Kenapa Masyarakat Indonesia Demen Banget Film Horor?

Kenapa Masyarakat Indonesia Demen Banget Film Horor?

Film horor jadi salah satu genre yang difavoritkan masyarakat Indonesia. Salah satu momen kemunculan film horor adalah saat libur Lebaran seperti saat ini.

Dua film horor baru tersebut menambah panjang film horor yang masih tayang di bioskop selama beberapa minggu terakhir sampai lebaran nanti. Tercatat, total ada 4 film horor atau 33 persen dari 12 film yang tayang saat ini di bioskop.

Bahkan film Indonesia terlaris sepanjang masa untuk saat ini pun dipegang oleh KKN Di Desa Penari dengan angka penjualan tiket mencapai lebih dari 10 juta, jauh di atas Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 di posisi kedua dengan 6,8 juta penonton.

Lantas, kenapa masyarakat Indonesia gemar film horor?

"Horor lokal itu dekat dengan cerita yang beredar di masyarakat. Horor itu juga seringkali mengandung kritik terhadap keadaan sosial," kata Pengamat Film dan Budaya Populer, Hikmat Darmawan, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.

Menurut Hikmat, seringkali film-film horor menggambarkan potret sosial masyarakat Indonesia. Selain itu, biasanya ada sentuhan kritik di dalam kisahnya, entah mengkritik penguasa, atau menggambarkan ketimpangan sosial.

Film horor di Indonesia pun juga kerap menyesuaikan dengan tren sosial yang terjadi. Misalnya, pada dekade '80-an ada banyak kisah film horor yang berkenaan dengan komedi dan tokoh religi.

Kemudian pada 2000-an, ketika kisah urban menjadi kegemaran di masyarakat, film horor pun ikut beradaptasi dengan menampilkan kisah-kisah yang berkaitan dengan lokasi-lokasi tertentu yang punya cerita mistis.

"Kalau pun ada rekaan baru, mengambilnya juga dari folklor atau legenda atau khayalan berbasis sosok hantu di masyarakat," kata Hikmat.

"Apalagi kalau kuntilanak, pocong, yang pemakamannya itu dikafankan itu kan dunia Islam ya. Namun, genre pocong itu paling banyak cuma di Indonesia," lanjutnya.

Sementara itu, Hikmat juga pernah menyebut bahwa penonton film Indonesia gemar akan sensasi, mulai dari efek suara hingga visualnya.

"Mereka cenderung akan mengonsumsi apa yang ada di bioskop, kala memilih mungkin mereka akan pilih film horor dibanding religi misalnya," kata Hikmat.

"Horor paling mudah memancing untuk penonton datang, karena nilai hiburannya tinggi dan akan selalu ada penonton meski pecintanya yang setia hanya sedikit," tambahnya lebih lanjut.

Sutradara Kimo Stamboel juga memiliki pandangan serupa. Menurutnya, pasar tertarik dengan film horor karena terasa seperti wahana ketika masuk. Mereka yang menonton film horor memang ingin ditakuti.

"Semua adrenalin yang ada di dalam diri mereka itu memancing sesuatu, hormon yang membuat mereka senang. Gue rasa itu alasan kenapa mereka suka ditakut-takuti," kata Kimo.

Sensasi dan kegemaran itu pula yang mendorong para produser membuat film horor. Misalnya Rapi Films yang memproduksi minimal dua film horor dalam satu tahun. Pada 2019, mereka membuat Ikut Aku ke Neraka yang edar pada Juli lalu dan Ratu Ilmu Hitam yang rilis awal November 2019.

Sunil Samtani selaku produser eksekutif Rapi Films menjelaskan, potensi film horor lebih besar ketimbang film drama. Menurutnya dalam lima tahun belakangan, minimal satu film horor bisa mendapat 200 ribu penonton.
Bila rumah produksi memperoleh Rp15 ribu dari penjualan satu tiket, setidaknya mereka bakal mendapat Rp3 miliar.

Rumah produksi jelas meraup untung bila biaya produksi dan promosi di bawah Rp3 miliar. Namun menurut Sunil, sulit membuat film horor di bawah Rp3 miliar. Bila dipaksakan, kualitas film cenderung berkurang.

"Karena bujet berpengaruh ke penentuan siapa sutradara, aktor, kru, peralatan, set, lokasi dan durasi syuting. Biasanya syuting 40 hari, [kalau bujet mepet] ada yang bisa selesai 10 hari. Untung bisa cepat (tapi kualitas belum tentu bagus)," kata Sunil.

Sumber: CNNIndonesia
Baca juga :