JAKARTA – Sejumlah pengamat politik dan hukum menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan menteri tak perlu mundur saat menjadi calon presiden atau calon wakil presiden bisa rawan penyelewengan. Komisi Pemilihan Umum diminta membuat peraturan yang ketat selama masa kampanye.
Peneliti senior dari Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, mengatakan berbagai risiko dan kerugian akan muncul setelah putusan Mahkamah Konstitusi.
Menurut dia, menteri yang menjadi calon presiden/calon wakil presiden bisa memanfaatkan fasilitas negara hingga memobilisasi pegawai yang dipimpinnya dari tingkat pusat hingga daerah untuk kepentingan politiknya.
"Jadi, sangat rentan jabatan itu disalahgunakan bahkan sejak sebelum kampanye dimulai," ujar Hadar saat dihubungi pada Selasa, 1 November 2022.
Hadar melihat minat sejumlah menteri untuk mengikuti pemilihan presiden 2024 cukup tinggi. Beberapa menteri kabinet Presiden Joko Widodo, yang juga menjadi ketua umum partai, bahkan telah membentuk koalisi dan mendeklarasikan diri bakal maju sebagai calon dalam pilpres mendatang.
Menurut Hadar, keinginan untuk bertarung dalam pilpres mendatang berpotensi membuat menteri menggunakan fasilitas negara dalam kesehariannya untuk kepentingan politik.
"Nanti akan sulit dipisahkan mana yang kerja untuk kepentingan pemerintah dan mana yang mencari dukungan untuk pencalonan. Karena ini sangat sulit dipisahkan secara tegas," ujar dia. "Kalau mau menciptakan pemilihan yang bersih, ya, harus mundur."
Memihak Kekuasaan dan Partai Politik
Hadar mengatakan menteri yang mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden tapi tidak mengundurkan diri berpotensi mengganggu roda pemerintahan di lembaga yang dipimpinnya. Sebab, menteri yang maju dalam pemilu mendatang bakal mempunyai kepentingan politik, selain tugas memimpin lembaganya. "Kebijakan di lembaga yang dipimpinnya akan membawa pengaruh yang tidak baik. Ini harusnya dihindari," tuturnya.
Hadar menjelaskan, politikus atau kader partai yang telah diangkat menjadi menteri mesti meninggalkan jabatan politiknya. Mereka harus menggunakan seluruh kemampuan dan tenaganya untuk membantu pemerintah. Demikian pula sebaliknya saat seorang menteri yang ingin kembali berkiprah di gelanggang politik mesti mundur dari jabatan di kementerian yang dipimpinnya. “Karena berpotensi terjadi manipulasi untuk kepentingan politik dengan menggunakan jabatannya," ujar Hadar.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi tidak menguntungkan rakyat. Sebab, putusan tersebut justru terlihat lebih memihak pada kekuasaan dan partai politik yang ketuanya menduduki kursi menteri. Ujang menegaskan, menteri yang mau maju menjadi capres atau cawapres mesti mundur dari jabatannya karena sangat rawan menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye.
"Kita kan sulit membedakan kalau menteri tidak mengundurkan diri. Maka sulit pula menghindari fasilitas negara kalau tidak mundur. Apalagi menteri yang mencari uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara," ujar dia.
Putusan Mahkamah bakal membuat menteri diuntungkan dengan penggunaan fasilitas negara secara legal untuk kepentingan politik mereka. Selama jabatan melekat kepada mereka, kata Ujang, fasilitas negara pun demikian. "Pasti menteri akan menggunakan dan memanfaatkan jabatan yang melekat itu untuk kepentingan mereka, termasuk untuk kampanye, bahkan memobilisasi pegawai di kementeriannya sampai di daerah," ucapnya. "Demokrasi bukan makin membaik, malah makin ruwet.”
Menurut Ujang, penyelenggara dan pengawas pemilu mesti memberikan catatan khusus terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Musababnya, sejumlah menteri di kabinet Jokowi telah mempunyai keinginan serta masuk bursa sebagai capres dan cawapres.
Sebut saja Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, serta Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. "Mereka ini diuntungkan atas putusan Mahkamah Konstitusi," ucap Ujang.
(Sumber: Koran Tempo, 02/11/2022)