoro menikahi istri kelimanya RA Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dan Ratu Maduretno (putri HB II). Setelah dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, pada 1828 Pangeran Diponegoro menikahi RA Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
Adapun istri ketujuh ialah RA Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan. Sedangkan istri terakhirnya, RA Retnakumala, adalah putri Kyai Guru Kasongan.
2. Tentang Perang Jawa 1825-1830
Perang besar ini berawal saat Belanda terlalu banyak campur tangan dalam urusan kerajaan. Penyalahgunaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman pada 1821 yang mengakibatkan petani lokal menderita itu juga disebut sebagai salah satu pemicunya.
Puncaknya, Pangeran Diponegoro tidak terima saat Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api yang melewati makam leluhurnya. Di Gua Selarong di wilayah perbukitan Guwosari Pajangan Bantul, Pangeran Diponegoro menyusun markasnya.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul sebagai markas sekaligus tempat perlindungannya. Perang yang berlarut selama lima tahun itu tentu memakan banyak biaya.
Meski demikian, rakyat Jawa dari kalangan petani hingga priyayi yang dipimpinnya rela menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya. Pangeran Diponegoro juga dibantu 15 pangeran lain dan Kyai Mojo yang menjadi pemimpin spiritual pertempuran.
Selain itu, Pangeran Diponegoro juga bekerja sama dengan Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. Meski demikian, perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro berangsur melemah setelah Belanda menyerang secara besar-besaran.
Pada tahun 1829, Kyai Mojo ditangkap. Kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah.
Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang.
Pangeran Diponegoro terpaksa menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan.
Pangeran Diponegoro kemudian ditangkap dan diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar hingga wafat di Benteng Rotterdam Makassar tanggal 8 Januari 1855 (dalam usia 70 tahun). Pangeran Diponegoro menjalani pengasingan/penjara selama 25 tahun (1830-1855). Seorang mujahid yang syahid di penjara.
Usai perang Diponegoro, sejak 1832, seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III. Ia justru hendak menyerang seluruh kantor Belanda yang berada di kota-kota keresidenan Madiun dan Jawa Tengah seperti Wonogiri, Karanganyar yang banyak dihuni oleh Warok.
(Sumber: Detik)