KENAPA MEMILIH MADZHAB SYAFI’I?


KENAPA MEMILIH MADZHAB SYAFI’I?

Oleh: Alfaqir Abdullah Al-Jirani

Kemarin, saat mudzakarah (diskusi) dan khataman kitab, Syaikhuna (guru kami) menyampaikan, bahwa kalau mau belajar fiqh, mulailah dengan menekuni satu madzhab dulu. Kalau di Indonesia disarankan untuk mengambil madzhab Syafi’i karena merupakan madzhab fiqh yang dianut mayoritas penduduk. Kalau sudah mutqin (paham benar), baru memperluas wawasan dengan mempelajari fiqh muqaran (perbandingan madzhab) yang meliputi tiga madzhab selainnya, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Ini sunahnya para ulama Salaf sejak zaman sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta para pengikut mereka sampai zaman kita sekarang ini.

Jangan mulai belajar fiqh dengan mempelajari beberapa madzhab sekaligus, karena akan bingung dan hasilnya ngambang. Apalagi tanpa melalui madzhab, ini sangat berbahaya. Para ulama pendahulu yang telah mencapai derajat ahli ijtihad saja lebih memilih untuk berintisab kepada salah satu madzhab mu’tabarah (madzhab yang empat)dalam mempelajari fiqh, lalu kita yang bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa tidak merasa tidak butuh kepada madzhab dan lebih memilih untuk membuat kreasi fiqh sendiri yang diistilahkan dengan “madzhab tarjih”? Aneh.

Berikut ini kami sampaikan beberapa perkara  yang bisa jadikan pertimbangan kenapa kita patut untuk menjatuhkan pilihan kepada madzhab Syafi’i, diantaranya adalah:

1). Madzhab Syafi’i termasuk salah satu madzhab Ahlus Sunah wal Jama’ah selain dari tiga madzhab yang lainnya, yaitu Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Ini perkara yang disepakati oleh para ulama.

2). Madzhab Syafi’i merupakan madzhab yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri kita, Indonesia. Mengikuti madzhab mayoritas akan dapat meminimalisir terjadinya gesekan dan kegaduhan dalam kehidupan beragama dan bernegara. Ini sejalan dengan arahan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari kalangan mutaqaddimun (pendahulu) serta para ulama belakangan (termasuk di dalamnya para ulama Salafi seperti Syaikh Shalih Al-Fauzan, Ibnu Utsaimin, dan lainnya), agar berusaha menyesuaikan diri dengan madzhab masyarakat setempat dalam furu’ (cabang) agama selama madzhab yang dianut mereka termasuk madzhab Ahlus Sunah.

3). Muassis (penggagas)nya, yaitu imam Syafi’i, merupakan seorang ulama yang sangat perhatian kepada dalil, baik dari Al-Qur’an, hadits, dan atsar. Beliau (Syafi’i) berguru kepada Imam Malik bin Anas, dan Imam Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau (Syafi’i).

4). Imam Syafi’i selaku penggagas madzhab Syafi’i adalah seorang yang sangat perhatian kepada berbagai macam qiyas (analogi) serta berbagai asas istimbath (pemetikan) hukum. Beliau merupakan ulama pertama yang menyusun ilmu ushul fiqh dalam kitab Ar-Risalah.

5). Madzhab Syafi’i adalah madzhab pertengahan di antara madzhab Ahli ra’yi dan Ahli hadits.

6). Memiliki banyak para ulama mujtahidin yang berkhidmat dan menyebarkan madzhab Syafi’i pada setiap masa dan di berbagai negeri.

7). Banyaknya kitab-kitab yang disusun dalam mentahqiq (menganalisa dan menguji) madzhab Syafi’i serta memanjakan dan memudahkannya kepada para penuntut ilmu di setiap masa.

8). Banyaknya orang yang mengikuti madzhab Syafi’i di setiap tempat dimana mereka tersebar di berbagai negara, seperti Indonesia, Malaysia, Brunai Darus salam, Syam (Syiria, Yordania, Libanon, Palestina), Mesir, Irak, Iran, Somalia bagian timur, Thailand, Kamboja, Vietnam, singapura, Filipina, India selatan, dan yang lainnya. Madzhab Syafi’i dari sisi jumlah pengikutnya menepati urutan ke dua setelah madzhab Hanafi. Baru setelah Syafi’i, adalah Maliki lalu yang terakhir Hanbali. (Hanafi : 45%, Syafi’i : 28%, Maliki : 15%, dan Hanbali : 2%).

9). Adanya mujaddid (pembaharu) pada setiap kurun (tiap seratus tauhun), dimana mereka rata-rata bermadzhab Syafi’i, seperti : Imam Syafi’i pada abad ke dua, Imam Abul Abbas bin Suraij pada abad ke tiga, Imam Abu Ath-Thayyib Sahl Ash-Sha’luki pada abad ke empat,  Imam Al-Ghazali pada abad ke lima, Imam Fakhru Ar-Razi pada abad ke enam, Imam An-Nawawi pada abad ke tujuh, Imam Al-Isnawi pada abad ke delapan, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani pada abad ke sembilan, Imam As-Suyuthi pada abad ke sepuluh.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat dan menambah wawasan kita sekalian. Barakallahu fiikum jami’an.

Wallahu a’lam

***
•Referensi : At-Taqrirat As-Sadidah, hlm. (44 – 46), Al-Madkhal ila Dirasah Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah, hlm. (21), Al-Madkhal ila Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, hlm. (15 dan seterusnya), Fawaid majelis mudzakarah dan khataman kitab bersama Syaikhuna (berupa catatan tulisan tangan berbahasa Arab)

Baca juga :