"Kenaifan Wacana Presiden Tiga Periode"

PERTAMA kali wacana presiden tiga periode muncul ke permukaan dua tahunan lalu, Presiden Jokowi menyikapi dengan kata-kata yang sangat keras. Ketika itu, beliau mengatakan bahwa wacana tiga periode identik dengan tindakan "menampar muka saya”.

Banyak yang berspekulasi, wacana tersebut akan terkubur setelah pernyataan keras presiden tersebut.

Namun inti cerita tentang wacana tiga periode tidak pernah benar-benar padam. Isunya terus bergulir di bawah tanah, walaupun muncul tenggelam di ruang publik.

Bahkan suaranya tidak lagi berasal dari aktivis dan politisi pinggiran, tapi juga dari beberapa intelektual besutan lembaga survei seperti M Qodari, misalnya.

Lalu pelan-pelan isunya menyusup ke kalangan "political establishment" sekelas Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum DPP Golkar Airlangga Hartarto, dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia.

Wacana tiga periode muncul dalam beberapa variasi, melebar menjadi wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu 2024.

Sampai akhirnya baru-baru ini muncul dugaan bahwa sikap Jokowi dua tahunan lalu, ternyata bukanlah sikap politik satu-satunya. Bahkan, Majalah Tempo edisi 6-12 Februari 2023, menjadikannya sebagai topik utama.

Menurut uraian Majalah Tempo baru-baru ini, terungkap bahwa sikap keras Jokowi dua tahunan lalu soal masa jabatan tiga periode ternyata bukanlah sikap politik yang sesungguhnya.

Tempo mengatakan, Jokowi adalah bagian penting dalam upaya memobilisasi wacana tiga periode agar menjadi wacana besar dan terkesan sebagai aspirasi publik pada umumnya.

Tempo menghadirkan hasil wawancara dengan sejumlah tokoh lapangan yang menjadi beberapa operator pergerakan isu tiga periode dan mendapati bahwa para operator politik tersebut secara berkala melaporkan hasil pergerakan isu tiga periode di mana Jokowi secara simbolik memberikan dukungan kepada mereka untuk terus mengembangkannya.

Hasil investigasi salah satu majalah arus utama nasional tersebut menjawab keheranan saya selama ini, mengapa wacana tiga periode tidak pernah benar-benar padam?

Akhirnya banyak yang menduga bahwa Jokowi bukan saja ikut memeliharanya, tapi secara tidak langsung berusaha untuk mengamuflasekannya agar seolah-olah menjadi aspirasi masyarakat, dengan memobilisasi jaringan aktivis dan politisi untuk tetap menggelorakan wacana tersebut.

Oleh karena itu, para politisi mapan maupun oleh pegiat demokrasi dan kaum intelektual nasional perlu bersama-sama mengantisipasi hal tersebut.

Karena dalam perspektif global, bagaimanapun, Indonesia memiliki keistimewaan di Asia sebagai salah satu negara besar dengan konsistensi berdemokrasi yang cukup persisten sejak reformasi digulirkan.

India yang sejak lama dianggap sebagai raksasa demokrasi Asia, kini terjebak ke dalam populisme akut ala Narendra Modi.

Perdana Menteri India saat ini, yang terus menari-nari di atas fanatisme Hindu dan diskriminasi sistematis atas masyarakat Muslim India.

Sementara negara-negara Asia Tenggara lainnya, selain Filipina, masih betah dengan gaya "demokrasi berbalut autokrasi" ala Singapura atau Malaysia.

Tahun 2013 lalu, Joshua Kurlantzick menerbitkan buku "Democracy in Retreat. The Revolt of the Middle Class and Worldwide Decline of Representative Government", yang menyoroti rontoknya tatanan demokrasi di beberapa negara berkembang, salah satunya Thailand akibat ulah populisme Thaksin Sinawatra and the gang, yang berujung kudeta.

Ketika itu, Joshua masih menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara percontohan yang masih menjaga denyut demokrasi.

Tahun 2015, Larry Diamond dan Marc F. Plattner mengeditori buku berjudul "Democracy in Decline" yang menghimpun karya-karya ilmiah yang mereka kelola, yakni "Journal of Democracy," tentang kemunduran demokrasi di berbagai negara di seluruh dunia.

Kemudian tahun 2016, Joshua kembali menerbitkan buku berjudul "State Capitalism. How the Return of Statism is Transforming the World."

Dalam buku tersebut, Joshua memasukan Indonesia ke dalam barisan sistem ekonomi "State Capitalism," tapi masih bercorak demokratis, yakni democratic state capitalism, setara dengan Brasil.

Menurut dia, state capitalism adalah salah satu bentuk alternatif sistem ekonomi yang lahir dari kemunduran gerakan demokrasi global. Namun sistem ekonomi seperti ini, jika tak hati-hati, tidak jauh jaraknya dari autokrasi.

Dengan besarnya peran negara dalam mengelola perekonomian dan mengintervensi industri-industri strategis, otot kekuasaan negara membesar di satu sisi dan melemahkan kelompok oposisi dan aktivis demokrasi di sisi lain.

Walhasil, hanya butuh satu langkah lagi demokrasi untuk ditaklukkan, tentunya jika pemimpinya tidak peduli dengan masa depan demokrasi.

Tahun 2019 lalu, Pippa Norris dan Ronald Inglehart dari Harvard juga menerbitkan buku berjudul "Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism" yang membahas tentang menguatnya gerakan ekstrem kanan dan kiri di banyak negara, akibat memburuknya kinerja ekonomi ala kapitalisme yang memuncak pada krisis finansial tahun 2008 lalu.

Karena perkembangan tersebut, tahun 2022, Gideon Rachman, menyimpulkan bahwa hari ini, spirit "Strongman" sudah menjadi jiwa zaman.

Pemimpin-pemimpin berwatak autokrat mengakali institusi-institusi demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan dan menekan kelompok oposisi. Ia memberi judul bukunya "The Age of the Strongman."

Buku Gideon adalah penguatan atas buku yang diterbitkan oleh Eric A. Posner, yang terbit tahun 2020 lalu dengan judul "The Demagogue's Playbook. "

Munculnya sindrom pemimpin kuat tentu tidak lepas dari ulah Vladimir Putin di Rusia dan Xi Jinping di China yang memperpanjang masa jabatan presiden (Putin) dan menambah masa jabatan presiden (Xi Jinping) di negaranya masing-masing.

Namun bagaimanapun, Rusia dan China memang bukanlah bagian dari negara-negara demokrasi.

Sejak tahun 2004-2005, Rusia sudah bukan lagi dikategorikan sebagai negara demokrasi ideal, terutama sejak Putin mulai memberangus media dan pengusaha-pengusaha yang kritis terhadap penguasa Rusia.

Di Filipina sempat dihantui sindrom pemimpin kuat setelah populisme Rodrigo Duterte mengejutkan dunia.

Namun institusi demokrasi di Filipina, terutama pengaruh kuat pihak militer yang masih sangat pro-Amerika Serikat, membuat Duterte kehilangan nyali untuk mendobrak tradisi pemilihan di sana.

Yang dilakukan Duterte kemudian mendukung dan berjuang memenangkan calon pengganti yang segaris dengannya. Dan itulah yang terjadi.

Duterte menjadikan putrinya Sara Duterte-Carpio sebagai wakil presiden di pemilihan mutakhir mendampingi presiden baru Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong Marcos, yang juga masih di bawah bayang-bayang Duterte.

Memang terkesan kurang etis. Namun secara politik sangat bermakna strategis, karena Duterte yang sangat populis tidak berani membuka wacana tiga periode untuk dirinya.

Sebagai contoh yang baik, Indonesia sangat perlu merawat keistimewaan yang disandang dengan terus secara konsisten menjaga kinerja institusi-institusi demokrasi, termasuk dalam mencegah fanatisme berlebihan atau bahkan autokrasi dalam bernegara.

Untuk itu, Indonesia secara bangsa perlu menunjukkan komitmen dalam mematuhi ketetapan undang-undang tentang masa jabatan presiden dan jadwal pemilu, sembari memperjuangkan kemajuan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, semua itu tentunya di bawah komando Presiden Jokowi.

Oleh karena itu, semua pihak, termasuk Jokowi, yang saya yakin merupakan sosok negarawan prorakyat, harus dengan arif dan bijaksana kembali kepada ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang secara tegas berbunyi: ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’.

Artinya, masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal hanya diperbolehkan dua periode.

Sikap semacam ini diperlukan oleh semua pihak demi menjaga marwah dan nama baik Indonesia dalam konteks demokrasi dan ekonomi global.

Lebih dari itu, Jokowi secara pribadi tentu sangat menyadari bahwa keterpilihan beliau menjadi presiden bukan saja karena dukungan kelompok-kelompok pengusaha dan elite politik saja, namun juga ada peran signifikan dari konstituen dan para sahabat kelompok intelektual.

Para intelektual ini sangat jelas kerjanya, terutama ketika negara menghadapi krisis dan presiden mendapat tekanan politik, mereka tetap solid dalam barisan yang sangat rapat mendukung Jokowi.

Jangan sampai hanya karena wacana tiga periode yang terus berlarut membuat kelompok ini menjadi gerah dan perlahan menarik diri dari kerja-kerja kenegaraan bersama Jokowi.

Menurut hemat saya, jalan terbaik bagi Jokowi, jika memang ingin terus bergerak aktif dalam menjaga legacy-legacy pemerintahannya, adalah dengan mengambil langkah politik seperti yang dilakukan Duterte.

Meskipun terkesan intervensionis atas dinamika politik yang ada, toh tidak ada salahnya Jokowi ikut memuluskan jalan salah satu pasangan kandidat yang akan berlaga di tahun 2024, memberikan kontribusi politik nyata dalam berbagai bentuk yang sah kepada pasangan tersebut, termasuk mendorong faksi politik potensial tertentu untuk mendukung mereka, dan mengantongi komitmen dari mereka untuk meneruskan apa yang telah dilakukan Jokowi selama masa pemerintahannya.

Langkah ini akan jauh lebih baik bagi Jokowi dan para penggerak isu tiga periode. Semoga. [kompas]

Oleh : Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
Baca juga :