Kontroversi Pemberhentian Dokter Terawan
Oleh: Bagong Suyanto (Dekan FISIP Universitas Airlangga)
Terawan Agus Putranto, dokter militer yang juga bekas Menteri Kesehatan, kini menjadi perbincangan masyarakat. Sebagai dokter, Terawan sangat populer sekaligus kontroversial. Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto yang memperoleh gelar guru besar kehormatan dari Universitas Pertahanan itu menawarkan metode pengobatan yang agak berbeda, yang dipercaya sejumlah orang terkenal di Tanah Air.
Namun hubungan Terawan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tampaknya berjalan kurang baik. Metode pengobatan "cuci otak" yang dikembangkan Terawan dinilai belum memenuhi kaidah medis yang ideal. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI memberhentikan Terawan dari keanggotaan organisasi tersebut secara permanen. Keputusan itu ditetapkan dalam Muktamar XXXI IDI di Banda Aceh pada 25 Maret lalu. Keputusan ini diambil karena Terawan dinilai menyalahi kode etik dan prinsip kerja dokter yang berat (serious ethical misconduct) serta tidak memiliki iktikad baik selama 2018-2022.
Sanksi yang dijatuhkan IDI tentu sudah melalui diskusi dan pertimbangan yang matang. Berbeda dengan metode pengobatan non-medis yang bermacam-macam caranya, metode pengobatan medis memiliki tata aturan yang jelas dan harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode cuci otak dengan alat digital subtraction angiography (DSA) untuk pengobatan stroke dan vaksin Nusantara yang dikembangkan Terawan untuk mencegah Covid-19 dinilai melangkahi prosedur ini. Membiarkan Terawan terus berkiprah dengan metodenya tentu merupakan hal yang dilematis bagi IDI. Di sisi lain, sikap Terawan, yang tidak terlalu menggubris "teguran" IDI, dan bahkan terkesan mendapat dukungan dari pemerintah ketika diangkat sebagai menteri, tentu membuat IDI gerah.
Sebagai satu-satunya lembaga yang memberikan perizinan praktik dokter, IDI tidak mungkin membiarkan reputasinya terkoyak hanya karena tindakan Terawan. IDI, sebagai satu-satunya organisasi tempat bernaung para dokter, tentu tidak nyaman atas apa yang dilakukan Terawan.
Ketika Terawan masih menjadi Menteri Kesehatan, tentu tidak mungkin IDI menjatuhkan sanksi yang berat. Lain soal bila kini Terawan sudah tidak lagi menjadi penjabat negara. Dengan kondisi demikian, IDI akhirnya memberhentikan Terawan sebagai anggotanya.
Terawan kini hanya bisa berkiprah sebagai pendidik dan peneliti. Ia tidak lagi bisa menjalankan praktik pengobatan seperti selama ini dia lakukan. Di atas kertas, metode cuci otak dan vaksin Nusantara yang menjadi andalan Terawan pun tidak mungkin lagi diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Sejumlah tokoh masyarakat, anggota DPR, serta menteri yang selama ini menjadi pasien dan memanfaatkan pengobatan Terawan ramai-ramai menyatakan keprihatinan dan ketidaksetujuan terhadap keputusan IDI. Ada sejumlah alasan yang mendasari itu.
Pertama, keputusan IDI dinilai arogan, terburu-buru, dan bahkan berbahaya bagi masa depan dunia kedokteran di Indonesia. Bukan tidak mungkin kasus Terawan ini membuat para dokter lainnya menjadi takut untuk berinovasi dengan riset-risetnya.
Kedua, IDI terkesan menjadi lembaga super. Alih-alih membuka diri terhadap adanya kemungkinan kebenaran metode lain, IDI dinilai terlalu berkukuh pada aturan baku yang kaku.
Terlepas dari kontroversi mengenai metode Terawan, tidak sedikit orang yang mengaku telah merasakan manfaatnya. Sejumlah tokoh mengaku kondisi kesehatannya membaik setelah menjalani terapi cuci otak Terawan. Tidak sedikit pula yang mengaku bisa selamat dari Covid-19 berkat vaksin Nusantara.
Untuk menentukan pihak mana yang benar dalam kasus Terawan ini tentu masih menunggu waktu. Semua pihak perlu mendinginkan keadaan dan berusaha menempatkan kasus ini dalam perdebatan rasional yang terbuka dan obyektif.
Sejumlah pihak mengusulkan agar posisi dan kewenangan IDI dievaluasi, termasuk merevisi Undang-Undang Praktik Kedokteran serta Undang-Undang Pendidikan Kedokteran.
Berbagai usul itu muncul karena kasus pemberhentian Terawan dikhawatirkan hanya merepresentasikan ketersinggungan atas etika senioritas yang selama ini berkembang di dunia kedokteran. Tindakan Terawan yang tidak mengindahkan peringatan IDI dinilai telah menyinggung kehormatan organisasi itu sebagai lembaga yang solid dan selalu dipatuhi anggotanya.
Apa yang dilakukan Terawan memang telah melanggar prinsip dan kaidah akademik dari kerja dokter yang ideal. Cuma, apakah karena hal itu bisa dipastikan bahwa metode pengobatannya salah?
Di balik suara yang menyayangkan pemberhentian Terawan dari keanggotaan IDI, orang-orang juga bertanya apakah ada pasien yang gagal ketika menjalani metode pengobatan Terawan.
Fakta yang seimbang memang seharusnya diungkap untuk membuktikan sejauh mana penilaian IDI benar atau IDI perlu membuka diri terhadap metode alternatif seperti yang dikembangkan Terawan.
Sikap terlalu membela Terawan atau menganggap Terawan salah niscaya hanya akan menjadi bumbu politis yang membuat sikap kita tidak obyektif dalam memahami substansi permasalahan di balik kontroversi ini.
(Sumber: Koran Tempo, 29/03/2022)