Vonis Bid’ah Itu Berat, Berhati-hati Dalam Melabeli

Vonis Bid’ah Itu Berat, Sekelas Ibnu ‘Arafah Saja Tak 'Kuat'

Oleh: Ustadz Yendri Junaidi, Lc, MA

Muhammad bin Muhammad bin ‘Arafah al-Warghami at-Tunisi al-Maliki, atau yang lebih dikenal dengan Imam Ibnu ‘Arafah adalah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Malikiyyah. Di masa hidupnya, ia menjadi rujukan dan tempat mengadu bahkan oleh para ulama dan fuqaha dalam menjawab berbagai permasalahan keagamaan. Diantara karyanya adalah al-Mukhtashar al-Kabir, ath-Thuruq al-Wadhihah, al-Hudud dan juga al-Mabsuth sebanyak tujuh jilid yang menurut Imam Sakhawi: “Tidak mudah dipahami.”

Suatu kali seorang ahli fiqih dari kota Gharnathah melayangkan delapan pertanyaan kepada Imam Ibnu ‘Arafah. Satu dari pertanyaan itu sering juga menjadi polemik di negeri kita yaitu tentang doa berjamaah setiap selesai shalat. Yang menarik adalah hal ini ditanyakan oleh seorang ahli fiqih. Ini menunjukkan kehati-hatiannya dalam menyikapi sebuah permasalahan. Ia menyadari bahwa ada yang lebih alim dari dirinya untuk ditanyai. Di sisi lain, alim yang ditanya; Imam Ibnu ‘Arafah yang sudah sangat diakui kedalaman ilmunya juga tidak ‘berani’ mengeluarkan vonis bid’ah secara sembarangan.

Kehati-hatian ini mereka warisi dari para imam mazhab yang sangat ketat dalam mengeluarkan vonis bid’ah terhadap sebuah amal. Inilah yang dimaksud oleh Imam adz-Dzahabi dalam risalahnya at-Tamassuk bi as-Sunan:
 
هُمْ يُغَلِّظُوْنَ فىِ مُسَمَّى الْبِدْعَة

“Mereka (para imam mazhab) begitu ketat dalam menyematkan label bid’ah.” 

Kembali pada pertanyaan yang dilayangkan sang faqih kepada Imam Ibnu ‘Arafah. Ia menulis (panjang lebar):

“Ada seorang imam masjid yang tidak mau berdoa bersama setiap selesai shalat. Padahal ini sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan sejak lama di banyak tempat; selesai shalat sang imam berdoa dan makmum mengaminkannya. Tapi imam tadi, selesai shalat ia segera menuju ke tepi masjid atau pergi berlalu begitu saja. Ia mengatakan bahwa yang dilakukannya ini sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para ulama. Sementara yang dilakukan oleh masyarakat selama ini (doa bersama) adalah sesuatu yang bid’ah dan mesti ditinggalkan. Menurutnya, siapa yang mau berdoa silahkan berdoa sendiri-sendiri tanpa perlu bersama-sama (berjamaah).

Banyak orang tidak sependapat dengan imam ini. Tapi ia bersikukuh mengatakan, “Inilah yang benar sesuai dengan yang dijelaskan oleh para ulama.”

Polemik ini sampai kepada Syekh Abu Sa’id bin Lubb (seorang ulama di daerah itu). Ia sangat tidak setuju dengan tindakan sang imam yang meninggalkan kebiasaan lama itu. Ia pun menulis sebuah risalah yang berjudul Lisan al-Adzkar wa ad-Da’awat mimma Syuri’a fi Adbar ash-Shalawat. Dalam risalah itu ia menyampaikan berbagai dalil dan argumentasi untuk membuktikan bahwa apa yang telah dilakukan selama ini adalah benar dan shahih.

Inti dari risalah yang ditulis Syekh Abu Sa’id ini adalah anggaplah berdoa secara berjamaah yang selama ini dilakukan masyarakat tidak pernah dilakukan oleh salaf, tapi ini tidak berarti bahwa hal ini tidak boleh dilakukan. Ini masuk dalam kategori at-tark (sesuatu yang ditinggalkan). At-Tark sendiri tidak memiliki dampak hukum selain bahwa sesuatu itu boleh untuk ditinggalkan (tidak dikerjakan). Adapun kalau dikatakan bahwa at-tark berarti sesuatu itu menjadi haram atau makruh jika dilakukan, ini jelas keliru.

Kalaupun dikatakan salaf tidak pernah melakukannya, sebenarnya salaf sendiri banyak melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh salaf sebelum mereka, seperti menghimpun mushaf, memberi titik dan baris ayat-ayat al-Quran, membagi al-Quran ke dalam hizb-hizb, menuliskan ayat-ayat al-Quran dan asma` Allah pada uang Dinar dan Dirham, dan sebagainya.

Umar bin Abdul Aziz sendiri pernah berkata:

تَحْدُثُ لِلنَّاسِ أَقْضِيَةٌ بِقَدْرِ مَا أَحْدَثُوْا مِنَ الْفُجُوْرِ 

“Perlu dibuat ketentuan hukum baru untuk manusia sesuai dengan kejahatan-kejahatan baru yang mereka lakukan.” 

Demikian juga dalam hal ini kita mengatakan:

تَحْدُثُ لَهُمْ مُرَغِّبَاتٌ بِقَدْرِ مَا أَحْدَثُوْا مِنَ الْفُتُوْرِ

“Perlu dibuat hal-hal baru untuk memotivasi manusia sesuai dengan kelesuan-kelesuan baru yang mereka buat sendiri.”

Syekh Abu Sa’id juga menyebutkan bahwa berdoa secara berjamaah itu memiliki banyak manfaat, diantaranya: banyak orang tidak tahu bagaimana berdoa yang benar; atau ia tahu tapi bisa jadi ia berdoa dengan sesuatu yang tidak dibolehkan oleh syariat; tidak sedikit juga yang keliru dalam redaksi doa; dan banyak juga yang tidak bersemangat kalau berdoa sendirian. Kemudian ia menukilkan berbagai hadits tentang berdoa setelah shalat.

Benar bahwa tidak semua bid’ah itu yang jelek. Tapi penjelasan Syekh Abu Sa'id ini bisa saja menjadi dalih bagi orang yang melakukan sesuatu yang baru lalu ia berkata bahwa ini bid’ah hasanah. Sebaliknya, orang yang tidak setuju bisa juga mengatakan bahwa itu bid’ah madzmumah. Ini semua terjadi karena tidak tegasnya perbedaan antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi`ah. Kalau perbedaannya jelas dan tegas tentu kita bisa langsung mengenali mana amalan yang masuk dalam keumuman larangan melakukan hal yang baru (muhdats) dan mana yang dikecualikan dari larangan itu.

Inilah yang meragukan saya dalam apa yang ditulis oleh Syekh Abu Sa’id dalam risalahnya itu, dan ini tidak terlepas dari tidak tegasnya perbedaan antara bid’ah hasanah dan bid’ah qabihah.”

☆☆☆

Setelah membaca pertanyaan yang cukup panjang ini, Imam Ibnu 'Arafah menulis:

“Jika melakukan doa secara berjamaah didasari oleh niat bahwa hal itu merupakan bagian dari sunnah atau keutamaan (fadhilah) shalat maka ini tidak boleh. Tapi kalau tidak didasari oleh niat seperti itu maka ini kembali pada hukum asal berdoa; bahwa doa adalah sebuah ibadah yang keutamaannya sudah diketahui bersama.

Ada riwayat bahwa Imam Malik memakruhkan berdoa setelah shalat dalam keadaan berdiri. Ini berarti bahwa jika dilakukan sambil duduk tidak mengapa. Ada juga riwayat dari Imam Malik bahwa ia memakruhkan doa setelah khatam al-Quran. Namun yang lebih kuat menurutku adalah hal itu boleh. Bahkan ada banyak hadits dalam kitab-kitab hadits seperti Sunan Nasa`i yang mendukung hal tersebut dan beberapa diantaranya adalah shahih. 

Tentang bid’ah itu sendiri sudah banyak dibicarakan oleh ulama dahulu dan belakangan seperti Imam al-Qarrafi dan Izzuddin bin Abdussalam dan mereka membagi bid’ah ke beberapa bagian. Wallahu a’lam.”

Sumber: (المعيار المعرب للونشريسي الجزء السادس ص ٣٦٤ - ٣٧١)

☆☆☆

Bisa diperhatikan bagaimana hati-hatinya Imam Ibnu ‘Arafah dalam melabeli sebuah amal. Ia hanya mengatakan, kalau niatnya begini maka tidak boleh, tapi kalau niatnya begini maka kembali kepada hukum asal. Ia tidak ‘berani’ mengeluarkan vonis bid’ah pada sebuah amalan yang tidak disepakati sebagai sesuatu yang bid’ah.

☆☆☆

Sebenarnya perbedaan pendapat tentang bid’ah terjadi dalam dua hal mendasar; tentang mafhum (pengertian) bid’ah itu sendiri (ada yang membaginya menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi`ah dan ada yang memukul rata bahwa semua bid’ah adalah sayyi`ah, adapun maksud dari bid’ah sayyi`ah dalam ungkapan sebagian ulama adalah bid’ah secara bahasa bukan secara istilah), dan perbedaan dalam tathbiq (memasangkan pengertian kepada amalan-amalan juz`iy).

Para ulama yang mengatakan semua bid’ah itu sesat, mungkin saja akan tetap berbeda pendapat dalam menilai amalan tertentu, apakah ia bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang bid’ah atau tidak. Jadi ia tidak sesederhana mengatakan, “Jika ia tidak pernah ada di zaman Nabi, atau salafus shaleh, kalau kita lakukan maka itu bid’ah.” Karena al-matruk (sesuatu yang ditinggalkan) tidak pernah menjadi dasar dan dalil dalam menetapkan sebuah hukum. Ia masuk dalam kategori al-'afw (العفو). Baru kemudian dikaji apakah hal itu masuk dalam kategori haram, makruh, mubah, sunnah atau bahkan wajib.

Karena itu, Syekh Hatim al-‘Auni, seorang ulama Saudi, cukup geram ketika mendengarkan ‘fatwa’ seorang syekh (Saudi juga) yang mengatakan bahwa meskipun memperbanyak shalawat di hari Jumat adalah sesuatu yang sunnah dan sangat dianjurkan, tapi sengaja mengingatkan orang untuk memperbanyak shalawat di hari Jumat adalah sesuatu yang bid’ah, karena aktivitas ‘mengingatkan’ ini tidak pernah dilakukan oleh salaf.

Ya, begitulah… 😁

Intinya, baik kita berhati-hati dalam melabeli...

Wallahu a’lam.
Baca juga :