Bantahan Atas Pemahaman Ayat dan Riwayat Yang Lemah Bumi Datar

𝐁𝐚𝐧𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐚𝐭𝐚𝐬 𝐩𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐚𝐲𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐫𝐢𝐰𝐚𝐲𝐚𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐞𝐦𝐚𝐡 𝐛𝐮𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐭𝐚𝐫

Oleh: Ahmad Syahrin Thoriq 

Berikut ini adalah penalaran atau pemahaman yang sering diangkat oleh pendukung bumi datar yang dianggap sebagai dalil penguat pendapat mereka, yang kemudian dibantah oleh mayoritas ulama.

𝟏. 𝐀𝐫𝐚𝐡 𝐤𝐢𝐛𝐥𝐚𝐭

Jika bumi itu bulat, maka shalat menghadap ke mana? Karena sebenarnya tidak ada arah yang pasti dalam konsep bumi bulat.

Jawaban : Justru ayat al Qur’an menjawab masalah ini dengan tepat, firmanNya :

وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ

“Dan dimana saja kalian berada, palingkanlah wajah kalian ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)

Al Imam Thabari rahimahullah meriwayatkan: “Bahwa  makna ‘Syathral Masjidil Haram’ adalah ke arahnya.”[1]

Al-Imam  Qurthubi rahimahullah berkata:

لا خلاف بين العلماء أن الكعبة قبلة في كل أفق، وأجمعوا على أن من شاهدها وعاينها فرض عليه استقبالها، وأنه إن ترك استقبالها وهو معاين لها وعالم بجهتها فلا صلاة له، وعليه إعادة كل ما صلى. وأجمعوا على أن كل من غاب عنها أن يستقبل ناحيتها وشطرها وتلقاءها، فإن خفيت عليه فعليه أن يستدل على ذلك بكل ما يمكنه من النجوم والرياح والجبال وغير ذلك مما يمكن أن يستدل به على ناحيتها.

“Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa Ka’bah itu kiblat setiap ufuk. Mereka juga ber-ijma’ (konsensus) bahwa orang yang melihat dan menyaksikan Ka’bah, maka wajib baginya untuk menghadap Ka’bah secara langsung. Kalau ia tidak menghadap ke Ka’bah, padahal ia bisa melihat langsung, maka tidak sah shalatnya. Dan ia wajib mengulang shalatnya.

Para ulama juga bersepakat bahwa semua orang yang tidak bisa melihat langsung Ka’bah (karena jauh, pen) maka cukup menghadap ke arahnya, ke sisinya atau ancer-ancernya saja. Kalau ia merasa samar atasnya, maka ia wajib mencari petunjuk dengan apapun yang mungkin seperti posisi bintang, angin, gunung dan lainnya dari perkara-perkara yang mungkin untuk dijadikan petunjuk ke arah kiblat.”[2]

Dan ini berbeda ketika Allah menyebut “kiblat” untuk agama lain, Dia tidak menggunakan kata “Satru’ tapi “Wajah” yang maknanya menghadap secara total karena memang “Kiblat” agama lain pada waktu itu bersikap lokal, firmanNya :

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148).[3]

𝟐. 𝐊𝐢𝐬𝐚𝐡 𝐃𝐳𝐮𝐥𝐪𝐚𝐫𝐧𝐚𝐢𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐜𝐚𝐫𝐢 𝐭𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐭𝐞𝐫𝐛𝐞𝐧𝐚𝐦𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐚𝐭𝐚𝐡𝐚𝐫𝐢

 حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا

“Hingga apabila dia (Dzulqarnain) telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat.” (QS. Al Kahfi: 86)

Jawaban : Apa yang dilihat oleh Dzulkarnain tidak menunjukkan bahwa bumi itu datar, tetapi menunjukkan pandangan mata yang melihat seolah-olah matahari terbenam dalam laut.

Al imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

أي: رأى الشمس في منظره تغرب في البحر المحيط، وهذا شأن كل من انتهى إلى ساحله، يراها كأنها تغرب فيه

“Yakni Dzulqarnain melihat matahari menurut penglihatannya, terbenam di lautan. Ini adalah keadaan orang yang telah sampai di pantai laut lepas. Ia akan melihat matahari terbenam dalam lautan.”[4]

Berkata al imam Sirajuddin Ibnu Adil al Hanbali :

وإذا ثبت هذا فنقول : تأويل قوله تعالى : { تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ } من وجوه :الأول : أنَّ ذا القرنين لما بلغ موضعاً من المغرب ، لم يبق بعدهُ شيءٌ من العماراتِ ، وجد الشَّمس كأنَّها تغربُ في عينٍ مظلمةٍ ، وإن لم يكن كذلك في الحقيقة كما أنَّ راكب البحر يرى الشمس كأنَّها تغيبُ في البحر إذا لم يرَ الشطَّ ، وهي في الحقيقة تغيبُ وراء البحر ..الخ

“Maka jika dalil bahwa bumi itu bulat telah tetap, maka penafsiran ayat “dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam,” Disini ada beberapa sisi pemahaman :

Sisi pertama: bahwa Dzulqarnain ketika telah sampai di suatu tempat di barat dan tidak terdapat suatu negeri pun, maka ia mendapatkan matahari seolah-olah terbenam ke dalam laut yang berlumpur hitam. Meskipun hakekatnya tidak demikian sebagaimana seorang yang naik perahu melihat matahari seolah-olah tenggelam dalam laut, ketika ia tidak melihat tepi laut. Dan secara hakekat matahari terbenam di belakang laut tersebut....”[5]

Bahkan al imam Qurthubi sendiri, yang nota bene mendukung pendapat bumi datar menyatakan tentang tafsir ayat ini berkata :

المراد أنه انتهى إلى آخر العمارة من جهة المغرب ومن جهة المشرق، فوجدها في رأي العين تغرب في عين حمئة، كما أنا نشاهدها في الارض الملساء كأنها تدخل في الارض

“Yang dimaksud dengan ayat di atas adalah bahwa Dzulqarnain telah sampai pada ujung negeri di arah timur dan di arah barat. Maka ia melihat matahari menurut pengelihatan mata, terbenam dalam lautan yang berlumpur hitam, sebagaimana kita menyaksikan matahari di tanah gurun, seolah-olah masuk ke dalam bumi...”[6]

𝟯. 𝗔𝗱𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗼𝗷𝗼𝗸 𝗕𝘂𝗺𝗶

Ayat al Qur’an ada yang menyebutkan tentang tepi bumi. Ini menunjukkan bahwa itu datar, karena kalau bulat, maka bumi tidak mempunyai tepi atau pojok, yaitu :

أَوَلَمْ يَرَوْاْ أَنَّا نَأْتِي الأَرْضَ نَنقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi bumi, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?” (QS. Ar Ra’d: 41).

Jawaban : Tidak ada satupun mufasirin yang mengkaitkan ayat ini dengan tepi bumi. Penafsiran mereka justru berbicara tentang wilayah kekuasaan kaum muslimin vs wilayah kaum kuffar. Al imam  Khazin rahimahullah berkata:

المراد منه فتح دار الشرك فإن ما زاد في دار الإسلام فقد نقص في دار الشرك والمعنى أو لم يروا أنا نأتي الأرض فنفتحها لمحمد صلى الله عليه وسلم أرضاً بعد أرض حوالى أراضيهم أفلا يعتبرون ، فيتعظون وهذا قول ابن عباس وقتادة وجماعة من المفسرين

“Yang dimaksud dengan ayat di atas adalah ditaklukkannya negeri kesyirikan, karena jika negara kaum muslimin bertambah maka negeri orang-orang kafir akan berkurang. Maka maknanya adalah “apakah mereka tidak melihat bahwa Kami akan mendatangi bumi mereka lalu Kami menaklukkannya untuk Muhammad ﷺ, satu demi satu di sekeliling bumi mereka. Apakah mereka tidak mengambil pelajaran ? Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Qatadah dan segolongan ahli tafsir.”[7]

Penafsiran serupa bisa kita dapatkan dari imam Ibnu katsir[8] dan juga al Qurthubi.[9]

𝟰. 𝗞𝗮’𝗯𝗮𝗵 𝘀𝗲𝗷𝗮𝗷𝗮𝗿 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗕𝗮𝗶𝘁𝘂𝗹 𝗠𝗮𝗸𝗺𝘂𝗿

Ketika menafsirkan surah ath Thur ayat 4, 5 dan 6 sebagian ulama mengatakan :

والبيت المعمور ، بكثرة الغاشية والأهل، وهو بيت في السماء حذاء العرش بحيال الكعبة

“Baitul Makmur: banyaknya yang memenuhi dan penduduknya, yaitu rumah di langit sekitar ‘Arsy dan sejajar dengan Ka’bah bumi.”

Kata kalangan pendukung bumi datar :  Kesejajaran itu hanya bisa terjadi jika bentuk bumi ini datar, bukan bulat.

Jawaban : Ulama menjelaskan tentang hal ini menjadi beberapa bahasan, pertama : Riwayat kesejajaran antara Baitul Ma’mur dan Ka’bah itu memeliki beberapa arti, diantaranya kata imam al Baghawi rahimahullah :

يقال له: حرمته في السماء كحرمة الكعبة في الأرض

“Dan dikatakan bahwa kehormatan dia (Baitul Makmur) seperti kehormatan Ka’bah di bumi.”[10]

Kedua, riwayat ini diperselisihkan oleh para ulama. Seandainya shahih sekalipun ini adalah perkara ghaib yang tidak bisa dibahas secara inderawi atau logika. 

Banyak informasi ghaib yang jika dijelaskan secara akal justru akan melenceng, seperti tempat alam kubur, sungai nil dan efrat mengalir dari syurga dll. Berkata Syaikh Utsaimin rahimahullah:

وهذا ليس بغريب، والله على كل شيء قدير، أو المعنى: بإزائها، بمعنى أنه كما تعمر الكعبة من أهل الأرض يعمر البيت المعمور من أهل السماء

“Ini bukanlah hal yang aneh. Allah berkuasa atas segala sesuatu atau maknanya ‘berlawanan arah’ sebagaimana penduduk bumi memakmurkan ka’bah maka penduduk langit juga memakmurkan baitul makmur.”[11]

𝟱. 𝗟𝗮𝗻𝗴𝗶𝘁 𝗱𝗮𝗻 𝗯𝘂𝗺𝗶 𝘁𝘂𝗷𝘂𝗵 𝗹𝗮𝗽𝗶𝘀

Sebagaimana langit ada tujuh, bumi pun tujuh lapis demikian yang dinyatakan dalam surah ath Thalaq ayat 12:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ

“Allahlah yang menciptakan tujuh langit, dan seperti itu pula bumi.”

Ketika langit itu ada tujuh lapis, dan semua lapisan langit itu berlapis-lapis ke arah atas, maka bumi yang juga memiliki lapisan-lapisan itu berada di bawah lapisan bumi yang kita tinggali ini.

Jawaban : Tidak selalu demikian. Lapisan itu tidak selalu terdiri dari bagian-bagian yang tersusun dari atas ke bawah. Benda yang bulat juga bisa memiliki lapisan, semisal telur yang terdiri dari beberapa bagian/lapisan dan contoh lainnya. Al Imam Ibn Hazm rahimahullah ketika menjelaskan ayat ini membawakan riwayat Ibnu Abbas berikut ini :

جَاءَ رجل إِلَى ابْن عَبَّاس فَقَالَ أَرَأَيْت قَول الله عز وَجل {سبع سماوات وَمن الأَرْض مِثْلهنَّ} قَالَ ابْن عَبَّاس هن ملتويات بَعضهنَّ على بعض

“Seseorang datang kepada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dan bertanya tentang firman Allah ta’ala “tujuh langit dan seperti itu pula bumi”, maka beliau menjawab: “Bagian-bagiannya (yakni langit dan bumi) melingkarkan kepada sebagian lainnya.”[12]

𝟲. 𝗥𝗶𝘄𝗮𝘆𝗮𝘁 𝗜𝗯𝗻𝘂 𝗔𝗯𝗯𝗮𝘀 𝗯𝘂𝗺𝗶 𝗱𝗶 𝗮𝘁𝗮𝘀 𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗡𝘂𝗻

Diantara riwayat yang sering di angkat oleh pendukung bumi datar adalah hadits berikut: 

Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- bahwa beliau berkata:

أوّل ما خلق الله من شيء القلم ، فجرى بما هو كائن ، ثم رفع بخار الماء ، فخلقت منه السماوات ، ثم خلق " النون " – يعني الحوت - فبسطت الأرض على ظهر النون ، فتحرّكت الأرض فمادت ، فأثبت بالجبال ، فإن الجبال لتفخر على الأرض ، قال : وقرأ : (ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ (

“Sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah pena, maka ia menulis semua kejadian, kemudian uap air diangkat ke atas, maka darinyalah langit-langit diciptakan, kemudian Dia menciptakan Nuun, yaitu; ikan paus, maka dihamparkannya bumi di atas punggung ikan paus tersebut, maka bumi pun bergerak dan berguncang, lalu ditopang oleh gunung-gunung, maka gununglah yang lebih utama dari pada bumi, lalu beliau berkata dan membaca: “Nuun, demi pena dan apa yang mereka tulis”.

Jawaban : Riwayat ini diperselisihkan oleh para ulama, mayoritasnya menyatakan sebagai riwayat Israiliyat sebagaimana hadits yang menyebutkan bahwa bumi ada di punggung sekor sapi.

Riwayat ini adalah hadits mauquf, artinya tidak sampai kepada Nabi shalallahu’alaihi wassalam, hanya pada shahabat yakni Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma. Seandaianya riwayat ini diterima sekalipun, tidak serta merta menjadi pembenaran bahwa bumi itu bentuknya bulat ataupun datar.

Syaikh al Munajid berkata:

وهذا الأثر موقوف من كلام ابن عباس، وليس من كلام النبي صلى الله عليه وسلم، والغالب أن ابن عباس رضي الله عنهما أخذه عن كعب الأحبار، أو عن كتب بني إسرائيل التي تحتوي على كثير من العجائب والغرائب والكذب

“Atsar ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Abbas, dia bukan ucapan Nabi ﷺ , dan kemungkinan besar Ibnu Abbas mengambil riwayat ini dari Ka’ab bin al Akhbar atau dari kitab-kitab bani Israil yang mana memuat begitu banyak kisah-kisah aneh, asing dan dusta.”[13]

𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽

Sebaiknya kita tidak perlu memperdebatkan masalah seperti ini terlalu mendalam, yang justru akan menguras tenaga, pikiran, waktu, dan bahkan juga bisa mengikis persaudaraan. 

Meninggalkan debat-debat yang tidak produktif yakni yang tidak mendatangkan iman dan juga membantu dalam beramal shalih adalah ciri orang yang beragama secara hanif.

Jika mau mendiskusikan secara serius, lakukanlah dengan pakar yang memang ahli di dalamnya. Karena jika tidak, hanya akan memantik debat kusir yang tiada berujung dan tidak memiliki akhir. 

Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah memberikan nasihatnya:

وكل مسألة لا ينبني عليها عمل فالخوض فيها من التكلف الذي نهينا عنه شرعا , ومن ذلك كثرة التفريعات للأحكام التي لم تقع , والخوض في معاني الآيات القرآنية الكريمة التي لم يصل إليها العلم بعد

“Memperdalam pembahasan tentang masalah-masalah yang tidak dibangun di atasnya amal shalih adalah sikap memberat-beratkan diri yang dilarang Islam. 

Misalnya memperluas pembahasan tentang berbagai hukum bagi masalah-masalah yang tidak benar-benar terjadi, memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Qur’an yang belum dijangkau oleh ilmu pengetahuan.” [14]

Wallahu a’lam.

________
[1] Tafsir ath Thabari  (3/176)
[2] Al Jami’ li Ahkamil Quran (2/160).
[3] An Nukat wal Uyun (1/106).
[4] Tafsir Ibn Katsir (1/91)
[5] Al bab fi ulumil Kitab (12/557)
[6] Al Jami’ li Ahkamil Quran (11/50).
[7] Tafsir al Khazin (3/24)
[8] Tafsir Ibnu Katsir (2/472)
[9] Tafsir al Qurthubi (9/334)
[10] Tafsir al Baghawi (7/382)
[11] Majmu’ Fatawa wa Ar Rasail al Utsaimin (24/89)
[12] Fashl fi al Milal (2/80)
[13] Mauqi’ al Islam Su’al wajawab (9/227)
[14] Ushul ‘Isyrin No. 9

Baca juga :