63% Masuk Zona Rawan Corona, Pilkada Serentak 2020 Harus Ditunda


63% Masuk Zona Rawan Corona, Pilkada Serentak 2020 Harus Ditunda

➠ Dari 309 daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020, 63,75% masuk zona rawan.

➨ Pilkada 2020 sudah semestinya ditunda. Selain karena pandemi belum reda, ia potensial melanggar HAM karena mempertaruhkan nyawa.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 akan digelar pada 9 Desember mendatang. Saat ini tahapannya baru selesai masa pendaftaran bakal pasangan calon di Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah masing-masing.

Semua proses ini dijalankan ketika penularan virus Corona di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Kasus positif semakin meningkat dengan penambahan kasus harian konstan di atas 3.000. DKI Jakarta, episentrum pertama pandemi, bahkan menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Selain itu, sebagian besar daerah yang menyelenggarakan pilkada pun dikategorikan rawan penyebaran, menurut Satgas Penanganan COVID-19. Dari 309 daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020, 63,75 persen masuk zona rawan.

"45 kabupaten/kota atau 14,56 persen daerah dengan risiko tinggi dan 152 atau 49,19 persen daerah dengan risiko sedang," kata Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito saat konferensi pers di Kantor Presiden, Kamis (10/9/2020) pekan lalu.

Sebanyak 72 kabupaten/kota atau 23,3 persen daerah dengan risiko rendah dan 26 kabupaten/kota atau 8,41 persen daerah yang tidak ada kasus baru. Terakhir ada 14 kabupaten/kota atau 4,53 persen daerah yang tidak terdampak.

"Sebaiknya ditunda saja, nanti pada berkerumun. Apalagi kalau para pasangan calon menunjukkan paling banyak massa yang berkerumun untuk menunjukkan banyaknya dukungan mereka," kata pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono kepada reporter Tirto, Jumat (11/9/2020) lalu.

Pernyataan Pandu bukan isapan jempol. Itu sudah terjadi pada masa pendaftaran 4-6 September. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menemukan ada 243 pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran, yakni dengan membawa sejumlah pendukung dan melakukan pengerahan massa.

Dari jumlah itu, merujuk pada catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), 51 pelanggar adalah calon berstatus petahana.

Beberapa orang-orang yang terkait dengan penyelenggaraan pun sudah terkena virus. KPU mencatat terdapat 60 calon peserta pilkada yang terpapar COVID-19, sementara Bawaslu mencatat 73. Komisioner KPU Evi Novita Ginting, Ketua KPU Riau Ilham M Yasir, dan Ketua KPU Gresik Akhmad Roni, lalu 21 pegawai KPU pun beberapa waktu lalu juga terpapar.

Di Boyolali, 96 Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) juga dinyatakan positif COVID-19.

Pandu khawatir jika pilkada terus berlanjut ketika kasus terus bertambah bahkan tanda-tanda akan melewati gelombang pertama belum terlihat, itu hanya akan memicu klaster baru. "Kalau semua terpapar dan ada yang meninggal karena COVID-19 gimana? Mau tanggung jawab?"

Penundaan semakin penting karena menurut dosen yang mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI ini Corona tidak mengenal zonasi. "Istilah zona itu tidak akurat, jangan anggap zona hijau itu pilkada lebih aman, semua zona berpotensi terkena virus," pungkasnya.

Alasan lain mengapa pilkada di tengah pandemi perlu ditunda adalah karena itu berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), kata Tim Pemantau Pilkada 2020 Komnas HAM, Hariansyah.

Menyelenggarakan pilkada saat ini sama saja mengancam nyawa dan bertentangan dengan hak untuk hidup ini sebagai bagian dari hak yang tidak dapat dicabut dan dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945, Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik

"Dalam pasal itu menegaskan, keabsolutan [hak untuk hidup] tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk kondisi darurat," kata Hariansyah melalui keterangan tertulis, Jumat (11/9/2020).

Kemudian hak atas kesehatan yang merupakan satu fundamental right. Pengaturan jaminan hak atas kesehatan ditetapkan dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 12 ayat (1) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005), dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Selanjutnya hak atas rasa aman. Ini menekankan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan atas perlindungan diri, kehormatan, martabat, dan hak milik. Kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, Pasal 29 dan Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

"Oleh karena itu, negara melalui pemerintah dituntut untuk melindungi hak atas rasa aman warga negara terutama untuk wilayah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah," katanya.

(Sumber: Tirto)

Baca juga :