[PORTAL-ISLAM.ID] Polemik penolakan persidangan virtual mantan pentolan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab terhadap kasus tes swab RS Ummi terus bergulir. Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel ikut buka suara terhadap adanya sidang virtual yang dilaksanakan terdakwa Habib Rizieq dan jajaran majelis hakim.
Reza menjelaskan pernyataan yang disampaikannya berkaitan dengan analisis soal persidangan online yang mulai dilaksanakan sejak adanya pandemi COVID-19 ini.
Menurut kacamata pria yang merupakan lulusan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) ini, persidangan virtual alias online tidak hanya sekadar masalah mekanisme belaka lantaran menyangkut psikolgis seseorang, terutama antara terdakwa dan majelis hakim.
Padahal kesehatan psikis seseorang merupakan salah satu hal yang penting dalam menjalani persidangan hukum, namun hal ini seakan luput dari cermatan lembaga dan para praktisi hukum.
“Ketika persidangan dilangsungkan secara virtual, ada sekian banyak dampak psikologis yang muncul. Sisi ini yang tampaknya vakum dalam cermatan lembaga dan sarjana hukum,” ujar Reza, mengutip JPNN pada Senin, 22 Maret 2021.
Dengan rendahnya cermatan dari lembaga hukum terkait, wajar saja ketika Habib Rizieq menolak persidangan secara virtual, maka narasi yang mencuat justru seakan pihaknya merendahkan martabat lembaga peradilan dan seakan melakukan penghinaan kepada majelis hakim.
Kemudian Reza membeberkan beberapa contoh kasus terkait dampak persidangan virtual terhadap piskologis seseorang, baik yang dialami pihak terdakwa maupun jajaran hakim.
Sebagai contoh, ketika sidang virtual dilaksanakan dalam persidangan kasus imigran ilegal. Hasilnya menunjukkan kemungkinan terdakwa imigran ilegal tersebut dideportasi semakin besar.
“Beberapa contoh, imigran ilegal, ketika disidang secara daring, lebih besar kemungkinannya untuk dideportasi,” kata Reza.
Di sisi lain, sosok peraih gelar MCrim (Forpsych, master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne, Australia ini mengungkapkan jika persidangan virtual juga membuat para saksi kasus seakan terlihat kurang cerdas, tak menyenangkan, bahkan dianggap tidak tepat dalam memberikan penjelasan.
Terdakwa yang diadili secara virtual juga merasa didehumanisasi dan disconnected. Sehingga mereka lebih sering berteriak dan keluar dari ruang sidang,” ungkap Reza.
“Kendala teknologi bisa menambah keraguan pihak-pihak di ruang sidang,” sambungnya.
Kemudian dari sisi hakim pun juga mempengaruhi, di mana posisi kamera mampu mempengaruhi penilaian publik terhadap wibawa dan kemampuan hakim dalam mengawasi jalannya sidang.
Dampak psikologis sidang virtual bisa memberatkan hukuman terdakwa
Reza juga membenarkan apabila terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah, harus dihadirkan secara paksa. Namun di balik keharusan itu, ketika persidangan diadakan secara virtual, maka bakal timbul kompleksitas psikis yang harus dikelola secermat mungkin.
Oleh sebabnya dia mengimbau agar tak segera menyimpulkan bahwa penolakan terdakwa terhadap adanya sidang virtual dikaitkan dengan sulitnya mengatur terdakwa alias bengal.
“Bukan langsung disimpulkan sebagai, katakanlah, kebengalan terdakwa. Andai diabaikan, konsekuensi buruknya tidak hanya mengena kepada terdakwa, tetapi juga kepada hakim,” ujarnya.
Lebih lanjut masalah psikis yang jadi dampak sidang virtual ini bisa memberatkan hukuman terhadap terdakwa lantaran pengacara terkendala masalah komunikasi.
Walhasil, kata Reza, dengan segala kompleksitas permasalahan komunikasi yang muncul saat sidang virtual bisa jadi mempengaruhi hasil dari keputusan halkim.
“Membesarnya kemungkinan terdakwa memperoleh putusan yang memberatkan. Ini disebabkan oleh kegagalan penasihat hukum melakukan pembelaan secara maksimal akibat kendala komunikasi,” terangnya.
“Kehormatannya (hakim, red) ditentukan di situ. Ditambah dengan masalah-masalah komunikasi yang muncul, kualitas putusannya akan terpengaruh,” imbuhnya.[hops]