UNTUK APA KEKUASAAN?

Untuk Apa Kekuasaan?

Oleh: Nuim Hidayat*

Banyak orang ingin jadi presiden. Banyak orang ingin jadi menteri. Banyak orang ingin jadi anggota DPR atau DPRD.

Cita-cita ‘mempunyai kekuasaan’ itu baik. Tapi sayangnya banyak orang tidak tahu untuk apa kekuasaan itu dipergunakan. Banyak orang menggunakan kekuasaan hanya digunakan untuk memenuhi ambisinya. Agar ia mendapat uang banyak, agar ia mendapat kedudukan terhormat, agar ia dimana-mana disanjung, agar lawan takluk kepadanya dan seterusnya. 

Karena tidak tahu untuk apa kekuasaan itu digenggam, akhirnya kekuasaan yang digenggam tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Atau kekuasaan yang digenggam tidak banyak berarti. Baik bagi dirinya maupun bagi orang banyak.

Sebagai Muslim, tentu kita tidak ingin kekuasaan hanya untuk memenuhi ambisi pribadi atau ambisi kelompok yang mendukung kita. Kita ingin menggunakan kekuasaan itu untuk mencapai ridha Allah. Mennggapai ridha Yang Maha Berkuasa di atas segalanya.

Untuk memahami hal ini, maka kita harus menelaah al Quran, untuk apa sebenarnya kekuasaan itu dipegang.

Dalam al Quran surat al Hajj 41, Allah SWT berfirman, 

”(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”

Al Quran menggariskan, pertama kekuasaan itu untuk mengajak manusia melaksanakan shalat. Apa maknanya? Maknanya agar orang-orang yang dipimpinnya itu sadar bahwa kekuasaan manusia adalah terbatas. Kekuasaan manusia itu kecil disbanding kekuasaan yang dimiliki Allah. Bahkan sang penguasa sendiri tidak bisa menghindarkan dirinya dari sakit atau kematian sewaktu-waktu.

Maka al Quran mengingatkan sang penguasa dan rakyat agar melaksanakan shalat. Agar menjaga hubungan sebaik-baiknya dengan Allah. Dan hanya dalam Islam lah orang diperintahkan menjaga hubungan dengan Tuhannya dalam lima waktu (yang ditentukan). Dalam agama selain Islam, ibadah tidak jelas waktunya. Mungkin cuma seminggu sekali atau mungkin cuma berdoa saja yang tidak jelas waktunya.

Dan juga hanya dalam Islamlah, tata cara shalat (menjalin hubungan dengan Tuhan) diajarkan secara mendetail oleh Nabi. Baik gerak maupun bacaannya. 

Shalat adalah hal yang terpenting dalam hidup. Rasulullah saw mengajarkan agar anak sedari kecil diajar untuk menjalankan shalat. Jika umur sepuluh tahun masih bandel tidak mau menjalankan shalat, ‘boleh dipukul dengan pukulan yang mendidik.’  

Ayah atau ibu kepada anak harus mengajarkan shalat, begitu pula pemimpin kepada rakyatnya harus mengajarkan shalat. Rakyat harus diajak menyembah Tuhan yang benar. Jangan biarkan rakyat berbuat syirik, menyembah patung, menyembah salib dan lain-lain. Rakyat harus diajak menyembah Allah SWT Tuhan yang benar, Tuhan yang menguasai dan mencipta alam semesta ini.

Jadi tugas pertama seorang pemimpin kepada rakyatnya, bukan menyejahterakan ekonomi, bukan. Bukan memakmurkan rakyatnya. Tapi tugas pemimpin yang pertama, sesuai amanah al Quran, adalah mengajak rakyat menyembah Tuhan yang benar. Mengajak rakyatnya shalat lima waktu.

Shalat lima waktu ini adalah perintah Allah yang istimewa.  Karena ia diwajibkan ketika Rasulullah melakukan isra’ mi’raj. Sebuah perjalanan menuju Allah yang ‘di luar akal manusia.’

Walhasil, bila hubungan dengan Tuhannya bagus, insya Allah hal-hal lainnya yang menyangkut masalah keduniaan juga bagus, alias mudah diatasi.

Karena itu, Al Quran menempatkan tugas memakmurkan rakyat ini tugas yang kedua. Yaitu menegakkan zakat. Kenapa al Quran menggunakan kata zakat bukan pajak? Ya karena hanya dengan zakat (plus infak) rakyat bisa sejahtera.  Pajak tidak bisa menyejahterakan. Dalam dunia pajak yang terjadi –seperti kini kita saksikan—yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Petugas-petugas pajak banyak yang korup dan memperkaya diri sendiri.

Bila pajak ‘ditarik untuk seluruh rakyat’, maka  zakat hanya untuk orang kaya. Zakat hanya untuk orang-orang yang mampu. Mereka yang miskin atau tidak mampu, diberi zakat. Selain zakat, pemimpin sebuah negara juga harus menggalakkan infak, menggalakkan sedekah.

Tentu perintah zakat atau infak ini akan efektif, apabila pemimpin itu sendiri memberi contoh. Bila pemimpinnya berfoya-foya memperkaya diri sendiri, malas zakat dan sedekah, maka tidak mungkin perintah zakat ini efektif di masyarakat. Bila pemimpinnya suka berzakat atau bersedekah maka rakyat akan mengikutinya.

Kebiasaan zakat atau sedekah ini akan membuat pemimpin empati kepada rakyat miskin. Ia tidak akan menumpuk kekayaan baik bagi diri, keluarga atau kelompoknya. Seperti kita banyak lihat pemimpin sekarang.

Pemimpin itu akan dengan senang hati hidup sederhana. Ia menangis kalau rakyatnya ada yang tidak makan, tidak punya rumah atau tidak bisa menuntut ilmu. Ia empati kepada rakyat miskin, rakyat jelata. Bukan empati kepada rakyat yang kaya sebagaimana banyak pemimpin sekarang.

Inilah rahasianya negara itu makmur. Sebagaimana kita saksikan di negara Madinah di masa Rasulullah, atau di masa Khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz. Rasulullah selalu perhatian kepada orang miskin tiap hari. Begitu juga dengan dua khalifah yang mulia itu.

Dua khalifah atau dua Umar itu, hidupnya sederhana, padahal saat keduanya memerintah, baitul mal kaya raya.  Bandingkan dengan banyak pemimpin sekarang. Mereka tahu negara sedang kosong bahkan minus kasnya, tapi mereka terus menerus hidup bermewah-mewah. Kemewahan dirinya, keluarga dan kelompok kecilnya.

Dengan kehidupan sederhana dan empati pada orang miskin yang ada pada diri pemimpin, maka rakyat akan melihat dan mencontoh tingkah laku pemimpin itu.  Karena itu kehidupan adil dan makmur dapat terlaksana di negeri itu.

Kehidupan adil dan makmur tidak mungkin terlaksana bila para pemimpin negara itu hidup berfoya-foya, sementara jutaan rakyatnya menderita dalam kemiskinan.

Apa tugas pemimpin berikutnya yang diamanatkan al Quran? Amar makruf nahi mungkar. Menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Apakah yang disebut kebaikan atau makruf itu? Semua hal yang diperintahkan Allah dan RasulNya adalah baik. Maknanya seorang pemimpin berkewajiban menyuruh rakyatnya –tentu dirinya sendiri dulu- agar taat kepada Allah dan RasulNya. Menyuruh rakyatnya ‘membaca syahadat’ (masuk islam), melaksanakan shalat, zakat, puasa, jujur, memahami Al Quran, menyayangi orang miskin, dan lain-lain.

Apakah yang disebut keburukan atau kemungkaran? Semua hal yang dilarang Allah dan RasulNya adalah buruk. Zina, mencuri, syirik, membunuh tanpa haq, minuman keras, judi dan sejenisnya adalah buruk.

Pemimpin harus sekuat tenaga untuk menghilangkan kemungkaran itu.  Tentu hal ini bukan tugas ringan. Pemimpin harus bersama rakyat, terutama dengan ulama dan kaum intelektual mencegah kemungkaran ini bersama.

Tentu nahi mungkar ini akan mendapat pertentangan dari orang-orang yang hobinya berbuat dosa besar. Tapi dengan tekad kuat para pemimpin, insya Allah kemungkaran ini bisa dijauhkan dari masyarakat.

Walhasil, bila pemimpin bisa melaksanakan tiga amanat penting dari Al Quran ini, insya Allah negara yang adil makmur dan diridhai Allah SWT bisa tercapai. Yaitu pemimpin mesti mengajak rakyatnya menegakkan shalat, menegakkan zakat dan menegakkan amar makruf nahi mungkar. Wallahu azizun hakim

*Dosen Akademi Dakwah Indonesia Depok

Baca juga :