Agustinus: Berapa harga akuisisi PSSI? Total cuma butuh Rp43 miliar! Duit receh

Catatan: Agustinus Edy Kristianto

Tak guna menggugat masalah konflik kepentingan dan etika di tengah hingar-bingar Ketum PSSI baru. Sejak kapan good governance dan etika jadi tiang penyangga pemerintahan sekarang. Terlalu sering bad habit dibiarkan. Omongan A, kenyataan B. Contohnya Menpora. Dia bilang jika terpilih Waketum PSSI akan mundur dari jabatan Menteri. Sekarang sudah terpilih, mingkem saja, tuh!

Mau persoalkan rangkap jabatan Menteri BUMN (ET)? Timnya sudah punya penangkal petir. UU Kementerian Negara tidak melarang, PSSI tidak dibiayai APBN, menteri lain pun rangkap sebagai ketua organisasi olahraga, dsb. 

Bad habit lagi. Wishnutama saja, yang dulu terang-terangan rangkap jabatan sebagai Komisaris Tokopedia (perusahaan swasta), yang seharusnya dilarang oleh UU, tidak langsung diberhentikan Presiden Jokowi. 

Malah saya lihat terpilihnya ET serasa sama riuhnya dengan ketika Argentina juara Piala Dunia. Kata Presiden Jokowi, reformasi total sepak bola. Kata pendukungnya: B.E.D.A = Beda, Enerjik, Dahsyat, Amanah!

***

Mari berpikir simpel. Berapa harga akuisisi PSSI? 

Murah!

Pemilik suara 86. “Subsidi”/“Sedekah” bervariasi: Rp100 juta, Rp250 juta, Rp500 juta per suara. Tim pemenangan ET menjanjikan pemberian uang itu. (Koran Tempo, 17/2/2023). 

Pukul rata 86 pemilik suara kita suapi Rp500 juta. Total cuma butuh Rp43 miliar!

Duit receh, saudara-saudara. 

Laba konsolidasi BUMN tahun 2022 sebesar Rp303,7 triliun, Rp43 miliar cuma 0,01%. Nilai ekonomi Liga Indonesia menurut LPEM UI Rp2,7 triliun per musim, Rp43 miliar hanya 1,59%. Nilai hak siar liga Rp400 miliaran, Rp43 miliar sekadar 10,75%. 

Masih lebih kecil juga dari nilai sponsor BRI (BUMN) di Liga 1 yang Rp100 miliar. Pilih mana, pilih saya atau sponsor liga cabut! Bisa begitu juga, mungkin.

Duit kecil juga kalau dibandingkan dengan Rp6,4 triliun (cuma 0,67%) yang diberikan BUMN Telkomsel kepada GOTO—-perusahaan yang dimiliki kakak Menteri BUMN—-sehingga memunculkan dugaan konflik kepentingan yang mengarah kepada dugaan korupsi. Tapi, jika kasus ini diteriakkan, pendukung ET menyebut itu isu basi, apalagi Panja Komisi VI DPR memutuskan bahwa tidak ada persoalan dalam investasi Telkomsel di GOTO itu.

Panja kan bukan penegak hukum. Bukan pengadilan. Enak betul Rp6,4 triliun tak diusut lantas berdalih basi, lalu dipuji-puji presiden sebagai motor reformasi sepak bola, menjadi ketua panitia kawinan anak presiden, tetap sebagai menteri BUMN, didukung sebagai calon dalam Pemilu 2024 dst.

***

Tapi, saya mau fair. Kekuasaan memang memabukkan. Pemenang dapat semuanya. Jangan ada lagi yang tersisa. Mau timnas bagus, mau jelek, yang penting si tokoh berada di top of mind calon pemilih dalam pemilu. 

Secara bisnis, jika dulu (2013-2019) dalam 6 tahun saja bisa cuan EUR100 juta (sekitar Rp1,6 triliun) dari jual-beli saham Inter Milan yang ada di negara lain itu (ET tidak membangun Inter tapi berspekulasi pada saham Inter untuk mendapatkan keuntungan dari selisih harga jual-beli/capital gain), ya masak sekarang di negara sendiri tidak ada yang bisa dijual-belikan buat cuan lebih besar….

Saya bukan tak mau sepak bola Indonesia maju. Saya pendukung keras timnas dan ingin betul—-minimal—-Chanathip dkk kita buat jadi bego di lapangan. 

Tapi menapaklah di bumi. Introspeksi. 

Sepak bola—-mungkin sport pada umumnya—-adalah refleksi dari karakter suatu bangsa. Sport mencerminkan sejauh mana kualitas kehidupan fisik dan mental suatu bangsa. Ia simbol kematangan, kedisiplinan, kerja keras, rasa tanggung jawab, dan kejelasan misi suatu bangsa. 

Kejayaan akan sulit hadir dari rahim suatu bangsa yang pejabatnya korup, penuh tipu-daya dan munafik, sementara masyarakatnya tercerai-berai dan mudah diperdaya.

Bangunlah jiwanya, badannya… kejayaan sepak bola adalah bonus!

Salam.

(fb)

Baca juga :