Kekonyolan Penangkapan Zaim Saidi
Tindakan polisi menangkap Zaim Saidi, penggagas Pasar Muamalah di Depok, sangat berlebihan. Tuduhan polisi bahwa bazar itu menggunakan uang asing, yang menjadi alasan penangkapan Zaim, overdosis dan ketinggalan zaman.
Dinar dan dirham yang dijadikan alat tukar di pasar itu bukan uang dari negara lain, melainkan satuan emas dan perak yang dijual bebas oleh PT Aneka Tambang. Coba saja buka situs web Logammulia.com, kios online milik badan usaha milik negara itu. Kita bebas membeli dinar dan dirham dengan berbagai berat dan varian.
Dalam konteks ini, dinar dan dirham yang dipromosikan Zaim hanyalah alat barter. Transaksinya adalah menukar koin emas dan perak itu dengan barang. Harga dinar dan dirham di bazar itu pun ditetapkan sesuai dengan harga Antam. Soal adanya fee penukaran dinar dan dirham senilai 2,5 persen di Pasar Muamalah, itu merupakan bagian keuntungan yang wajar dalam berniaga. Bila ditelaah lebih jauh, praktik barter yang digagas Zaim tak jauh berbeda dengan penggunaan uang digital semacam GoPay, Dana, dan OVO. Semuanya membeli alat tukar dengan rupiah, lalu memakainya untuk bertransaksi.
Polisi seharusnya tidak serampangan menjerat Zaim dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pasal pertama melarang pembuatan benda semacam mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Pasal kedua berisi ancaman hukuman 1 tahun kurungan dan denda Rp 200 juta bagi yang melanggar kewajiban menggunakan rupiah dalam bertransaksi di wilayah Indonesia. Kedua aturan itu seharusnya disetip (dihapus -red) karena tak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Bila gara-gara memakai dinar dan dirham Zaim ditangkap, para pegawai Antam yang membuat dan menjual dinar seharusnya lebih dulu ditangkapi. Begitu pula dengan para pengelola pusat bermain anak-anak yang menggunakan koin atau kartu khusus sebagai alat pembayaran. Dengan begitu, lengkap sudah kekonyolan penegakan hukum kita.
Pasar Muamalah yang digagas Zaim pun bukan aktivitas baru. Pasar itu sudah berjalan secara terbuka selama bertahun-tahun. Di sana, Zaim, antara lain, menyediakan lapak gratis untuk pedagang kecil. Aneh saja bila polisi baru bertindak saat ini, hanya karena kabar tentang bazar dan pemakaian dinar serta dirham itu ramai di media sosial.
Lain soal bila polisi menemukan bukti bahwa Zaim menjadi bagian dari gerakan atau kegiatan organisasi yang bertujuan meruntuhkan sistem politik ataupun sistem keuangan Indonesia. Atau, polisi mendapat laporan bahwa Zaim menipu orang lain lewat penggunaan dinar dan dirham. Itu pun polisi harus memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menahan Zaim.
Bila polisi menangkap Zaim hanya karena laporan mereka yang menganggap dinar itu identik dengan sistem khilafah (negara Islam), polisi sama saja seperti bertindak atas laporan mereka yang menganggap bahwa unta itu identik dengan Arab. Artinya jelas, Zaim menjadi korban kriminalisasi karena fobia Islam yang berlebihan—yang disuarakan para pendengung jahat di media sosial. Polisi seharusnya segera membebaskan Zaim dan memulihkan namanya.[]
*Sumber: Editorial Koran Tempo (Senin, 15/2/2021)