Catatan Agustinus Edy Kristianto:
Saya amati perkembangan kasus BTS Kominfo, sedikit sekali yang bahas tentang cawe-cawe perusahaan BUMN dalam proyek yang disebut merugikan negara Rp8 triliun lebih itu.
Pemberitaan media massa tak banyak ke arah situ.
*
“Nyanyian” eks Menkominfo JP (Johnny G. Plate) —jika betul terjadi—memang bakal enak dinikmati, apalagi sebagai tontonan politik.
Anda tentu berharap mendengar kicauan tentang parpol/politisi siapa saja yang terima uang hingga cerita tentang suami seorang anggota DPR yang diduga terseret kasus BTS.
Tapi saya agak ragu!
Pertanyaannya adalah, selain JP, siapa lagi yang akan bersaksi (ingat, satu saksi bukan saksi).
Apakah kesaksiannya berkualitas (didukung pembuktian yang kuat sesuai KUHAP).
Apakah logika/teori kasusnya masuk akal dan tidak kontradiktif, mengingat pihak JP mendalilkan pembelaan bahwa sebagai menteri, ia hanya berperan administratif (jika demikian adanya, administratif belaka, bagaimana ia mengetahui aliran dana, bukan?).
Jika JP merasa yakin penahanan dan penetapan tersangkanya bermasalah, mengapa ia tak mainkan praperadilan saja.
Bagaimana jika pihak JP berpikir lebih baik melokalisir kasus sebatas urusan Rp500 juta, percepat sidang dan putusan, pastikan tak ada pengembalian kerugian negara dan pencabutan hak politik, urus remisi dan pembebasan bersyarat, bikin nyaman di dalam dan luar penjara…
Lalu beberapa tahun kemudian, selepas pemilu, ia akan keluar, menjadi “manusia baru” dan membagikan pengalaman kepada kita lewat podcast di Youtube tentang pentingnya ketabahan, ketulusan, dan kerja keras dalam berpolitik.
Cuaks!
*
Bicara konkret saja.
Follow the money!
Orang lupa, per akhir bulan ini, setidaknya 23 orang yang diduga terlibat korupsi BTS akan berakhir masa pencegahan ke luar negerinya.
Mereka dicegah pada 25 November 2022, 23 Desember 2022, dan 26 Desember 2022 untuk masa waktu enam bulan.
Dalam daftar cegah ke luar negeri itu salah satunya ada nama Bastian Sembiring (BS)—Direktur Utama PT Infrastruktur Telekomunikasi Indonesia (Telkom Infra)—dan LH sebagai CEO PT Fiberhome Technologies Indonesia.
Telkom Infra adalah anak perusahaan BUMN Telkom. 294.999 lembar saham (Rp294.999.000.000) Telkom Infra dikuasai Telkom. Sisanya hanya 1 lembar (Rp1.000.000) atas nama Hery Susanto (Akta 5 Desember 2022).
Dalam proyek BTS, Telkom Infra membentuk kemitraan dengan perusahaan China bernama PT Fiberhome Technologies Indonesia (FTI).
Saya lihat Akta 9 September 2021, FTI adalah perusahaan PMA yang semua pengurus dan pemegang sahamnya berdomisili di China.
Mayoritasnya sebanyak 990.000 lembar senilai Rp8,6 miliar dikempit Wuhan Fiberhome International Technologies Co., Ltd. Sisanya sebanyak 10 ribu lembar dipegang Li Qing (direktur).
Dirut FTI adalah Huang Liang.
Bersama Li Qing dan Bastian Sembiring, ketiganya sudah masuk daftar cegah.
👉Sampai sini bisa dicermati, dalam daftar enam tersangka (per status ini dibuat), tak ada seorang pun dari pihak BUMN/FTI (menteri hingga pihak Huawei sudah tersangka).
*
FTI adalah pemenang lelang Paket 1 (Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimantan) dan Paket 2 (Sulawesi dan Maluku) proyek BTS senilai Rp9,5 triliun. Kontrak diteken 29 Januari 2021.
Sisanya Paket 3, 4, dan 5 dimenangkan Aplikanusa Lintasarta, Huawei, PT SEI, IBS, dan ZTE. Nilai totalnya juga gede Rp18,8 triliun. Kontrak diteken 27 Februari 2021.
Selanjutnya kita semua tahu, proyek ini menjadi perkara yang bergulir di Kejaksaan Agung (saya dengar awalnya masuk di Ombudsman, kemudian dilakukan audit oleh BPK dan BPKP).
Banyak temuan muncul di Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Pengelolaan Belanja Tahun Anggaran 2021 pada Kemenkominfo (Nomor: 40/LHP/XVI/01/2022 tanggal 31 Januari 2022).
Dua temuan ini penting:
1. Status FTI sebagai pemenang proyek tidak memenuhi kualifikasi sebagai technology owner sebagaimana dokumen prakualifikasi. Menurut BPK, FTI memiliki perjanjian dengan Datang Mobile Communications Equipment Co., Ltd (DT) di mana ternyata FTI hanya ditunjuk sebagai DISTRIBUTOR oleh DT untuk perdagangan produk DT di Indonesia;
2. Pengalaman pembangunan BTS dan infrastruktur pendukungnya yang disampaikan oleh FTI tidak sesuai persyaratan dalam dokumen prakualifikasi. Menurut BPK, yang disampaikan bukanlah pengalaman FTI melainkan pengalaman/kontrak antara DT dan China Mobile Communication Group—sementara DT itu hanya pemegang 6,35% saham Wuhan Fiberhome (pemegang 99% saham FTI).
👉Rumor di luar berkas, saya dengar, pengendali konsorsium FTI adalah seorang pengusaha telekomunikasi yang perusahaannya mengerjakan mayoritas proyek BTS yang dimenangkan FTI (1.019 dari 1.493 BTS alias 68%).
Orang itulah pengendali FTI sebenarnya (orang lapangan sudah pada tahu lah).
Yang saya khawatir adalah kemungkinan terjadinya pilih-pilih bulu dalam pengusutan kasus ini.
Ada yang dilindungi: mungkin si pengendali dan petinggi BUMN telekomunikasi.
*
Jika cegah tak diperpanjang, ada pihak yang mungkin lari ke luar negeri.
Jika kasus dilokalisir hanya di masalah Rp500 juta, besar kemungkinan ada pihak yang “membiayai” untuk membuat tanggul supaya tak melebar.
Nilai total anggaran proyek ini sangat besar mencapai Rp28 triliun. Sangat mungkin bisa disisihkan sebagian untuk biaya perang dan evakuasi.
Mengapa BUMN perlu jadi sorotan, sebab bermain proyek bukanlah fungsi dan tujuan BUMN dibentuk. BUMN dibentuk untuk salah satunya membantu orang miskin.
Perkembangan terkini memperlihatkan Dirut Telkom Infra yang dicegah itu (BS) kini telah digantikan orang lain.
Komisaris Utama Telkom Infra ketika proyek ini berlangsung malah sudah dipromosikan dan saat ini menjadi salah satu direktur Telkom.
Saya lihat pola permainannya, “khas sekali”.
Telkom punya catatan cukup impresif dalam urusan “penanganan” perkara.
Lihatlah setidaknya 15 tahun ke belakang, kasus-kasus berikut ini:
Kasus MPLIK (Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan) yang ditangani Kejagung.
Kasus investasi PT PINS (anak Telkom) Rp1,5 triliun di Tiphone yang dipegang KPK.
Kasus yang berkaitan dengan program sinergi new sales broadband senilai Rp300 miliar yang dipegang Polda Metro jaya.
Skandal investasi Telkomsel di GOTO Rp6,4 triliun—yang sering saya tulis dan sudah lapor ke KPK—yang mana kakak Menteri BUMN adalah pemegang saham dan komisaris GOTO.
(Ada satu kasus lagi yang sedang ditangani Kejagung, yang perlu diawasi, yakni dugaan korupsi proyek PT Graha Telkom Sigma yang diduga merugikan negara Rp282 miliar lebih. Dalam kasus ini sudah ada 8 tersangka).
Jadi, jika sekarang ada lagi kasus yang menyebut dugaan keterlibatan anak perusahaan Telkom, berkaca dari pola 15 tahun itu, kita bisa kira-kira ujungnya bakal seperti apa.
Saran saya untuk percepatan reformasi hukum Indonesia: perbanyaklah mata kuliah “penyelesaian kasus secara adat dan konkret” di semua fakultas hukum.
Tak usah munafik.
Kenyataannya peradaban negara ini masih sebatas itu.
BUMN adalah sapi perah.
Hukum adalah haha-hihi.
Tak mau dianggap demikian?
Silakan para penegak hukum membuktikan hal yang sebaliknya.
Salam.
(fb penulis 14/06/2023)