Terlilit Utang UKT: Mahasiswa di Bandung Jadi Buruh Pabrik dan Jualan Keripik Singkong di Kampus

Tangan IQWAM, bukan nama sebenarnya, bergerak lincah menuang tiga jenis bumbu ke dalam toples plastik besar berisi keripik singkong. Pemuda bertubuh kurus dan berambut gondrong itu kemudian menggoyang toples ke atas lalu ke bawah, mencampur keripik dengan bumbu racikannya sampai merata.

Berjam-jam Iqwam duduk di depan berkilo-kilo keripik singkong dan bumbu gurih pedas, tidak menghiraukan udara pengap akibat hujan yang batal turun pada awal Januari 2024. Sesekali dia mencicipi keripik racikannya atau sekadar duduk melepas bosan sembari mengisap rokok di depan kolam yang menampung ribuan ikan.

Iqwam tidak punya pengalaman membuat singkong menjadi keripik kemasan, tapi dia rela belajar dan memulai usaha rumahan itu untuk melunasi utang Uang Kuliah Tunggal (UKT). 

Kesempatan untuk mengolah singkong jadi keripik datang dari salah satu dosennya di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada November 2023, setelah dia berhenti jadi pengemudi ojek online. 

“Kebetulan kenalan bapak [dosen] punya bahan baku, dia minta saya mengolahnya jadi keripik buat dijual,” katanya sembari mengemas keripik hasil racikannya.

Menjadi pedagang keripik singkong bukan satu-satunya pekerjaan yang pernah dijalani Iqwam. Sebelum menyandang status mahasiswa, pemuda asal Baleendah, Kabupaten Bandung, itu sempat bekerja di pabrik cokelat selama 1,5 tahun. Upah kerjanya dia kumpulkan untuk mendaftar kuliah Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Bandung pada 2020. UIN dikenal sebagai perguruan tinggi negeri dengan UKT termurah.

Namun, semurah-murahnya, Iqwam tetap kesulitan membayar UKT, apalagi dia gagal dapat beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP) karena kendala usia. 

Iqwam dan kedua saudaranya lahir dari keluarga miskin. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka hanya mengandalkan penghasilan ayahnya yang membuka kios servis dan barang bekas di Cihapit, Kota Bandung. 

“Bapak sempat melarang kuliah, khawatir biayanya, tapi saya tetap ingin melanjutkan kuliah,” ungkapnya.

Tekad Iqwam menjadi orang pertama yang menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi pun meluluhkan hati orangtuanya. Meski telah mengantongi restu, alumni SMA 1 Baleendah itu sadar dirinya harus banting tulang untuk membiayai kuliahnya sampai selesai.

Dalam hitungan kasar, Iqwam membutuhkan Rp18.896.000 untuk menyelesaikan kuliah hingga delapan semester. Sayangnya, upah kerja di pabrik cokelat hanya bisa menyokong biaya kuliah hingga semester tiga, apalagi sebagian penghasilannya digunakan untuk kebutuhan keluarganya.

Alhasil, saat memasuki akhir semester tiga, Iqwam mulai ketar-ketir karena tabungannya menipis. Padahal dia harus segera mengisi kartu rencana studi (KRS). Berbagai usaha telah dilakukan, tapi dia tak kunjung mendapatkan uang.

Ia tak tahu harus berbuat apa jika menghadapi masalah UKT. Apa yang harus dilakukan, melapor ke mana, apakah ada kemungkinan keringanan? Semuanya buntu. Satu-satunya yang tebersit adalah cuti kuliah. Baginya, cuti dan kembali bekerja adalah pilihan paling masuk akal.

Sebelum cuti jadi pilihan, ia dibantu teman-temannya bertemu dengan pihak kampus untuk meminta keringanan. Tapi, alih-alih dapat keringanan, pihak kampus malah memojokkannya. 

Sekretaris jurusan kala itu meminta Iqwam mengurungkan niat cuti. Alasannya, Iqwam tetap harus membayar penuh uang kuliah meski tidak mengikuti perkuliahan selama satu semester.

“Kan, saya cuti karena mau cari uang buat bayar kuliah,” ungkapnya sambil tertawa getir.

Buntutnya, Iqwam memilih cuti meski sempat mendapat tawaran pinjaman Rp500 ribu dari Dekan III. Baginya, kembali bekerja sebagai karyawan pabrik lebih baik ketimbang harus menerima pinjaman tersebut. 

Apalagi saat tawaran pinjaman itu datang, Iqwam dituntut untuk mencari kekurangan UKT sebesar Rp1.862.000 dalam waktu beberapa jam sebelum pembayaran ditutup. 

“Akhirnya cuti satu semester tapi terhitungnya jadi utang,” ungkap Iqwam. 

Beberapa kali Iqwam nyaris menyerah untuk tidak melanjutkan kuliah, tapi dorongan sang ibu kembali membangkitkan niat pemuda 24 tahun itu untuk bekerja lebih keras dan menyelesaikan kuliah.


Baca juga :